Sebuah kata yang tidak pernah Nola bayangkan sebelumnya terlontar dari seseorang yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mata yang sipit rambut hitam dan kulit sawo matang, ketika berjalan dia seperti meminta jadi pusat perhatian.
Namanya adalah Fahri. Satu-satunya pemuda di desa itu yang belum menikah. Usianya hampir 30 tahun. Fahri seorang sarjana matematika dan 3 tahun lalu baru pulang dari pondok pesantren setelah tinggal selama lebih dari 10 tahun.
Laki-laki itu kini bekerja sebagai guru sekolah dasar dan juga ketua perhimpunan petani di desa itu. Sedangkan Nola, dia hanyalah gadis desa biasa yang hanya tamat SMA.
Nola berusia 25 tahun cukup tua untuk perempuan di desanya untuk menikah. Pantas saja dia sering disebut perawan tua. Tapi gadis itu tidak pernah menghiraukan perkataan orang tentang julukannya itu.
Nola bukan jomblo kolot yang susah punya pacar. Gadis berkulit putih dengan hidung mancung dan kaki yang jenjang itu, bahkan mampu membuat siapa saja akan jatuh hati ketika bertemu pertama kali dengannya. Namun Nola adalah perempuan setia.
Sejak 6 tahun lalu gadis itu sudah berhubungan dengan Jodi. Teman SMA nya yang kini sedang menempuh pendidikan pasca sarjananya. Itu satu-satunya alasan Nola kenapa masih belum menikah.
Suatu ketika Fahri datang berkunjung ke rumah Nola. Ayah menyambut dengan suka cita karena Fahri memang sahabat dari Anton kakak Nola. Sejak kecil Fahri memang sering main juga bersama Anton dan Nola.
Mereka sudahah seperti sahabat bahkan kakak, kata Nola. Ini adalah kali pertama Fahri bertemu dengan Nola, sejak Nola kembali ke desanya. Nola adalah anak rantau yang sengaja pergi ke kota untuk mencari pengalaman bekerja katanya.
“La! Nikah, Yuk!”
“Kak Fahri ngigau?”
Kalimat itu dengan mudah Nola ucapkan ketika Fahri yang baru pertama ia temui sejak bertahun-tahun itu mengajaknya menikah. Sebuah kalimat yang bahkan terdengar seperti guaruan itu terlontar dari bibir Fahri yang selalu serius. Ayah yang juga terkejut mendengar ucapan Fahri hanya tersenyum.
Nola baru saja menyajikan secangkir kopi lalu bersalaman dengan Fahri kala itu. Kopi pahit dengan sedikit gula untuk ayah dan kopi manis dengan campuran susu untuk Fahri di cangkir lainnya.
“Nggak,” sangkal Fahri.
Nola hanya tersenyum, meninggalkan ruang tamu. Samar-samar terdengar suara Fahri bercakap-cakap dengan Ayah, mengenai tanaman cabai yang rusak karena hujan yang terus-menerus turun sejak seminggu ini. Di sela-sela itu Fahri kembali menyinggung tentang Nola.
Samar namun jelas, ayah hanya bilang terserah Nola. Ayah memang tidak pernah memaksakan kehendaknya pada dua anaknya. Bahkan ketika anak putri nya yang belum menikah di usia 25 tahun itu, selalu menolak jika ada pemuda yang datang.
Di pagi yang cerah, dengan embun berkilauan di ujung-ujung daun teh. Nola berjalan menuntun sepedanya. Jalannya perlahan sambil mengamati kabut yang kian lama kian menipis meninggalkan puncak-puncak bukit dan daun-daun.
"La!" teriak seseorang dari balik pohon teh.
"Hai. Mirna!"
Perempuan dengan keranjang teh di pundaknya itu lalu menghampiri Nola."Mau kemana?" tanya Mirna.
"Nggak kemana-mana, cuma jalan-jalan aja!"
"Katanya kamu mau nikah sama Fahri?"
Nola mengerutkan keningnya tak percaya dengan apa yang baru saja temannya katakan.
"Kata siapa?" tanya Nola.
"Bundanya Fahri bilang, katanya lusa mau lamar kamu!"
"Mana mungkin aku nikah sama Mas Fahri! Kan kamu juga tahu aku pacaran sama Jodi!" sanggah Nola.
"Kamu serius mau nolak Kak Fahri demi si Jodi? Kalau Jodi emang serius sama kamu La, bukannya dia udah lamar dan nikahi kamu dari dulu?"
"Udahlah aku mau pulang, Mir. Aku mau tanya langsung sama Mas Fahri."
Nola lalu menaiki sepedanya menuju sebuah kebun cabai tidak jauh dari perkebunan teh itu.
"Kang! Maaf, Mas Fahrinya ada?" tanya Nola pada seorang yang sedang menyemprotkan sebuah cairan ke tanaman cabai yang baru saja tumbuh bunga-bunga kecil.
"Maaf Neng, Fahrinya lagi ke kota beli insektisida."
"Terima kasih, Kang! Saya pergi dulu," ucap Nola kemudian meninggalkan tempat itu dan beranjak pulang.
Braak...
Nola membanting sepedanya di halaman dan berlari memasuki rumahnya. Gadis itu lalu menyambar segelas teh manis di meja yang sengaja Ibu sediakan untuk ayah yang sebentar lagi akan pulang dari kebun.
"Dek! Kamu kebiasaan punya Ayah main minum aja!" tegur Ibu.
Nola hanya diam lalu masuk kamar dan menguncinya. Dengan segera Ibu membuntuti Nola dan mengetuk pintu kamarnya.
"Dek! Kamu kenapa?"
"Sebel, Bu! Sama Ayah. Katanya terserah Nola tapi kenapa sekarang udah tersebar kabar kalau Nola mau nikah sama Mas Fahri?"
"Bukan Ayah, kok! Tapi Ibu."
Nola lalu membuka pintunya, terlihat jelas wajah ibu kala itu tampak serius.
"Kenapa, Bu?"
"Mau sampai kapan kamu itu nunggu Jodi?"
"Jodi sebentar lagi selesai S2, Bu!"
"Setelah itu dia mau S3? Nggak ada habisnya sayang. Kalau dia memang serius coba datang sekali-kali ke rumah bawa orang tuanya. Laki-laki itu yang di pegang komitmennya bukan cuma janji-janji manisnya kaya gitu."
"Bu ...!" rengek Nola.
"La! Kamu udah bukan remaja! Apa yang kurang dari Fahri? Ibu yang bilang ke bundanya Fahri kalau kamu mau di lamar."
"Pokoknya Nola nggak mau, Bu! Mas Fahri itu udah kaya kakaknya Nola."
Bersambung........
(Cerita ini pernah dibukukan dalam sebuah antologi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H