Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Itu Adalah Segelas Kopi

22 Mei 2018   09:26 Diperbarui: 28 Oktober 2018   14:12 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin takut seakan menggurui, lelaki muda itu cepat- cepat menambahkan, "Oh ..., maafkan pak. Saya ini sebenarnya tahunya cuma meng-copy paste. Tahunya dari buku juga. Bapak pastilah lebih tahu dari saya".

"Oh.., tidak dek. Kita sama- sama sedang belajar !", tiba- tiba saja bapak yang duduk di sebelah lelaki muda itu, ikut nimbrung. Rupanya bapak ini dan bapak yang duduk  disebelah saya, sedari tadi ikut menyimak obrolan kami berdua.

Sejenak, kami terdiam kembali. Diluar sana gerimis masih turun. Sesekali kami meneguk kopi di hadapan kami untuk menghangatkan tubuh.

"Silakan lanjutannya, dek", kata bapak itu lagi.

Sambil memperbaiki posisi duduknya, lelaki muda itu berkata:  "Hidup adalah kopi itu. Sedangkan uang, kekayaan, jabatan, dan posisi adalah gelasnya. Gelasnya hanyalah sarana untuk "menampung" hidup ini. Apapun jenis gelas nya, pada dasarnya, tidak lah menentukan ataupun mengubah kualitas hidup yang kita jalani. Sekalipun gelasnya mahal atau murah, cantik atau buram nampaknya".

"Tapi, bung ! Bukankah gelasnya tetap perlu diperhatikan ?", kata saya.

"Tidak salah, pak ! Tapi ketika kita hanya menyibukkan diri pada gelasnya, pada mahal dan cantik penampilan nya, kita akan gagal menikmati kopinya ! Inilah yang bisa membuat kita merasa tertekan dan stress. Karena kita tak akan pernah merasa cukup, dan bersyukur dengan apa yang kita miliki. Demikian yang saya kutip dari buku itu, pak".

"Jadi maksud bung, yang seharusnya kita nikmati adalah kopi yang ada di dalam gelasnya. Jangan gelasnya !", kata saya lagi.

"Benar, pak !"

"Bukankah Allah sendiri hanya melihat kalbu hamba- hamba- Nya ?. Bukan raga, bukan rupa luar hamba- hamba-Nya". Bapak itu kembali ikut menambahkan. Menghangatkan obrolan kami.

"Iya, pak".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun