Mohon tunggu...
Umi Kudori
Umi Kudori Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Ibu rumah tangga sederhana yang ingin bersahabat dan saling berbagi dengan masyarakat luas. www.umikudori.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia Serta Solusinya

6 Januari 2017   10:43 Diperbarui: 10 April 2019   09:55 29907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual anak. (SHUTTERSTOCK)

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia kini kian marak dan mencemaskan. Padahal seluruh komponen pemerintah dan masyarakat sipil telah berjuang keras mengatasinya. Mengapa perjuangan itu sejauh ini terkesan kurang efektif? Inikah saat yang tepat untuk “meningkatkan status” masalah ini menjadi sejajar dengan terorisme dan narkoba?

“Kekerasan terhadap perempuan” dalam Undang-undang Nomor UU No 23 Tahun 2004 didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Mirip dengan itu, pengertian “kekerasan terhadap anak” dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Meski konsekuensi hukumannya cukup berat, dan kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil pun telah bekerja keras mengatasinya dengan menghabiskan dana serta sumber daya lainnya yang kian tahun semakin meningkat, namun kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini justru bertambah gawat dan mengkhawatirkan. Sepertinya para pelaku kekerasan itu tidak keder sedikit pun.

Dalam tahun 2015 saja, menurut Komisi Nasional Perempuan, terjadi sedikitnya 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, atau rata-rata 881 kasus setiap hari. Dibanding tahun sebelumnya, angka ini meningkat 9%.

Sedangkan dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun yang sama, terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak, 53% di antaranya ialah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

MEMICU KEKERASAN LAINNYA YANG SEJENIS

Lebih parahnya lagi, seperti yang dibuktikan melalui serangkaian penelitian serta pengalaman lapangan dari para pegiat anti kekerasan terhadap anak dan perempuan selama ini, ternyata hampir semua kasus kekerasan tersebut bukan hanya merupakan insiden-insiden yang hanya berhenti di situ, melainkan juga menjadi faktor-faktor yang memicu terjadinya berbagai jenis kekerasan lainnya terhadap perempuan, terutama perdagangan manusia (human trafficking) dan pemiskinan kaum perempuan atau feminisasi kemiskinan.

Sebuah riset di Jawa Timur dan DKI Jakarta tahun 2013 menunjukkan, sebagian besar perempuan maupun anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kurun waktu 2005 hingga 2010 pada akhirnya terperangkap dalam berbagai bentuk perdagangan manusia seperti dipaksa menjadi pelacur, babu, buruh kasar, dan sebagainya.

Penelitian lainnya di pelosok Jawa Barat dan Sulawesi tahun 2011 hingga 2014 mengungkapkan, hampir 80 persen perempuan yang menjadi korban KDRT dan terjerumus dalam kemiskinan akibat kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh mantan suami mereka, belakangan menjadi semakin miskin gara-gara dijegal oleh berbagai diskriminasi dan stigma gender yang mereka hadapi di lingkungan sosial dan kulturalnya terutama berupa penomorduaan (subordinasi), marginalisasi, stereotip, beban kerja, dan kekerasan yang semuanya bermuara pada feminisasi kemiskinan atau “kemiskinan berkelamin betina”.

Sang peneliti mengilustrasikan salah satu contoh feminisasi kemiskinan itu melalui kisah seorang janda dan seorang duda yang bertetangga di lokasi penelitian, berikut ini:

Duda dan janda itu bercerai dengan pasangannya masing-masing pada tahun yang sama, dan tingkat ekonomi serta pendidikan keduanya juga relatif setara. Dua tahun kemudian, ekonomi si duda meningkat hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya. 

Sedangkan kesejahteraan hidup si janda dalam periode tersebut merosot tajam. Pasalnya, aktivitas ekonomi si janda sangat dibatasi oleh berbagai diskriminasi dan stigma gender yang terkonstruksi secara default dalam lingkungan sosio-kulturalnya – misalnya ia mustahil bisa mencari nafkah sampai malam hari karena ini bisa membuat para tetangga mencapnya sebagai perempuan “begituan”. Pada saat yang sama, si duda bebas mencari nafkah sampai larut malam, bahkan hingga esok paginya sekalipun.

ENAM PENYEBAB UTAMA

Jika ditelaah secara saksama, terdapat enam faktor penyebab utama merebaknya serta tak terkendalinya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Faktor penyebab pertama, terlepas dari fakta tentang cukup kerasnya ancaman hukuman terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan manusia, namun semua itu masih belum cukup keras untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku itu. 

Buktinya, seperti diuraikan di atas, statistik tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meroket. Bahkan khusus untuk kasus perdagangan manusia, Indonesia menjadi “juara ketiga” di dunia. 

Semua ini terjadi karena selama ini kita hanya melihat dan memperlakukan momok kekerasan terhadap perempuan dan anak yang amat mengerikan itu sebagai suatu masalah yang biasa-biasa saja (business as usual).

Penyebab kedua, para pengelola program – baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil – selama ini hanya melihat dan menangani persoalan ini sebagai dua masalah yang terpisah, yaitu “kekerasan terhadap perempuan” dan “kekerasan terhadap anak”. Padahal, pengalaman di lapangan membuktikan keduanya merupakan sebuah masalah yang integrated dan saling mempengaruhi. 

Di mana ada masalah perempuan, di situ kemungkinan besar ada masalah anak-anak, demikian pula sebaliknya, karena masing-masingnya amat jarang berdiri sendiri. Akibat penanganan kedua masalah tersebut secara terpisah, bukannya diatasi, malah kerap menyebabkan masing-masing masalah itu semakin kompleks, bahkan bisa melahirkan masalah baru.

Penyebab ketiga, kerap terjadinya kekeliruan para pengelola program dalam melakukan “terapi”. Seperti diketahui, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat dominan terjadi di ranah domestik secara terselubung atau tersembunyi sehingga menyulitkan penegak hukum serta kaum aktivis untuk mendeteksinya, terlebih menanggulanginya. 

Namun faktanya selama ini para pengelola program tersebut lebih banyak berjungkir balik di arena publik. Ibarat pasien sakit kepala, dokter memberinya obat sakit pinggang.

Penyebab keempat, kurang optimalnya –atau bahkan absennya– upaya para pengelola program dalam melibatkan keluarga dalam manajemen penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Padahal, dalam realitanya, keluarga merupakan kunci penentu yang paling efektif dalam menuntaskan masalah tersebut.

Penyebab kelima, para pengelola program selama ini terkesan hanya berusaha mengantisipasi berbagai akibat atau gejala, bukan akar penyebab, masalah-masalah kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. 

Semua pihak cenderung berfungsi sebagai “centeng” (watchdogs), padahal eskalasi masalah ini sedemikian gawatnya sehingga kita semua perlu lebih proaktif menanganinya.

Penyebab keenam, masih sentralistisnya penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hampir semua masalah kekerasan tersebut terjadi di daerah-daerah, namun faktanya, instansi yang ditugasi menanganinya tidak punya perwakilan di berbagai daerah. Instansi tersebut pun hanyalah sebuah kementerian yang tergolong “gurem” dari segi penganggaran serta berbagai sumber daya strategis lainnya. 

Ini tidak sedikit pun mencerminkan kecemasan bangsa ini terhadap kian merebaknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan berbagai efek dominonya. Jika masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak itu diibaratkan sebuah jet tempur musuh, kita selama ini berusaha melumpuhkannya dari jarak yang sangat jauh dengan hanya sebuah katapel.

SOLUSI “THREE IN ONE

Untuk mengatasi keenam masalah sentral tersebut, diperlukan setidaknya tiga langkah strategis dan terpadu; saya menyebutnya “Three in One” agar mudah diingat. 

Yang pertama, perlu ada perubahan paradigma yang melihat dan memperlakukan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai extraordinary crime yang sejajar dengan masalah terorisme dan narkoba, sehingga penanganannya lebih intensif, ekstensif, dan terintegrasi dengan melibatkan semua aktor baik state actors maupun non-state actors

Dan memang, pada hakekatnya segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan – menurut kalangan aktivis – identik dengan terorisme jender, dan kekerasan terhadap anak-anak pun merupakan salah satu wujud nyata dari terorisme. 

Menurut Merriam-Webster, terorisme adalah “the systematic use of terror especially as a means of coercion” (penggunaan teror secara sistematis sebagai suatu upaya koersi). Sebagai konsekuensinya, semua instrumen perundang-undangan yang ada, mulai dari tingkat hulu hingga hilir, perlu direvisi secara substansial.

Kedua, semua pemangku kepentingan (stakeholders) harus melihat kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sebuah isyu dwitunggal (two in one) yang integral dan kompleks ketimbang dua isyu yang berdiri terpisah. 

Dan sesuai hakekatnya, penanganannya perlu lebih difokuskan di ranah domestik. Pihak keluarga pun mesti semakin dilibatkan sepenuhnya dalam seluruh proses, yakni mulai dari tahap deteksi dini atau identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, monitoring, hingga evaluasi. Dalam pengelolaannya, perlu lebih digenjot upaya mengatasi akar penyebab, bukan hanya akibat atau gejala dari permasalahan tersebut.

Ketiga, perlu ada sistem institusi pelaksana yang desentralistis serta lebih kuat secara politis, penganggaran, dan memiliki daya jangkau serta efektivitas yang lebih jauh hingga ke episentrum permasalahan di daerah-daerah. 

Dalam konteks ini, nampak jelas bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak mustahil bisa ditanggulangi dengan baik jika Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dibiarkan menanganinya sendirian tanpa partisipasi aktif dari seluruh komponen demokrasi, yakni masyarakat sipil, dunia usaha, dan pihak-pihak pemerintah sendiri, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Bahkan, perlu dipikirkan untuk meningkatkan status KPPPA menjadi kementerian koordinator. Mengapa tidak? Dan Wakil Presiden pun ditugasi untuk mengomandani “perang” terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Referensi tulisan dan gambar:

  1. Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations)
  2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia
  3. Komnas Perempuan
  4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
  5. United Nations Children’s Funds (UNICEF)
  6. Badan Pusat Statistik
  7. Kompasiana
  8. Majalah Kartini
  9. Wikipedia
  10. Dokumen LSM “Bangun Rakyat Sejahtera”
  11. Dokumen pribadi

URL share artikel di twitter
URL share artikel di facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun