Kalimat itu dengan mudah Nola ucapkan ketika Fahri yang baru pertama ia temui sejak bertahun-tahun itu mengajaknya menikah. Sebuah kalimat yang bahkan terdengar seperti guaruan itu terlontar dari bibir Fahri yang selalu serius. Ayah yang juga terkejut mendengar ucapan Fahri hanya tersenyum.
Nola baru saja menyajikan secangkir kopi lalu bersalaman dengan Fahri kala itu. Kopi pahit dengan sedikit gula untuk ayah dan kopi manis dengan campuran susu untuk Fahri di cangkir lainnya.
“Nggak,” sangkal Fahri.
Nola hanya tersenyum, meninggalkan ruang tamu. Samar-samar terdengar suara Fahri bercakap-cakap dengan Ayah, mengenai tanaman cabai yang rusak karena hujan yang terus-menerus turun sejak seminggu ini. Di sela-sela itu Fahri kembali menyinggung tentang Nola.
Samar namun jelas, ayah hanya bilang terserah Nola. Ayah memang tidak pernah memaksakan kehendaknya pada dua anaknya. Bahkan ketika anak putri nya yang belum menikah di usia 25 tahun itu, selalu menolak jika ada pemuda yang datang.
Di pagi yang cerah, dengan embun berkilauan di ujung-ujung daun teh. Nola berjalan menuntun sepedanya. Jalannya perlahan sambil mengamati kabut yang kian lama kian menipis meninggalkan puncak-puncak bukit dan daun-daun.
"La!" teriak seseorang dari balik pohon teh.
"Hai. Mirna!"
Perempuan dengan keranjang teh di pundaknya itu lalu menghampiri Nola."Mau kemana?" tanya Mirna.
"Nggak kemana-mana, cuma jalan-jalan aja!"
"Katanya kamu mau nikah sama Fahri?"