Mohon tunggu...
Umu Fatimiah
Umu Fatimiah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis freelance

Aktif dalam dunia literasi sejak tahun 2010 dengan diterbitkannya ebook kumpulan cerpen yang berjudul Cerita Senja. Beberapa karyanya telah diterbitkan di beberapa surat kabar, diantaranya Radar Tegal, Koran Pantura, Lampung Post dan Solo Post. Beberapa karya tersebut antara lain seperti cerpen Sularsih (2015), artikel Membangun Karakter Anak melalui Kebiasaan Membaca (2017), cernak berjudul Usaha Ardi (2018), Kibaran Merah Putih (2018), Sekolah Baru (2018), Pertunjukan Wayang (2018) serta beberapa karya yang lain. Pernah menjadi juara 2 lomba Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Tingkat Provinsi tahun 2019. Tergabung dengan facebook atas nama Umu Fatimiah. Alamat email yang bisa dihubungi mualim.kenshin@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelak Tawa Suharto

2 November 2020   22:43 Diperbarui: 2 November 2020   22:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari begitu terik siang itu. Suharto, seorang pedagang asongan yang biasa menjajakan dagangannya di setiap bus yang sedang mengistirahatkan mesinnya di terminal nampak kelelahan. Di bawah terpaan panas matahari, tubuhnya yang hitam dan kurus itu dipenuhi dengan peluh. Mata dan rambutnya tampak memerah akibat terpapar sinar matahari.

Di badan sebuah bus yang sedang berhenti, Suharto menyandarkan tubuhnya yang lelah. Ia menyapu peluh di wajahnya dengan handuk kecil yang disandarkannya di bahu sambil sesekali memandangi orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.

Suharto lalu merogoh isi kantungnya, mencari tahu jumlah uang yang didapatnya hari ini. Empat lembar uang sepuluh ribuan dan lima belas lembar uang dua ribuan tengah berada di tanganya.

"Ah, baru tujuh puluh ribu," keluhnya dalam hati.

Tujuh puluh ribu untuknya masihlah sangat sedikit. Itu baru menutup sebagian modal awal dagangannya saja. Ia masih harus berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang akan dipergunakan untuk makan anak dan istrinya hari ini.

"Hei To, sudah dapat banyak duit ya?," tanya seorang pengemis bernama Kardi yang sedari tadi mengamatinya.

            "Kamu Di, ngagetin aja. Iya nih. Lumayanlah, masih ada uang yang bisa dipegang," ucapnya menghibur diri.

            "Syukur deh. Kamu sudah makan belum? Aku laper banget, belum makan sejak tadi pagi. Makan bareng yuk!," ajak Kardi.

            "Ah aku belum lapar Di. Sudahlah kamu duluan saja!."

            "Ayolah ikut, aku dapat banyak pemasukan hari ini."

            "Terimakasih Di. Lain kali sajalah."

"Ya sudah, aku duluan ya."

            "Iya," ucap Suharto dengan senyum khasnya.

            Ketika Kardi pergi, perutnya tiba-tiba berbunyi karena lapar. Sejak tadi pagi ia memang belum sarapan.

            "Ah, untung kau berbunyi setelah Kardi pergi," ucapnya masih tersenyum dan merasa beruntung sambil memegangi perutnya yang lapar.

            Bagi Suharto, masalah makanan itu bukanlah hal yang remeh. Ini bukan serta merta tentang gengsi kepada teman. Ini lebih karena keyakinannya. Apalah jadinya jika ada makanan yang masuk ke perutnya, namun ia sendiri tidak tahu kehalalan makanan yang ia makan. Apalagi ia tahu, Kardi memperoleh uang dengan cara mengemis.

            Berbicara tentang Kardi, Suharto sudah mengenalnya cukup lama. Sepak terjangnya dalam dunia ngemis sudah tidak dapat diragukan lagi. Tak heran rasanya ketika Suharto mendengar desas-desus tentangnya, bahwa Kardi ternyata memiliki empat orang istri. Hal yang cukup luar biasa bagi seorang pengemis.

            "Penghasilan ngemis itu gede To. Udah deh, lu mending ngemis aja kaya gue," ajak Kardi kepada Suharto dulu.

            Kalimat ajakan itu masih sering terngiang di kepala Suharto manakala kesulitan ekonomi telah semakin menjadi dan hampir mengikis kesabarannya. Kadang ia berfikir, apalah gunanya sang ayah memberikan nama SUHARTO padanya, jika nyatanya nama yang ia sandang tak menjadikannya seperti seorang tokoh yang sama namanya dan ia kenal sebagai orang yang bergelimangan harta, punya jabatan dan terkenal.

            Suharto mulai beranjak dari tempat istirahatnya ketika melihat sebuah bus yang sudah mulai sesak dengan penumpang. Ia berjalan ke arah bus itu dan mencoba menjajakan dagangannya kembali. Ia telah beradaptasi dengan lingkungannya. Tak peduli suara bising mesin bus yang sedang dipanaskan atau polusi udara yang membuat bumi ini semakin kerontang. Ia harus tetap semangat bekerja demi kehidupan keluarganya.

Suharto masuk kedalam sebuah bus bersama dengan para pedagang asongan lain. Di dalam bus telah nampak olehnya para penumpang yang sudah lelah menunggu pemberangkatan. Suasana begitu gerah, sangat bising dengan suara mesin bus yang tidak dimatikan dan suara pedagang asongan lain yang sedang menawarkan dagangannya. Bus menjadi pasar yang hiruk pikuk. Dalam keadaan yang serba lelah itu, harapan para pedagang sepertinya hanyalah supaya dagangannya bisa laris dan segera habis.

"Yang dingin,yang dingin... ayo, ayo... rokoknya Mas, permen, air mineral... rokoknya Pak!" teriak Suharto yang mencoba menawarkan dagangannya.

Suharto menyodor-nyodorkan dagangannya pada setiap penumpang dalam bus. Beberapa penumpang hanya memandangnya dengan pandangan dingin dan sebagian lainnya bersikap acuh.

"Bang, tisunya satu bungkus!" pinta salah seorang penumpang yang duduk di kursi sebelah kanan tempat ia berdiri.

Suharto antusias. Ia segera mengambilkan apa yang penumpang itu inginkan dan menyerahkannya. Pembeli itupun menyerahkan uang untuk membayar barang yang telah dibelinya.

"Trimakasih pak!," ucap Suharto sambil tersenyum.

Suharto kembali meneriakkan dagangannya dan berjalan menelusuri kursi penumpang dalam bus. Setelah beberapa langkah berjalan, langkahnya terhenti ketika melihat seorang anak yang merengek meminta permen pada ibunya. Entah apa yang difikirkan sang ibu hingga ia tak mau meluluskan permintaan anaknya.

Melihat anak itu, Suharto jadi teringat dengan anaknya di rumah. Namanya Yusuf. Baru tadi malam ia meminta sesuatu padanya. Sebuah permintaan yang sebenarnya sudah didengungkannya selama satu tahun ini dan ia belum juga dapat meluluskan permintaan itu.

"Yusuf ingin sekolah pak," itulah pintanya.

Sebuah permintaan sederhana, tapi cukup susah untuk memenuhinya. Untuk ukuran orang sepertinya, bisa mencukupi kebutuhan pangan saja sudah sangat bersyukur. Sekolah dasar untuk masa sekarang memang telah memihak pada orang-orang kecil sepertinya dengan adanya program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Semua siswa telah dibebaskan dari biaya operasional sekolah, khususnya pada sekolah negeri. Tapi, kenyataan tak selamanya indah. Nyatanya, banyak sekolah yang masih saja menarik uang pembangunan, biaya pendaftaran, dan belum lagi untuk membeli semua peralatan sekolah. Uang itulah yang belum dikumpulkannya.

Suharto benar-benar tak tega mendengar anak itu terus menangis. Ia mengambil beberapa permen dari dagangannya dan menghampiri anak kecil itu.

"Cup... cup... jangan nangis dek, ini untuk kamu. Jangan nangis lagi yah!" ucap Suharto sambil menyodorkan beberapa permen.

Anak kecil yang masih menangis itu mulai melirihkan suaranya dan memandang Suharto dengan matanya yang masih merah dan mengeluarkan air mata. Suharto tersenyum padanya dan membelai rambut anak itu.

"Nggak usah pak," kata  ibunya.

"Nggak apa-apa bu, ini gratis."

"Kalau begitu, trimakasih banyak pak."

Suharto tersenyum pada sang ibu dan kembali berjalan menelusuri bus sampai ujung. Di pintu belakang bus ia turun. Sesaat Suharto dapat bernafas dengan lega karena telah terbebas dari kepengapan. Sayangnya, tak berapa lama kemudian dua orang berseragam lengkap dengan sebuah peluit dan tongkat pemukul di tangannya langsung datang dan menyergapnya. Ia meronta tapi tak bisa melepaskan diri dari mereka. Tubuhnya masih terasa lelah dan lemas sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa.

Suharto dan sekelompok pedagang lainnya dibawa oleh para petugas itu ke kantor tempat mereka bekerja. Kantor Satpol PP. Di tempat itu semua pedagang yang tertangkap dikumpulkan dalam satu ruangan. Dagangan mereka disita dan mereka diberikan pengarahan berupa larangan untuk berdagang di terminal dengan alasan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta pemacu tingginya tingkat kriminalitas. Terminal juga merupakan hak pengguna kendaraan umum roda empat.

Para pedagang sebenarnya sadar dengan apa yang mereka lakukan dan akibatnya. Tapi, berdagang adalah mata pencaharian yang sudah biasa mereka lakukan dan terminal adalah lokasi yang strategis untuk mereka menawarkan barang-barangnya. Mereka jadi merasa serba salah.

"Kalau memang pemerintah ingin menertibkan kota ini dengan meniadakan pedagang asongan seperti kami, seharusnya pemerintah juga sudah memikirkan alternatif lain untuk kami mengganti pekerjaan. Bagi mereka yang punya uang, mudah saja untuk melarang. Bagaimana nasib anak dan istri kami jika kami tidak bekerja?," ucap seorang pedagang dengan kesal.

***

Malam harinya Suharto dan kawan-kawannya telah diperbolehkan meninggalkan kantor tersebut. Karena uang yang didapat siang tadi paspasan, ia harus pulang berjalan kaki, menempuh jarak kurang lebih 1 km untuk sampai ke rumahnya.

Suharto berjalan dengan perut kosong dan tenggorokan yang kering. Langkahnya yang lemas itu hanya disemangati oleh harapan agar ketika pulang nanti istrinya akan menyiapkan makanan kesukaannya. Ia sudah membayangkan akan meluruskan kaki, mandi dengan air hangat, dan makan makanan buatan istrinya yang sudah terkenal lezat di kampungnya.

Suharto mencoba berjalan lebih cepat walau tubuhnya masih terasa lemas. Ia sudah tak sabar untuk sampai ke rumah. Perutnya telah meronta ketika ia melewati rel kereta api dekat rumahnya. Di balik gubuk di seberang rel itulah rumahnya.

Ketika Suharto berhasil melewati gubuk di seberang rel, mendadak langkahnya melambat. Ia melihat hal yang tak biasanya di lingkungan rumahnya. Semuanya nampak berantakan dan rata dengan puing. Ia tak menemui bangunan rumahnya, meski ia tahu dengan pasti bahwa di depan sana adalah letak rumah yang biasa ia tinggali bersama dengan anak-istrinya. Ia melihat sekitar dan memang lingkungan tempat tinggalnya itu telah berubah menjadi puing-puing bangunan yang berserakan.

Di depan sana diantara reruntuhan rumahnya, Suharto melihat anak dan istrinya tengah menangis sambil memunguti dan merapikan barang-barang yang masih tersisa. Ia berjalan perlahan menghampiri keluarganya dengan wajah lesu. Harapannya untuk menikmati hidup walau sesaat telah sirna. Istrinya berkata padanya dengan suara sendu, "Rumah kita dihancurkan pak. Mereka bilang rumah ini mengganggu tata ruang kota dan penyebab banjir ibu kota."

Suharto mematung dan tak dapat berkata atau berbuat apapun lagi. Perlahan ia tersenyum, kemudian tertawa lirih dan semakin lama semakin keras. Istri dan anaknya memandangnya dengan pandangan sayu. Gelak tawa Suharto serta tangisan istri dan anaknya  pecah di tengah-tengah kebisuan malam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun