Mohon tunggu...
una anshari
una anshari Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Merasakan, Menulis dan Membagikan

Traveller yang selalu berharap dapat mengambil hikmah dalam perjalanan untuk ditulis dan disharekan. Berbagi itu indah :)

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Izinkan Buku Sampai pada Kami di Pelosok

12 Februari 2019   18:30 Diperbarui: 15 Februari 2019   01:39 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://studentloanhero.com

Buku adalah jendela dunia. Wijaya Kusumah dalam artikelnya berjudul 'Buku adalah Jendela Ilmu' menuturkan bahwa buku adalah jendela ilmu. Dengan membaca buku akan banyak ilmu didapatkan.

Banyak orang berilmu membagi ilmu yang dikuasai dengan menuliskannya dalam bentuk buku. Dari membaca buku miliknya itu kita akan tahu ilmu yang dibagikannya. Semakin banyak membaca isi bukunya, maka semakin tahulah kita ilmu yang sudah dituliskannya. Kita pun mengambil pelajaran penting dari apa yang dituliskannya. Bila tulisannya sangat mencerahkan, biasanya kita akan terhanyut dengan apa-apa yang disampaikan oleh penulisnya. Tanpa disadari kita telah menjadi follower dari penulis buku.

Satu buku yang kita genggam, baca dan bersamai biasanya tidak dibutuhkan waktu lama untuk membacanya sampai habis. Seseorang bisa menghabiskannya seharian. Atau melahapnya tiga hari. Untuk buku dengan ketebalan 200 sampai 300 halaman.

Namun, dalam waktu yang sesingkat itu, pemikiran-pemikiran baru timbul dan terbentuk setelahnya. Menjadikan diri kita yang baru. Terisi pemahaman yang baik, terpenuhi nilai-nilai yang kita dapatkan selama membaca.

Tetapi, bayangkan untuk membuat satu buku, sang penulis menghabiskan waktu bertahun-tahun. Atau memutar kembali ingatan mengenai perjalanan selama ia hidup. Ada waktu yang dikorbankan. Ada luka yang ditekan kembali. Ada perjuangan yang diikhlaskan.

Melihat penjelasan di atas, maka membaca buku sangatlah penting dalam kehidupan seseorang. Namun sayangnya berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Ini sangat menghawatirkan, sebab membaca merupakan jembatan kesuksesan bagi anak bangsa. Pun, sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah iqra yang artinya bacalah.

Belum selesai masalah minat baca, tahun 2017 kita dikejutkan oleh keluhan salah satu novelis produktif Indonesia yang novelnya selalu menjadi best seller yaitu Tere Liye. Ia memprotes kebijakan pemerintah soal pajak penulis yang dinilainya berlapis sehingga menjadi lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya. Tidak mendapat tanggapan dari pejabat pajak, ia memutuskan akan berhenti menerbitkan buku.

Sri Mulyani, menteri keuangan saat itu yang juga merupakan kakak kelas penulis di FEUI langsung menanggapi dengan meminta Ditjen pajak untuk membicarakan keluhan tersebut. Setelahnya Ditjen pajak ikut menanggapi polemik pajak yang dikeluhkan tersebut.

Berbagai tanggapan muncul saat itu baik dari penulis, netizen sok tahu, netizen sok bijak, bahkan penulis kondang Dee yang sering disebut 'Ibu Suri' ikut meramaikan. 

Ada yang menilai Tere Liye terlalu cengeng, harusnya sebagai wajib pajak ya bayar saja tidak usah protes. Banyak yang setuju ikut curhat dan mengatakan "walau belum berpenghasilan royalti seperti Tere Liye tetap saja pajak ini mencekik.

Menurut kami sendiri apa yang dilakukan Tere Liye sudah tepat. Walau ikut kesal dengan beberapa yang menyudutkannya, hei bukankah Tere Liye mengeluh untuk kepentingan literasi? Kalau hanya untuk dirinya seorang ia seharusnya tidak butuh protes karena pekerjaan utamanya adalah akuntan sedangkan menulis adalah panggilan hati.

Sebagai pembaca, setelah penulis kondang Tere Liye menggaungkan masalah pajak dalam literasi ini barulah kita melek tentang pajak penulis yang langsung dipotong dari royalti sebanyak 15%. Jika tidak memiliki NPWP maka akan dipotong sebanyak 30%.

Permasalah pajak ini sesungguhnya tidak hanya meresahkan penulis, pembaca pun juga. Mari kita lihat dampak pajak perbukuan dibawah ini :

Dari sisi penulis

Pernahkah kita berpikir enak banget ya jadi penulis, kerja sebentar, royalti terus mengalir.

Mulut memang gampang sekali mengucapkan sesuatu yang tampak tanpa mengetahui jerih payah apa dibaliknya.

Buku-buku yang sepenuh hati dibuat, dirangkai, 10 purnama ia lalui. Berbagai kisah hidup dari mulut ke mulut ia cerna. 

Demi sebuah tujuan mulia, menghapuskan ketidakpekaan manusia pada buminya sendiri. Menghapuskan kebutaan manusia pada buminya sendiri. Bahwa, bumi ini luas untuk dimengerti mata telanjang. Kita butuh sebuah media untuk membawa terbang.

Hari ini menyusuri Kalimantan, besok menyusuri Pulau Dewata meski kita tinggal di pelosok desa Kabupaten Grobogan. Itulah gunanya buku. Yang inginnya penulis sampai ke seluruh khalayak. Dari yang muda sampai tua. Yang kerja kantoran sampai ibu ibu di warteg.

Sayangnya, mahalnya buku membuatnya ekslusif. Seperti barang mahal yang tak perlu dibeli.

Maka, meski banyaknya penulis bertujuan mulia, jika pemerintah tidak membantu menjembatani tujuan itu demi kecerdasan bangsa. Maka, manfaatnya tidak akan sampai di pelosok desa dengan angka minat membaca sangat-sangat rendah.

Kita semua, pasti tahu bahwa kecerdasan tidak melulu dari buku fisika dan matematika. Ada nilai-nilai moral yang amat sangat penting, untuk membentuk karakter penerus bangsa ini. Banyak buku selain fisika dan matematika yang juga tidak kalah pentingnya.

Sekali lagi, kita semua setuju, bahwa manfaat membaca begitu banyak. Demi pertumbuhan pikiran manusia yang lebih baik.

Dari sisi pembaca

Ada banyak sekali manusia yang gemar membaca dan menulis. Itulah sebabnya media sosial ramai dengan cuitan atau curhatan. Semacam buku diary.

Dan juga tak terhitung banyaknya anggota Komunitas Menulis seperti KBM, Woment Script Community di Facebook bahkan ajakan nulis bersama setiap bulan atau waktu waktu tertentu yang dibentuk oleh suatu komunitas di Instagram salah satunya adalah katahati.

Mereka semua menulis dan membaca setiap hari. Dari sekian banyak itu, di antaranya anak sekolah, ibu rumah tangga, dan bapak yang harus menafkahi keluarga.

Rasanya membeli buku seharga satu kali makan satu keluarga bahkan lebih, terlalu mahal. Masih banyak kebutuhan hidup yang lebih mendesak untuk dipenuhi.

Apalagi, tidak adanya toko buku di sebuah daerah. Karena menjual buku amat sangat susah sebab mahalnya mengalahi satu kali makan di kafe yang tidak setiap hari bisa mereka rasakan. Harga buku yang mahal menjadi faktor.

Itulah mengapa, kami yang suka membaca harus menempuh perjalanan 2 jam demi mendapatkan buku ke luar kota. Harus sedia uang perjalanan yang setara dengan harga buku, belum ketika lapar seharian di kota orang. Rasa-rasanya, untuk membeli satu buku saja tidak etis. Sebab, perjalanannya saja menghabiskan lebih banyak dari harga buku.

