Mohon tunggu...
Umar
Umar Mohon Tunggu... -

sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hari Konstitusi, Pahitnya Kala Penghujung 18 Agustus 1945

18 Agustus 2012   13:55 Diperbarui: 18 Agustus 2018   13:12 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

”Pada sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. 

Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika ”diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia...

Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr AA Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi...

Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semoboyan yang selama ini didengung-dengungkan ”Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. 

Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasa. 

Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras kepala itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda..."

Di antara tokoh Islam yang bersikeras untuk tetap mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu adalah Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah). Tetapi akhirnya Ki Bagus Hadikusumo bisa menahan diri melalui lobi Kasman Singodimejo setelah mendengarkan janji Ir. Soekarno bahwa enam bulan kemudian akan diadakan sidang MPR untuk membahas UUD yang sempurna. Akhirnya lobi pun dimenangkan kaum Sekuler-Kristen. Disinilah letak pahitnya hasil perjuangan ummat Islam Indonesia pada saat itu. 

Tokoh-tokoh Islam pada waktu itu terjepit dan dalam kondisi yang serba sulit. Kaum Sekuler-Kristen mendengungkan bahwa kemerdekaan yang diproklamiskan kemarin membutuhkan persatuan yang kuat. Ini yang disebut Kasma Singodimejo dalam memoirnya bahwa kaum Sekuler-Kristen bisa memanfaatkan momen psikologis. Tokoh-tokoh islma pada saat itu tertekan secara politik dan psikologis. 

Dan perlu dicatat, bahwa tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata di Piagam Jakarta. Meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kaum Sekuler-Kristen yang minoritas selalu membuat pergerakan politik yang memaksakan kehendak mereka.

Sikap Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri juga dipertanyakan dengan keras oleh salah satu tokoh Masyumi, KH Isa Anshari :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun