"Nggak usah pak," kata  ibunya.
"Nggak apa-apa bu, ini gratis."
"Kalau begitu, trimakasih banyak pak."
Suharto tersenyum pada sang ibu dan kembali berjalan menelusuri bus sampai ujung. Di pintu belakang bus ia turun. Sesaat Suharto dapat bernafas dengan lega karena telah terbebas dari kepengapan. Sayangnya, tak berapa lama kemudian dua orang berseragam lengkap dengan sebuah peluit dan tongkat pemukul di tangannya langsung datang dan menyergapnya. Ia meronta tapi tak bisa melepaskan diri dari mereka. Tubuhnya masih terasa lelah dan lemas sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa.
Suharto dan sekelompok pedagang lainnya dibawa oleh para petugas itu ke kantor tempat mereka bekerja. Kantor Satpol PP. Di tempat itu semua pedagang yang tertangkap dikumpulkan dalam satu ruangan. Dagangan mereka disita dan mereka diberikan pengarahan berupa larangan untuk berdagang di terminal dengan alasan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta pemacu tingginya tingkat kriminalitas. Terminal juga merupakan hak pengguna kendaraan umum roda empat.
Para pedagang sebenarnya sadar dengan apa yang mereka lakukan dan akibatnya. Tapi, berdagang adalah mata pencaharian yang sudah biasa mereka lakukan dan terminal adalah lokasi yang strategis untuk mereka menawarkan barang-barangnya. Mereka jadi merasa serba salah.
"Kalau memang pemerintah ingin menertibkan kota ini dengan meniadakan pedagang asongan seperti kami, seharusnya pemerintah juga sudah memikirkan alternatif lain untuk kami mengganti pekerjaan. Bagi mereka yang punya uang, mudah saja untuk melarang. Bagaimana nasib anak dan istri kami jika kami tidak bekerja?," ucap seorang pedagang dengan kesal.
***
Malam harinya Suharto dan kawan-kawannya telah diperbolehkan meninggalkan kantor tersebut. Karena uang yang didapat siang tadi paspasan, ia harus pulang berjalan kaki, menempuh jarak kurang lebih 1 km untuk sampai ke rumahnya.
Suharto berjalan dengan perut kosong dan tenggorokan yang kering. Langkahnya yang lemas itu hanya disemangati oleh harapan agar ketika pulang nanti istrinya akan menyiapkan makanan kesukaannya. Ia sudah membayangkan akan meluruskan kaki, mandi dengan air hangat, dan makan makanan buatan istrinya yang sudah terkenal lezat di kampungnya.
Suharto mencoba berjalan lebih cepat walau tubuhnya masih terasa lemas. Ia sudah tak sabar untuk sampai ke rumah. Perutnya telah meronta ketika ia melewati rel kereta api dekat rumahnya. Di balik gubuk di seberang rel itulah rumahnya.