Meskipun membeli buku di era digital saat ini tinggal membuka ponsel. Begitupun banyak toko buku online yang menawarkan diskon, akan tetapi tetap saja terkendala di ongkos kirim yang bisa sampai setengah harga buku, terlebih di luar pulau Jawa.

Walau begitu, demi hobi dan menganggap buku adalah kebutuhan, kami yakin masih banyak yang menyisihkan uang demi membeli buku.

Dukungan Pemerintah terkait Literasi

Terlepas dari polemik pajak penulis, pemerintah pernah membuat suatu kebijakan yaitu dengan pengiriman buku gratis ke seluruh rumah baca di pelosok Indonesia, bekerjasama dengan PT. Pos Indonesia. Kebijakan ini dimulai dari 17 Mei 2017.

Pegiat literasi menyambut gembira kebijakan ini. Sayangnya, kebijakan itu harus terhenti pada bulan November 2018 terkait masalah pendanaan.

Hingga Oktober 2018, kata Gilarsi, PT Pos sudah menggelontorkan dana Rp 13,051 miliar.

PT Pos tidak bisa lagi menanggung biaya pengiriman buku gratis karena sudah melebihi dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.

"Untuk bulan ini karena sumber pendanaan belum terkonfirmasi terpaksa saya hentikan," kata Gilarsi.
Maka, lagi-lagi kebijakan pemerintah berhenti di tengah jalan.

Mungkin sering terbersit di pikiran kita mengatakan, "mahal banget sih harga bukunya. Enak banget nih penulis dapat royaltinya."

Namun sejak polemik pajak penulis yang diungkapkan Tere Liye kita baru tersadar bahwa penulis pun tidak seperti yang kita bayangkan.

Untuk sebuah buku bukan hanya penulis yang terlibat, tetapi ada penerbit dan toko buku. Yang masing masing terkena pajak sehingga buku yang kita peroleh berakhir dengan harga tinggi. Belum lagi jarak antara penerbit yang rata-rata di Pulau Jawa, maka ketika sampai di daerah harganya lebih mahal daripada Pulau Jawa.

Maka, alangkah indahnya jika pajak dalam literasi dihapuskan.

Sebagai pembaca, jika pajak dihapus, bayangkan setiap belanja dipotong PPN sebesar 10%. Maka, tidak ada lagi keluhan buku mahal.

Pun, seorang penulis yang royaltinya dapat ia nikmati sepenuhnya. Maka, para penulis akan semakin berlomba-lomba menuliskan sebuah buku berkualitas tanpa mencari ladang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Barangkali, inilah alasan mengapa pembajakan buku lebih laris. Andai buku aslinya selezat itu harganya. Pembajakan buku akan redup sejak niat pertama si pencetus. Penerbit tidak rugi, penulis tidak miris, dan pembaca semakin senang membacanya.

Alangkah malang nasib cita-cita penulis ketika menyusun sebuah buku. Berharap semua orang mampu merasakan manfaatnya.

Namun, ia tidak sampai di tangan seseorang yang sepenuh hati mengharap tetapi tak bisa membeli karena terlalu mahal. Semua itu, karena buku selain pendidikan. Semisal, buku motivasi, novel dan sastra dikenakan ppn sebanyak 10%.

Semoga dengan banyaknya yang menyuarakan keberatan dengan harga buku yang mahal ini. Pemerintah ambil tindakan untuk menanganinya, apalagi jika demi kecerdasan bangsa.

***

Sumber:
facebook.com/story.php
edukasi.kompas.com
nasional.kompas.com

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tantangan ke-10 dari katahati yaitu kerja kelompok membahas satu tema. Dari tiga tema, kami memilih dampak pajak perbukuan karena kami Putri Eka Fauziah, Kiki Widayanti, Salsabila Else dan Muna Arifah penghamba buku murah. Hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun