Mohon tunggu...
Umi Sahaja
Umi Sahaja Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Ibu bekerja yang ingin sukses dunia akhirat

Selalu berusaha membuat segalanya menjadi mudah, meski kadang sulit. 😄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maafkan Aku

27 Januari 2024   17:10 Diperbarui: 27 Januari 2024   17:11 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

If you're not the one then why does my soul feel glad today?

If you're not the one then why does my hand fit yours this way?

Alunan musik terdengar dari kamar Ninung. Gadis dengan tinggi semampai dan rambut panjang itu sedang merebahkan diri di ranjang. Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang, di kampus tempatnya menimba ilmu.

"Selama janur kuning belum melengkung, siapa pun berhak untuk berjuang." Ucapan Haris tadi siang kembali terngiang, ada getar dan rasa yang berbeda di hati gadis belia itu.

"Kenapa aku yang Kakak pilih?" 

"Kamu bukan hanya cantik dan baik, tetapi juga mandiri dan sayang keluarga," jawab Haris tegas. Pria ganteng dengan tubuh atletis itu tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku,"ucapnya lagi. Tatapan lembut dari mata indah itu meluluhkan hati Ninung. 

Haris tau Ninung sudah punya kekasih. Hubungan keduanya baik-baik saja, meskipun terpisah jarak. Tiba-tiba dengan pongahnya Haris hadir, mengusik ketenangan hati Ninung. 

Fadli kekasih yang baik hati dan setia. Hubungannya dengan Ninung terjalin sejak SMU. Hubungan itu bukan tanpa kendala, tapi keduanya merasa sudah seiya sekata. Fadli melanjutkan sekolah di luar kota hingga membuat jarak itu tercipta. Keduanya juga mengabaikan  restu orang tua. Selama ini Fadli masih enggan membawa Ninung ke rumahnya.

Saat Haris hadir dengan perhatian, sikap dewasa, dan niat seriusnya ingin menjadikan Ninung pendamping hidup. Ninung mulai goyah. Apalagi Haris yang sudah bekerja dengan mudah diterima keluarga Ninung. Ninung merasa ada di persimpangan jalan.

Ninung mulai membandingkan Fadli dengan Haris. "Apa rasa sayangku kepada Fadli mulai pudar? Kenapa begitu mudah aku tergoda?" Batinnya merasa berdosa, kenapa bisa menduakan cinta.

"Tapi perempuan kan butuh kepastian," bantah Ninung dalam batinnya. Dia merasa Fadli tidak memberinya kepastian.

Drrtt. Drrtt.

Ninung membuka ponselnya, pesan dari Fadli.

"Jadi ke Malang? Besok aku jemput di stasiun." 

Ninung mengiakan meskipun sisi hatinya merasa bersalah telah menduakan Fadli. Fadli yang baik, tulus, setia, dan selalu berusaha membuat Ninung bahagia. Fadli yang sekarang berjuang kuliah demi masa depan.

"Aku kemarin bantu memperbaiki motor anak SMU yang mogok. Awalnya mau lanjut jalan saja, tiba-tiba ingat kamu, bagaimana kalau yang motornya mogok itu kamu. Akhirnya aku berhenti dan membantunya," cerita Fadli suatu hari saat mereka bersama. 

Ninung membayangkan gadis yang ditolong itu terpesona akan ketampanan dan kebaikan hati Fadli. Ninung yang semula cemberut, sedetik kemudian menunjukkan senyum manis.

"Awalnya mau cemburu, tapi endingnya begitu... Hmm... Fadli ... I love you," balas Ninung berpantun ria dengan mata berbinar, tangannya membentuk simbol saranghae.

Di lain waktu, saat keduanya berselisih paham, Fadli dengan kerendahan hati selalu meminta maaf lebih dulu. 

"Siapa yang tega marahan sama kamu," ucapnya sambil mengacak ujung rambut panjang Ninung.

Semua hal yang Fadli lakukan hanya untuk Ninung. Itu yang dirasakan Nining selama bersama Fadli.

Ninung menarik nafas dalam-dalam. Sekarang dia harus berkemas, keretanya sudah menunggu kedatangannya. Juga Fadli. Besok kuliahnya libur, dia ingin melepas penat seharian bersama Fadli.

*

Di stasiun Malang, Ninung bergegas keluar bersama penumpang kereta yang lain. Hari beranjak siang, matahari bersinar cerah. Hangat dirasakan Ninung saat bahunya disentuh. Ninung menoleh ke kanan, lalu ke kiri dan tersenyum.

"Kalau disentuh bahu kanan, nolehnya ke kiri, Non!" kikik tawa Fadli terdengar. Ninung ikut tertawa. Binar mata itu menyiratkan ... bahagia. 

Andai Fadli tau Ninung mendua, tiba-tiba Ninung nelangsa, membayangkan Fadli yang terluka.

Sepanjang jalan Fadli bercerita tentang kuliah, teman-teman dan kegiatannya. Fadli memberi bimbingan belajar privat dan menjadi asisten dosen untuk mendapatkan uang tambahan. Ninung hanya mendengarkan semuanya, sesekali menjawab pertanyaan Fadli dengan jawaban pendek.

Beberapa saat kemudian sampai lah di kosan Fadli. Fadli mengajak Ninung duduk di teras. Kos Fadli terdiri dari kamar-kamar yang berderet membentuk huruf U. Di depan kamar terdapat teras yang dilengkapi dengan kursi dan meja. Kamar pemilik kos di tengah, berdekatan dengan dapur. Fadli ke dapur untuk membuatkan minum.

Di halaman kosan ada pohon mangga yang mulai berbunga. Udara segar dan sejuk dirasakan Ninung. Suasana sore masih ramai. Beberapa penghuni kos yang lain sedang duduk dan bermain gitar. Sesekali Ninung mengangguk dan tersenyum saat ada anak kos yang melintas dan menyapanya. 

"Nanti setelah aku lulus, aku pengen ke Kalimantan. Ada teman yang sudah nawarin kerja di sana. Lalu kita menikah, punya anak yang lucu-lucu." Fadli berkata setelah meletakkan dua gelas berisi teh hangat di meja. Mata Fadli berbinar saat bicara. Ninung diam mendengarkan.

"Nanti kalau tiba-tiba kamu kangen rumah dan pengen pulang. Wah, bisa repot, karena ongkos pulang tidak sedikit," ucap Fadli lagi, kemudian tertawa. 

"Ish, enak aja. Aku kan juga bisa bekerja di sana. Aku nggak mau ah, kalau cuma minta uang dari suami," protes Ninung. Dia merasa menjadi perempuan seharusnya mandiri secara finansial, agar tidak mudah dipermainkan.

"Tapi aku ingin kamu di rumah, mengurus anak-anak kita nanti." Fadli menganggukkan kepalanya, seakan-akan meminta persetujuan Ninung.

Ninung hanya mencebik. Fadli tersenyum melihatnya.

"Tapi kamu nggak tau, kalau hatiku sekarang terbagi." Suara batin Ninung tiba-tiba menyeruak ke permukaan, membuat suasana menjadi hening sesaat.

 Ninung menghela nafas, lalu buru-buru mengusap matanya yang mulai berkabut, jangan sampai Fadli melihatnya menangis. 

Fadli melihatnya, wajahnya menyiratkan tanya. Ninung hanya menggeleng, sebagai tanda kalau dia baik-baik saja. Samar terdengar lagu favorit Ninung dari kamar kos.

I'll never know what the future brings

But I know you're here with me now

We'll make it through

And I hope you are the one I share my life with

*

Pulang dari Malang, Ninung disambut ibunya yang memberitahu kedatangan Haris. Ninung mencebik sebal. "Mau apa Kak Haris ke rumah," batinnya. Hatinya kembali condong kepada Fadli sepulang dari Malang. Ibunya menyuruh Ninung menemui Haris. Ninung menurut. 

"Maaf, Kak. Ninung sudah punya Fadli. Tolong Kak Haris jangan main ke rumah lagi," ucap Ninung tegas. Dia harus memilih diantara keduanya.

Haris menarik nafas dalam, kekecewaan tergambar di wajahnya.

"Tapi masih boleh kan kalau mau telepon atau SMS?" tanyanya.

Ninung mengangguk. Lalu Haris berpamitan. Ninung lega, tidak ada lagi rasa bersalah karena menduakan Fadli. Lebih baik segera diakhiri daripada lama-lama akan membuat semua sakit hati.

*

Hari berlalu, Ninung menjalani aktivitas seperti biasa, ke kampus untuk kuliah sesekali keluar jalan-jalan dengan teman-temannya. 

Drttt. Drrttt.

Ponselnya berbunyi, pesan dari Haris. Setelah ultimatumnya saat di rumah, Haris menepati janjinya. Dia tidak pernah main ke rumah. Namun pesannya melalui SMS dan telepon terus berdatangan. Sekedar menanyakan kabar, sudah makan atau belum, sudah sholat atau belum, kadang pesan atau quote yang tidak jelas yang tidak bisa tidak membuat Ninung tersenyum:

"Seberat apa pun masalahmu, jangan lupa mengeluh.

"Mencintaimu itu wajar. Yang nggak wajar itu mencintai bapakmu."

Dan itu terjadi setiap hari. Hingga tanpa Ninung sadari, dia menunggu, pesan apa yang akan dikirimkan Haris hari ini.

*

Dan kemudian Fadli tahu tentang Haris. Dia menanyakan kenapa nama Haris sering muncul di ponsel Ninung. Rupanya Fadli mengkloning akun Ninung di ponselnya. Fadli mengetahui hubungan Ninung dan Haris. Fadli marah. Fadli jadi sering ke rumah dan ke kampus hanya untuk mengantar jemput Ninung. Fadli mengabaikan kuliahnya. Setiap hari Fadli selalu mengecek ponsel Ninung. Fadli bahkan mencurigai dosen yang menanyakan tugas Ninung di kampus. Fadli telah berubah, tidak ada lagi kata-kata lembut dan manis saat bersama Ninung. Hanya kata-kata kasar dan penuh amarah. Ninung kecewa, permintaan maafnya tidak didengarkan Fadli. Ajakan Ninung untuk bertemu orang tua Fadli untuk menunjukkan keseriusannya juga ditolak. Sepanjang waktu Fadli hanya meratapi nasibnya yang telah diduakan. Ninung yang sedih dan kecewa lalu memutuskan hubungan dengan Fadli.

*

Ninung hanya ingin menyendiri, setidaknya sampai pikirannya jernih. Apalagi kegiatan kampusnya memasuki masa sidang skripsi. Ninung ingin fokus menyelesaikan kuliahnya tanpa memikirkan percintaan. 

"Jangan membenci dirimu sendiri, karena itu tugas orang lain." Tiba-tiba pesan masuk dari Haris.

"Boleh aku ke rumah sore ini?" pesan dari Haris muncul lagi.

Belum sempat Ninung membalas, Fadli datang mengendarai motornya memasuki halaman rumah Ninung. Ninung yang berasa di teras rumah terperanjat, bagaimana kalau Haris dan Fadli bertemu di sini? Buru-buru Ninung membalas pesan Haris.

"Jangan sekarang, aku masih ingin sendiri," tulisnya. Tanpa disadari Ninung pesan itu tidak terkirim. Ninung lalu berdiri dan menunggu Fadli yang berjalan menghampirinya.

"Aku bawakan apel kesukaanmu," Fadli menyerahkan bungkusan kepada Ninung. 

"Aku masih ingin sendiri, Fadli. Tolong beri aku waktu," ucap Ninung lalu duduk dan meletakkan bungkusan itu di meja.

"Maafkan aku," ucap Fadli seraya duduk di depan Ninung.

"Bisakah kita kembali seperti dulu?" tanyanya dengan wajah memelas.

"Entahlah, aku ingin fokus menyelesaikan kuliah. Kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku," Ucapan Ninung terhenti saat melihat mobil Haris yang memasuki halaman.

Seketika wajah Fadli menegang, tangannya mengepal, dia lantas berdiri. Ninung dengan hati berdebar kencang bergumam pelan, "Sebentar ya, Fadli." Lalu dia berjalan menghampiri mobil Haris. Haris terlihat menatap Fadli sejenak lalu memutar mobilnya kembali. 

Ninung berusaha tenang, lalu berjalan kembali menemui Fadli setelah mobil Haris menjauh.

"Siapa dia?"

"Teman ayah."

"Kamu bohong!"

Ninung diam. Fadli yang marah lalu menatap Ninung tajam.

"Tidak ada ceritanya saat laki-laki menyayangi perempuan, kemudian dia merelakan perempuannya menjadi milik orang lain, dengan dalih apapun!" ucapnya lalu beranjak pergi. 

*

Dua tahun berlalu, Ninung kini sudah menikah dan dikaruniai buah hati yang lucu. Begitu Ninung berhasil menyelesaikan skripsinya, dengan segera Haris bergerak cepat. Saat wisuda Haris menyematkan cincin di jari manis Ninung. Ninung mengangguk tanda setuju untuk menjadi pendamping hidup Haris. Lamaran Haris menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga Ninung.

Dalam kehidupan berumah tangga ada saja ujian yang harus dihadapi. Saat lelah menghadapi ujian itu, terbersit tanya di hati Ninung, "Andai saja aku menerima Fadli, apa kisah hidupku akan sama?"

Namun segera ditepisnya pikiran itu jauh-jauh, kemudian mengisinya dengan sugesti positif: "Hidupku sekarang adalah anugerah, syukuri setiap detiknya. Fokus pada masa depan bersama Haris dan Aufar, jagoan kecilku". Sayup terdengar alunan  lagu yang selalu melekat dalam ingatan Ninung.

And I'm prayin' you're the one I build my home with
I hope I love you all my life

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun