Fiqih terus mengalami perkembangan dan penyesuaian dengan dinamika zaman, sehingga muncul istilah fiqih kontemporer. Riba adalah salah satu konsep ekonomi yang sering menjadi perdebatan dalam diskursus keislaman. Dalam Al-Qur'an, riba disebutkan secara eksplisit di beberapa ayat, dengan larangan yang jelas dan penekanan pada dampak buruknya terhadap keadilan sosial. Namun, definisi dan aplikasi riba kerap menjadi persoalan dalam memahami konteks ayat-ayat tersebut, terutama ketika diterapkan dalam kehidupan modern yang melibatkan sistem ekonomi yang kompleks, seperti perbankan.
Â
Seiring berkembangnya sistem keuangan global, konsep bunga bank menjadi salah satu topik kontroversial dalam fiqih kontemporer. Sebagian ulama memandang bunga bank sebagai bentuk riba yang dilarang, sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa bunga bank memiliki justifikasi tertentu yang membedakannya dari riba dalam pengertian klasik. Perbedaan ini memunculkan berbagai pandangan yang sering kali didasarkan pada metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an serta pertimbangan maslahat dan perubahan zaman.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas makna semantik kata "riba" sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, dengan menyoroti nuansa bahasa dan konteks historisnya. Selain itu, artikel ini juga akan mengkaji pandangan bunga bank dalam perspektif fiqih kontemporer, dengan menelusuri argumen-argumen yang muncul dari para ulama dan cendekiawan Muslim. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana hukum Islam beradaptasi dalam menghadapi tantangan ekonomi modern tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasarnya.
Semantik Kata Riba
Kata Riba dalam Al-Quran disebutkan setidaknya sebanyak 8 kali dalam 4 surah, dalam surah Al-Baqarah sebanyak 5 kali, selain itu hanya disebutkan sekali saja, yaitu di surah Ali Imran, An-Nisa', dan Ar-Rum.[1] Berikut adalah tabel yang berisi nama surah, nomor ayat, dan teks ayat dalam bahasa Arab terkait penyebutan kata riba dalam Al-Qur'an:
Â
No
Nama Surah
Ayat
Teks Ayat