Namun faktanya selama ini para pengelola program tersebut lebih banyak berjungkir balik di arena publik. Ibarat pasien sakit kepala, dokter memberinya obat sakit pinggang.
Penyebab keempat, kurang optimalnya –atau bahkan absennya– upaya para pengelola program dalam melibatkan keluarga dalam manajemen penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Padahal, dalam realitanya, keluarga merupakan kunci penentu yang paling efektif dalam menuntaskan masalah tersebut.
Penyebab kelima, para pengelola program selama ini terkesan hanya berusaha mengantisipasi berbagai akibat atau gejala, bukan akar penyebab, masalah-masalah kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak.
Semua pihak cenderung berfungsi sebagai “centeng” (watchdogs), padahal eskalasi masalah ini sedemikian gawatnya sehingga kita semua perlu lebih proaktif menanganinya.
Penyebab keenam, masih sentralistisnya penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hampir semua masalah kekerasan tersebut terjadi di daerah-daerah, namun faktanya, instansi yang ditugasi menanganinya tidak punya perwakilan di berbagai daerah. Instansi tersebut pun hanyalah sebuah kementerian yang tergolong “gurem” dari segi penganggaran serta berbagai sumber daya strategis lainnya.
Ini tidak sedikit pun mencerminkan kecemasan bangsa ini terhadap kian merebaknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan berbagai efek dominonya. Jika masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak itu diibaratkan sebuah jet tempur musuh, kita selama ini berusaha melumpuhkannya dari jarak yang sangat jauh dengan hanya sebuah katapel.
SOLUSI “THREE IN ONE”
Untuk mengatasi keenam masalah sentral tersebut, diperlukan setidaknya tiga langkah strategis dan terpadu; saya menyebutnya “Three in One” agar mudah diingat.
Yang pertama, perlu ada perubahan paradigma yang melihat dan memperlakukan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai extraordinary crime yang sejajar dengan masalah terorisme dan narkoba, sehingga penanganannya lebih intensif, ekstensif, dan terintegrasi dengan melibatkan semua aktor baik state actors maupun non-state actors.
Dan memang, pada hakekatnya segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan – menurut kalangan aktivis – identik dengan terorisme jender, dan kekerasan terhadap anak-anak pun merupakan salah satu wujud nyata dari terorisme.
Menurut Merriam-Webster, terorisme adalah “the systematic use of terror especially as a means of coercion” (penggunaan teror secara sistematis sebagai suatu upaya koersi). Sebagai konsekuensinya, semua instrumen perundang-undangan yang ada, mulai dari tingkat hulu hingga hilir, perlu direvisi secara substansial.