Sang peneliti mengilustrasikan salah satu contoh feminisasi kemiskinan itu melalui kisah seorang janda dan seorang duda yang bertetangga di lokasi penelitian, berikut ini:
Duda dan janda itu bercerai dengan pasangannya masing-masing pada tahun yang sama, dan tingkat ekonomi serta pendidikan keduanya juga relatif setara. Dua tahun kemudian, ekonomi si duda meningkat hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya.
Sedangkan kesejahteraan hidup si janda dalam periode tersebut merosot tajam. Pasalnya, aktivitas ekonomi si janda sangat dibatasi oleh berbagai diskriminasi dan stigma gender yang terkonstruksi secara default dalam lingkungan sosio-kulturalnya – misalnya ia mustahil bisa mencari nafkah sampai malam hari karena ini bisa membuat para tetangga mencapnya sebagai perempuan “begituan”. Pada saat yang sama, si duda bebas mencari nafkah sampai larut malam, bahkan hingga esok paginya sekalipun.
ENAM PENYEBAB UTAMA
Jika ditelaah secara saksama, terdapat enam faktor penyebab utama merebaknya serta tak terkendalinya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Faktor penyebab pertama, terlepas dari fakta tentang cukup kerasnya ancaman hukuman terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan manusia, namun semua itu masih belum cukup keras untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku itu.
Buktinya, seperti diuraikan di atas, statistik tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meroket. Bahkan khusus untuk kasus perdagangan manusia, Indonesia menjadi “juara ketiga” di dunia.
Semua ini terjadi karena selama ini kita hanya melihat dan memperlakukan momok kekerasan terhadap perempuan dan anak yang amat mengerikan itu sebagai suatu masalah yang biasa-biasa saja (business as usual).
Penyebab kedua, para pengelola program – baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil – selama ini hanya melihat dan menangani persoalan ini sebagai dua masalah yang terpisah, yaitu “kekerasan terhadap perempuan” dan “kekerasan terhadap anak”. Padahal, pengalaman di lapangan membuktikan keduanya merupakan sebuah masalah yang integrated dan saling mempengaruhi.
Di mana ada masalah perempuan, di situ kemungkinan besar ada masalah anak-anak, demikian pula sebaliknya, karena masing-masingnya amat jarang berdiri sendiri. Akibat penanganan kedua masalah tersebut secara terpisah, bukannya diatasi, malah kerap menyebabkan masing-masing masalah itu semakin kompleks, bahkan bisa melahirkan masalah baru.
Penyebab ketiga, kerap terjadinya kekeliruan para pengelola program dalam melakukan “terapi”. Seperti diketahui, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat dominan terjadi di ranah domestik secara terselubung atau tersembunyi sehingga menyulitkan penegak hukum serta kaum aktivis untuk mendeteksinya, terlebih menanggulanginya.