"Ya sudah, aku duluan ya."
      "Iya," ucap Suharto dengan senyum khasnya.
      Ketika Kardi pergi, perutnya tiba-tiba berbunyi karena lapar. Sejak tadi pagi ia memang belum sarapan.
      "Ah, untung kau berbunyi setelah Kardi pergi," ucapnya masih tersenyum dan merasa beruntung sambil memegangi perutnya yang lapar.
      Bagi Suharto, masalah makanan itu bukanlah hal yang remeh. Ini bukan serta merta tentang gengsi kepada teman. Ini lebih karena keyakinannya. Apalah jadinya jika ada makanan yang masuk ke perutnya, namun ia sendiri tidak tahu kehalalan makanan yang ia makan. Apalagi ia tahu, Kardi memperoleh uang dengan cara mengemis.
      Berbicara tentang Kardi, Suharto sudah mengenalnya cukup lama. Sepak terjangnya dalam dunia ngemis sudah tidak dapat diragukan lagi. Tak heran rasanya ketika Suharto mendengar desas-desus tentangnya, bahwa Kardi ternyata memiliki empat orang istri. Hal yang cukup luar biasa bagi seorang pengemis.
      "Penghasilan ngemis itu gede To. Udah deh, lu mending ngemis aja kaya gue," ajak Kardi kepada Suharto dulu.
      Kalimat ajakan itu masih sering terngiang di kepala Suharto manakala kesulitan ekonomi telah semakin menjadi dan hampir mengikis kesabarannya. Kadang ia berfikir, apalah gunanya sang ayah memberikan nama SUHARTO padanya, jika nyatanya nama yang ia sandang tak menjadikannya seperti seorang tokoh yang sama namanya dan ia kenal sebagai orang yang bergelimangan harta, punya jabatan dan terkenal.
      Suharto mulai beranjak dari tempat istirahatnya ketika melihat sebuah bus yang sudah mulai sesak dengan penumpang. Ia berjalan ke arah bus itu dan mencoba menjajakan dagangannya kembali. Ia telah beradaptasi dengan lingkungannya. Tak peduli suara bising mesin bus yang sedang dipanaskan atau polusi udara yang membuat bumi ini semakin kerontang. Ia harus tetap semangat bekerja demi kehidupan keluarganya.
Suharto masuk kedalam sebuah bus bersama dengan para pedagang asongan lain. Di dalam bus telah nampak olehnya para penumpang yang sudah lelah menunggu pemberangkatan. Suasana begitu gerah, sangat bising dengan suara mesin bus yang tidak dimatikan dan suara pedagang asongan lain yang sedang menawarkan dagangannya. Bus menjadi pasar yang hiruk pikuk. Dalam keadaan yang serba lelah itu, harapan para pedagang sepertinya hanyalah supaya dagangannya bisa laris dan segera habis.
"Yang dingin,yang dingin... ayo, ayo... rokoknya Mas, permen, air mineral... rokoknya Pak!" teriak Suharto yang mencoba menawarkan dagangannya.