"Dadang--?" gumamku.
"Iya, laki-laki tampan itu kalau disini di panggil nya Dadang. Tapi nama asliny itu Damar. Dia itu bodoh, lebih pinter juga saya" ucap laki-laki itu dengan bangga.
Ku pikir mata dan telingaku yang salah, ternyata aku tak pernah melupakan bagaimana hari itu Damar menggoda ku dan mejahiliku. Aku tidak sedang berhalusinasi, dia memang Damar. Damar dengan kebodohan nya yang mengakar.
Kisah kami harusnya tak pernah usai, jika hari itu aku menghampirinya jika aku menyapanya dan mengingatkan nya. Tapi kisah kami benar berkahir hari itu karena aku lari mencari sesuatu yang tak seharunya aku cari.
Damar dengan hidupnya dan aku dengan hidupku, bayangnya masih sama tak berubah meski kita terpisah oleh jarak dan waktu. Kita hanya sebagian kisah yang pernah di tulis semesta, yang di basahi oleh hujan, hingga terhempas lenyap oleh badai keegoisan.
Umiyamuh30
27Oktober2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H