Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Itu Adalah Segelas Kopi

22 Mei 2018   09:26 Diperbarui: 28 Oktober 2018   14:12 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami kembali terdiam. Setelah beberapa waktu, barulah lelaki muda itu melanjukan, "Orang yang paling bahagia hidupnya, adalah mereka yang tidak memiliki yang terbaik, tetapi berbuat yang terbaik. Mereka menghambakan diri hanya kepada Tuhan, pencipta dan pemilik alam semesta beserta segala isinya. Mereka mencintai sesamanya manusia dengan ketulusan hati, bekerja keras, tapi lebih memilih kesederhanaan hidup. 

Mereka berempati penuh pada orang- orang yang sedang mengalami kesulitan, memelihara kejujuran diri, dan bertutur dengan santun. Mereka berpesan dan saling mengingatkan  di dalam kebenaran dan kesabaran. Inilah sebenarnya esensi hidup itu. Inilah kopinya, yang  seharusnya  kita nikmati !"

Kembali kami terdiam lagi. Tapi kali ini lebih lama, membisu. Mungkin kami berempat sama, sedang mencoba merenungkan kembali apa yang sudah kami obrolkan malam ini.  

Diluar, gerimis sudah mulai berhenti. Lelaki anak muda itu meneguk sisa terakhir kopinya.

"Nampaknya sudah larut malam, pak. Saya mohon pamit", kata lelaki anak muda itu sambil mengambil dan memasang kembali tas punggungnya. Ia lalu membungkuk kan badannya penuh hormat, sebelum mengucapkan assalamu 'alaykum.

"Wa 'alaykum salam", kata kami bertiga.

Malam semakin beringsut larut, sudah lewat pukul 22.00. Pengunjung kedai kopi itu sisa dua orang dengan saya. Kedua bapak yang duduk satu meja dengan saya, juga sudah pulang. Sebentar lagi kedai kopi ini akan tutup.

Saya meneguk sisa terakhir kopi saya -- masih terasa nikmat --- sebelum beranjak menghampiri pemilik kedai untuk membayar harga kopi dan pisang goreng saya. Ketika saya menyodorkan uang pembayaran nya, pemilik kedai berkata kalau lelaki anak muda, yang saya tadi ngobrol dengannya, yang memakai tas punggung, sudah membayarnya.

Ah, anak muda yang baik, saya merepotkanmu, bung ! Sayalah yang seharusnya mentraktir Anda. Anda masih harus membayar uang kuliah dan kos. Saya sesungguh nya masih ingin ngobrol lebih banyak lagi. Bahkan berharap berbagi lebih banyak lagi, apa yang kami ketahui tentang hidup ini. Bahkan belajar dari nya. Sayang sekali, saya tadi lupa menanyakan alamatnya. Bahkan namanya pun, saya lupa menanyakannya.

Saya kemudian melangkahkan kaki meninggalkan kedai kopi itu. "Yang seharusnya kita nikmati adalah kopinya, bukan gelasnya !".

Bukit Baruga- Makassar, 07 Maret 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun