"Haha.., itu hanya sesekali saja, bung. Di Kompasiana dan di koran yang terbit di kota ini", kata saya.
Kami lalu terdiam, menikmati pisang goreng di hadapan kami yang masih panas- panas. Ditambah lagi pisang kepoknya ini, tua di pohon dan mengkal, sehingga terasa renyahnya di lidah. Sesekali, kami menghirup kopi kami masing- masing.
"Maaf, bung", saya mencoba menyambung obrolan yang terputus. "Menurut bung, kalau gelas kopinya sudah agak tua dan warnanya mulai buram, apa kopinya tidak akan berkurang rasa nikmatnya ?". Saya mencoba mengaitkan obrolan dengan percakapannya tadi dengan pemilik kedai kopi.
"Oh..., sama sekali tidak, pak ! Apalah artinya sebuah gelas dibandingkan dengan isi kopinya", imbuhnya.
"Maksud, bung ?", saya balik bertanya kepadanya.
Ia menghirup lagi kopinya seteguk.
"Misalkanlah", kata lelaki muda itu. "Pada suatu hari bersama beberapa kawan, kita bertandang ke rumah seorang sahabat lama. Sambil ngobrol, sahabat lama ini menjamu kita dengan kopi. Ia atau isterinya mengantarkan sebuah teko berisi kopi panas dan sebuah nampan dengan beberapa gelas diatas nampan. Gelas itu ada yang terbuat dari kristal, keramik, dan kaca. Ada juga yang dari plastik".
"Lalu, apa hubungannya, Â bung ?", tanya saya penasaran.
Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, "Tuan rumah lalu mempersilah kan kita menikmati kopi itu. Adalah normal bila kita memilih gelas kristal atau gelas keramik untuk dituangi kopi. Kopi yang akan kita minum. Kita mengabaikan gelas- gelas selainnya. Tapi, saya membaca dari sebuah buku, kalau inilah sebenarnya awal kekeliruan- nya !".
"Kok bisa begitu, bung ?", saya kembali  jadi penasaran dengan kalimat terakhirnya.
"Meski tetap penting, tapi keberadaan gelas itu sendiri tidaklah menambah kualitas kopi yang ada di dibaliknya. Bahkan dalam banyak hal, gelas yang sudah begitu cantik dan mahal harganya, malah menyembunyikan isi kopi dibaliknya. Apa yang  kita butuhkan sesungguhnya adalah kopinya.  Bukan gelasnya", kata lelaki anak muda itu.