"Maaf, Kak. Ninung sudah punya Fadli. Tolong Kak Haris jangan main ke rumah lagi," ucap Ninung tegas. Dia harus memilih diantara keduanya.
Haris menarik nafas dalam, kekecewaan tergambar di wajahnya.
"Tapi masih boleh kan kalau mau telepon atau SMS?" tanyanya.
Ninung mengangguk. Lalu Haris berpamitan. Ninung lega, tidak ada lagi rasa bersalah karena menduakan Fadli. Lebih baik segera diakhiri daripada lama-lama akan membuat semua sakit hati.
*
Hari berlalu, Ninung menjalani aktivitas seperti biasa, ke kampus untuk kuliah sesekali keluar jalan-jalan dengan teman-temannya.Â
Drttt. Drrttt.
Ponselnya berbunyi, pesan dari Haris. Setelah ultimatumnya saat di rumah, Haris menepati janjinya. Dia tidak pernah main ke rumah. Namun pesannya melalui SMS dan telepon terus berdatangan. Sekedar menanyakan kabar, sudah makan atau belum, sudah sholat atau belum, kadang pesan atau quote yang tidak jelas yang tidak bisa tidak membuat Ninung tersenyum:
"Seberat apa pun masalahmu, jangan lupa mengeluh.
"Mencintaimu itu wajar. Yang nggak wajar itu mencintai bapakmu."
Dan itu terjadi setiap hari. Hingga tanpa Ninung sadari, dia menunggu, pesan apa yang akan dikirimkan Haris hari ini.