Suharto menyodor-nyodorkan dagangannya pada setiap penumpang dalam bus. Beberapa penumpang hanya memandangnya dengan pandangan dingin dan sebagian lainnya bersikap acuh.
"Bang, tisunya satu bungkus!" pinta salah seorang penumpang yang duduk di kursi sebelah kanan tempat ia berdiri.
Suharto antusias. Ia segera mengambilkan apa yang penumpang itu inginkan dan menyerahkannya. Pembeli itupun menyerahkan uang untuk membayar barang yang telah dibelinya.
"Trimakasih pak!," ucap Suharto sambil tersenyum.
Suharto kembali meneriakkan dagangannya dan berjalan menelusuri kursi penumpang dalam bus. Setelah beberapa langkah berjalan, langkahnya terhenti ketika melihat seorang anak yang merengek meminta permen pada ibunya. Entah apa yang difikirkan sang ibu hingga ia tak mau meluluskan permintaan anaknya.
Melihat anak itu, Suharto jadi teringat dengan anaknya di rumah. Namanya Yusuf. Baru tadi malam ia meminta sesuatu padanya. Sebuah permintaan yang sebenarnya sudah didengungkannya selama satu tahun ini dan ia belum juga dapat meluluskan permintaan itu.
"Yusuf ingin sekolah pak," itulah pintanya.
Sebuah permintaan sederhana, tapi cukup susah untuk memenuhinya. Untuk ukuran orang sepertinya, bisa mencukupi kebutuhan pangan saja sudah sangat bersyukur. Sekolah dasar untuk masa sekarang memang telah memihak pada orang-orang kecil sepertinya dengan adanya program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Semua siswa telah dibebaskan dari biaya operasional sekolah, khususnya pada sekolah negeri. Tapi, kenyataan tak selamanya indah. Nyatanya, banyak sekolah yang masih saja menarik uang pembangunan, biaya pendaftaran, dan belum lagi untuk membeli semua peralatan sekolah. Uang itulah yang belum dikumpulkannya.
Suharto benar-benar tak tega mendengar anak itu terus menangis. Ia mengambil beberapa permen dari dagangannya dan menghampiri anak kecil itu.
"Cup... cup... jangan nangis dek, ini untuk kamu. Jangan nangis lagi yah!" ucap Suharto sambil menyodorkan beberapa permen.
Anak kecil yang masih menangis itu mulai melirihkan suaranya dan memandang Suharto dengan matanya yang masih merah dan mengeluarkan air mata. Suharto tersenyum padanya dan membelai rambut anak itu.