Menurut kami sendiri apa yang dilakukan Tere Liye sudah tepat. Walau ikut kesal dengan beberapa yang menyudutkannya, hei bukankah Tere Liye mengeluh untuk kepentingan literasi? Kalau hanya untuk dirinya seorang ia seharusnya tidak butuh protes karena pekerjaan utamanya adalah akuntan sedangkan menulis adalah panggilan hati.
Sebagai pembaca, setelah penulis kondang Tere Liye menggaungkan masalah pajak dalam literasi ini barulah kita melek tentang pajak penulis yang langsung dipotong dari royalti sebanyak 15%. Jika tidak memiliki NPWP maka akan dipotong sebanyak 30%.
Permasalah pajak ini sesungguhnya tidak hanya meresahkan penulis, pembaca pun juga. Mari kita lihat dampak pajak perbukuan dibawah ini :
Dari sisi penulis
Pernahkah kita berpikir enak banget ya jadi penulis, kerja sebentar, royalti terus mengalir.
Mulut memang gampang sekali mengucapkan sesuatu yang tampak tanpa mengetahui jerih payah apa dibaliknya.
Buku-buku yang sepenuh hati dibuat, dirangkai, 10 purnama ia lalui. Berbagai kisah hidup dari mulut ke mulut ia cerna.Â
Demi sebuah tujuan mulia, menghapuskan ketidakpekaan manusia pada buminya sendiri. Menghapuskan kebutaan manusia pada buminya sendiri. Bahwa, bumi ini luas untuk dimengerti mata telanjang. Kita butuh sebuah media untuk membawa terbang.
Hari ini menyusuri Kalimantan, besok menyusuri Pulau Dewata meski kita tinggal di pelosok desa Kabupaten Grobogan. Itulah gunanya buku. Yang inginnya penulis sampai ke seluruh khalayak. Dari yang muda sampai tua. Yang kerja kantoran sampai ibu ibu di warteg.
Sayangnya, mahalnya buku membuatnya ekslusif. Seperti barang mahal yang tak perlu dibeli.
Maka, meski banyaknya penulis bertujuan mulia, jika pemerintah tidak membantu menjembatani tujuan itu demi kecerdasan bangsa. Maka, manfaatnya tidak akan sampai di pelosok desa dengan angka minat membaca sangat-sangat rendah.