Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setengah Lapangan

28 Oktober 2020   00:00 Diperbarui: 28 Oktober 2020   00:04 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini sebuah kisah saat aku masih duduk di bangku SMP. Hari itu adalah hari yang sangat cerah di bulan Agustus. Aku bersama kawan-kawan ku satu kelas sedang mengikuti acara kemah atau tepatnya persami (Perkemahanan Sabtu Minggu) untuk memperingati hari Pramuka ke-46. Ya, saat itu aku masih duduk di bangku SMP. 

Perkenalkan namaku Santi usiaku baru 14 tahun, tapi aku sudah merasa dewasa kala itu. Meskipun belum pernah merasakan ciuman tapi aku sudah 2 kali berpacaran. Ini tidak untuk di tiru, jika diingat saja membuatku sangat malu.

Kembali lagi, ini adalah acara perkemahan yang di adakan oleh sekolahku, semua kelas wajib ikut. Nah kelas ku yaitu 7 D mengirim 3 tenda. Satu tenda laki-laki dan 2 tenda untuk perempuan. Kenapa demikian? Ya kami kelas D bisa di bilang kelas kami paling bontot dan terlalu banyak siswi dari pada siswa nya. Aku adalah satu dari dua ketua regu,seorang yang akan memimpin tim 2 putri dari kelas 7D. 

Melelahkan, sungguh ini kali pertama aku merasa tidak bersenang-senang saat mengikuti acara perkemahan sejak lulus SD. Karena saat masuk SMP semua berubah, aku mulai menerima bully dari kakak kelas maupun dari para pembina yang menurutku keterlaluan.

"Hei," sapa seseorang di belakang tenda ku.

Seorang siswa dari kelas 7 A. Dia teman semasaku SD, namanya Damar. Anak itu tersenyum tipis seperti biasa. Tenda yang di kelilingi pagar bambu dan tali ia lewati demi menghampiri ku yang sedang duduk sendiri menatap tungku yang hampir padam apinya karena tidak ada lagi kayu yang terbakar.

Damar bukan pemimpin sebuah regu atau tim, dia bebas keluyuran tanpa siapapun yang mencarinya. Tapi tentu jika pembina tahu dia di tenda putri pasti dia akan mendapat hukuman.

Jam menunjukan pukul 10 acara hiburan sudah usai, semua di harapkan kembali ke tenda dan bersiap untuk tidur. Namun aku yang kesal dengan tim ku, tetap di luar.

"Ini makanlah, jangan sampai kamu nggak makan" ucap Damar sambil mengacungkan sebuah roti berbentuk bulat dengan cokelat di dalamnya.

Aku menerimanya dengan senang hati, bahkan saat melihat roti itu aku tak tega memakannya. Ini terlalu berlebihan kataku dalam hati. Dan saat aku menoleh, Damar sudah pergi karena takut dapat hukuman untuk yang kesekian kalinya.

Anak itu memang nyleneh, tapi asal tau saja, dia tampan. Dari semua anak angkatan ku di tahun itu, Damar adalah yang terbaik. Tapi soal prestasi, dia pasti akan jadi juara jika ada lomba paling bodoh.

Roti itu hanya sebagian kecil perhatian Damar terhadap ku. Hari ke dua kami kemah, aku dapat tugas mengambil air. Kebetulan tenda kami jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga, aku membawa dua ember di kedua tangan serta handuk di pundakku. Pagi yang cerah dengan embun-embun pagi yang membuat langkah kaki ku merasa sulit.

"Biar aku saja," 

Damar merebut dua ember milikku dan membawanya pergi, "jangan di bawa ke tenda, mu!!" teriakku pada anak itu.

"Mau buat aku cebok!" ucapnya lalu terbahak-bahak.

Damar memang selalu bisa membuat ku tertawa di saat aku tidak mampu tersenyum. Damar, adalah seseorang yang pernah aku sebut sebagai pacar. Menggelikan memang, tapi setiap orang mempunyai ceritanya masing-masing.

Dan ini adalah ceritaku dengan Damar. Aku tahu aku masih menyukainya begitu juga dia, aku yakin dia masih menyukaiku. Tapi kami hanya debu yang terombang-ambing dan kemudian di hempas oleh badai. Selepas kami mengikuti acara itu, kami libur beberapa hari.

Saat hari senin aku tak lagi melihat Damar memarkir sepeda nya di depan kelasku atau melihat dia menuntuti ku di belakang angkot yang aku naiki.

Damar dimana?

Entah, bagaimana kisah kita selanjutnya nampaknya tidak ada. Kisah kami sebatas itu. Hingga 5 tahun setelah itu aku mengetahui kabar Damar. Damar yang aku kenal dulu bukan lagi Damar yang ku kenal sekarang. 

Damar yang polos ceria kocak dan apa adanya, berubah jadi Damar pendiam tatapan kosong dan lupa siapa aku. Aku bertemu lagi dengannya ketika aku sedang bersama kawanku, panggil saja dia Mona, kami sedang ada tugas dari guru kami untuk mengantar sebuah paket untuk seorang guru di sekolah lain. Namun di tengah jalan, sepeda motor yang kami tumpangi mendadak mati.

Sial! Bensinnya habis. Aku dan Mona mendorong kendaraan roda dua itu sudah lebih dari 10 menit dan belum juga menemukan penjual bensin eceran. Hingga tiba di sebuah persimpangan datang dua orang laki-laki bertampang seram dengan tato di kedua lengannya. Lidahnya di tindik dan telinganya di pasang seperti cincin yang entah apa itu namanya.

Semakin dekat semakin terlihat dia begitu kumal dan kucel. Seketika kami berdua gemetar menghadapi situasi yang tak terduga seperi itu.

"Ampun bang, kita nggak bawa uang." ucap Mona tiba-tiba.

"Kamu pikir saya mau malak!" Bentak laki-laki itu.

"Lalu?" tanya kami gemetar.

"Kita lagi main TTS kamu bantu kami jawab." pinta laki-laki dengan tato naga di lehernya.

"Kami ada tugas negara, bang!" ucapku.

"Nanti adiku belikan kau bensin, yang penting bantu kami dulu!" 

"Tapi--"

"Kalau nggak mau bantu ya sudah. Kita juga nggak bakal bantuin," teriak seseorang yang sedang duduk di atas papan kayu sambil memegang sebuah pensil. Suaranya tak asing, tapi aku takut salah orang jika sembarang memanggil nama.

Aku terdiam dan terus menatap laki-laki itu, jika orang lihat mungkin aku tidak berkedip. Wajahnya sangat mirip suaranya juga sama, apa aku berhalusinasi? Pikirrku.

"Mbak!!!" seru laki-laki yang di hadapanku, "mba naksir sama Dadang? Dia memang paling tampan diantara kami. Tapi dia itu masternya kebodohan!"

"Dadang--?" gumamku.

"Iya, laki-laki tampan itu kalau disini di panggil nya Dadang. Tapi nama asliny itu Damar. Dia itu bodoh, lebih pinter juga saya" ucap laki-laki itu dengan bangga.

Ku pikir mata dan telingaku yang salah, ternyata aku tak pernah melupakan bagaimana hari itu Damar menggoda ku dan mejahiliku. Aku tidak sedang berhalusinasi, dia memang Damar. Damar dengan kebodohan nya yang mengakar.

Kisah kami harusnya tak pernah usai, jika hari itu aku menghampirinya jika aku menyapanya dan mengingatkan nya. Tapi kisah kami benar berkahir hari itu karena aku lari mencari sesuatu yang tak seharunya aku cari.

Damar dengan hidupnya dan aku dengan hidupku, bayangnya masih sama tak berubah meski kita terpisah oleh jarak dan waktu. Kita hanya sebagian kisah yang pernah di tulis semesta, yang di basahi oleh hujan, hingga terhempas lenyap oleh badai keegoisan.

Umiyamuh30

27Oktober2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun