Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Itu Adalah Segelas Kopi

22 Mei 2018   09:26 Diperbarui: 28 Oktober 2018   14:12 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam mulai beringsut larut. Namun masih ada satu dua pengunjung yang singgah di kedai kopi ini. Mungkin karena gerimis, mereka singgah di kedai kopi ini, sekedar untuk menghangatkan tubuh dengan segelas kopi panas. Ditambah dengan beberapa potong pisang goreng yang juga panas- panas. 

Kedai kopi ini sendiri tidak terlalu besar. Hanya ada empat buah meja panjang masing- masing dengan empat buah kursi. Jadi hanya muat untuk 16 orang pengunjung. Dapur kopi dan tempat menggoreng pisang terletak di bagian depan menghadap ke arah jalan. Pemilik kedai kopi dibantu oleh seseorang yang bertugas di dapur penggorengan.

Seorang pengunjung kedai masuk lagi. Seorang lelaki muda, berperawakan sedikit kurus dengan tas di punggungnya. Matanya mencari tempat duduk yang masih kosong. Kursi di depan saya kebetulan masih kosong. Ia lalu melangkah ke sana. Setelah mengucap kan assalamu 'alaykum, ia melepaskan tas punggung nya dan meletakkan nya di samping kursi tempat duduknya. Saya dan pengunjung satu meja membalas salam itu.

Pemilik kedai menghampiri lelaki yang baru datang itu. Pemilik kedai menanyakan, apa ia mau minum kopi hitam atau kopi susu. Ia menjawab kopi hitam yang dikurangi sedikit gulanya. Hanya sekitar lima menit, pemilik kedai sudah membawakan nya segelas kopi panas dan beberapa potong pisang goreng yang baru diangkat dari wajan.

"Maaf pak, gelasnya ini agak beda. Kelihatannya sudah buram, tapi dijamin bersih pak. Gelas yang baru, kebetulan lagi terpakai semua". Begitu kata pemilik kedai saat meletakkan gelas itu di depan lelaki muda itu. Pemilik kedai juga menuangkan dengan sopannya tambahan pisang goreng ke dalam piring di hadapan kami duduk.

"Oh..., tidak masalah, pak", kata lelaki anak muda itu agak tergesa- gesa. "Isinya kan tetap kopi panas, pak".

Setelah beberapa saat, ia meminta izin untuk mulai menghirup kopinya.

"Kalau boleh tahu, nampaknya baru pulang dari kerja, bung ?", saya mencoba membuka obrolan dengan lelaki anak  muda itu.

"Benar pak", jawabnya dengan sopan. "Di sebuah pabrik kerupuk. Pagi kuliah, siang bekerja sampai malam.  Alhamdulillah, bisa untuk biaya makan, kos dan tambahan uang kuliah. Kalau bapak sendiri tugasnya dimana ?",  ia balik bertanya pada saya.

"Jadi tidak salah, ya..., saya memanggil Anda dengan Bung !.  Disamping masih muda, Anda juga seorang pekerja keras rupanya.  Oh, ya ..., saya bekerja sebagai peneliti di sebuah institusi penelitian. Sesekali kalau ada waktu luang, saya menulis artikel. Sebagai penulis lepas", kata saya.

"Ayo pak, mumpung pisang gorengnya masih panas- panas", sambungnya, menawari saya pisang goreng. "Menulisnya dimana biasanya, pak ?", tanyanya menyambung.

"Haha.., itu hanya sesekali saja, bung. Di Kompasiana dan di koran yang terbit di kota ini", kata saya.

Kami lalu terdiam, menikmati pisang goreng di hadapan kami yang masih panas- panas. Ditambah lagi pisang kepoknya ini, tua di pohon dan mengkal, sehingga terasa renyahnya di lidah. Sesekali, kami menghirup kopi kami masing- masing.

"Maaf, bung", saya mencoba menyambung obrolan yang terputus. "Menurut bung, kalau gelas kopinya sudah agak tua dan warnanya mulai buram, apa kopinya tidak akan berkurang rasa nikmatnya ?". Saya mencoba mengaitkan obrolan dengan percakapannya tadi dengan pemilik kedai kopi.

"Oh..., sama sekali tidak, pak ! Apalah artinya sebuah gelas dibandingkan dengan isi kopinya", imbuhnya.

"Maksud, bung ?", saya balik bertanya kepadanya.

Ia menghirup lagi kopinya seteguk.

"Misalkanlah", kata lelaki muda itu. "Pada suatu hari bersama beberapa kawan, kita bertandang ke rumah seorang sahabat lama. Sambil ngobrol, sahabat lama ini menjamu kita dengan kopi. Ia atau isterinya mengantarkan sebuah teko berisi kopi panas dan sebuah nampan dengan beberapa gelas diatas nampan. Gelas itu ada yang terbuat dari kristal, keramik, dan kaca. Ada juga yang dari plastik".

"Lalu, apa hubungannya,  bung ?", tanya saya penasaran.

Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, "Tuan rumah lalu mempersilah kan kita menikmati kopi itu. Adalah normal bila kita memilih gelas kristal atau gelas keramik untuk dituangi kopi. Kopi yang akan kita minum. Kita mengabaikan gelas- gelas selainnya. Tapi, saya membaca dari sebuah buku, kalau inilah sebenarnya awal kekeliruan- nya !".

"Kok bisa begitu, bung ?", saya kembali  jadi penasaran dengan kalimat terakhirnya.

"Meski tetap penting, tapi keberadaan gelas itu sendiri tidaklah menambah kualitas kopi yang ada di dibaliknya. Bahkan dalam banyak hal, gelas yang sudah begitu cantik dan mahal harganya, malah menyembunyikan isi kopi dibaliknya. Apa yang  kita butuhkan sesungguhnya adalah kopinya.  Bukan gelasnya", kata lelaki anak muda itu.

Mungkin takut seakan menggurui, lelaki muda itu cepat- cepat menambahkan, "Oh ..., maafkan pak. Saya ini sebenarnya tahunya cuma meng-copy paste. Tahunya dari buku juga. Bapak pastilah lebih tahu dari saya".

"Oh.., tidak dek. Kita sama- sama sedang belajar !", tiba- tiba saja bapak yang duduk di sebelah lelaki muda itu, ikut nimbrung. Rupanya bapak ini dan bapak yang duduk  disebelah saya, sedari tadi ikut menyimak obrolan kami berdua.

Sejenak, kami terdiam kembali. Diluar sana gerimis masih turun. Sesekali kami meneguk kopi di hadapan kami untuk menghangatkan tubuh.

"Silakan lanjutannya, dek", kata bapak itu lagi.

Sambil memperbaiki posisi duduknya, lelaki muda itu berkata:  "Hidup adalah kopi itu. Sedangkan uang, kekayaan, jabatan, dan posisi adalah gelasnya. Gelasnya hanyalah sarana untuk "menampung" hidup ini. Apapun jenis gelas nya, pada dasarnya, tidak lah menentukan ataupun mengubah kualitas hidup yang kita jalani. Sekalipun gelasnya mahal atau murah, cantik atau buram nampaknya".

"Tapi, bung ! Bukankah gelasnya tetap perlu diperhatikan ?", kata saya.

"Tidak salah, pak ! Tapi ketika kita hanya menyibukkan diri pada gelasnya, pada mahal dan cantik penampilan nya, kita akan gagal menikmati kopinya ! Inilah yang bisa membuat kita merasa tertekan dan stress. Karena kita tak akan pernah merasa cukup, dan bersyukur dengan apa yang kita miliki. Demikian yang saya kutip dari buku itu, pak".

"Jadi maksud bung, yang seharusnya kita nikmati adalah kopi yang ada di dalam gelasnya. Jangan gelasnya !", kata saya lagi.

"Benar, pak !"

"Bukankah Allah sendiri hanya melihat kalbu hamba- hamba- Nya ?. Bukan raga, bukan rupa luar hamba- hamba-Nya". Bapak itu kembali ikut menambahkan. Menghangatkan obrolan kami.

"Iya, pak".

Kami kembali terdiam. Setelah beberapa waktu, barulah lelaki muda itu melanjukan, "Orang yang paling bahagia hidupnya, adalah mereka yang tidak memiliki yang terbaik, tetapi berbuat yang terbaik. Mereka menghambakan diri hanya kepada Tuhan, pencipta dan pemilik alam semesta beserta segala isinya. Mereka mencintai sesamanya manusia dengan ketulusan hati, bekerja keras, tapi lebih memilih kesederhanaan hidup. 

Mereka berempati penuh pada orang- orang yang sedang mengalami kesulitan, memelihara kejujuran diri, dan bertutur dengan santun. Mereka berpesan dan saling mengingatkan  di dalam kebenaran dan kesabaran. Inilah sebenarnya esensi hidup itu. Inilah kopinya, yang  seharusnya  kita nikmati !"

Kembali kami terdiam lagi. Tapi kali ini lebih lama, membisu. Mungkin kami berempat sama, sedang mencoba merenungkan kembali apa yang sudah kami obrolkan malam ini.  

Diluar, gerimis sudah mulai berhenti. Lelaki anak muda itu meneguk sisa terakhir kopinya.

"Nampaknya sudah larut malam, pak. Saya mohon pamit", kata lelaki anak muda itu sambil mengambil dan memasang kembali tas punggungnya. Ia lalu membungkuk kan badannya penuh hormat, sebelum mengucapkan assalamu 'alaykum.

"Wa 'alaykum salam", kata kami bertiga.

Malam semakin beringsut larut, sudah lewat pukul 22.00. Pengunjung kedai kopi itu sisa dua orang dengan saya. Kedua bapak yang duduk satu meja dengan saya, juga sudah pulang. Sebentar lagi kedai kopi ini akan tutup.

Saya meneguk sisa terakhir kopi saya -- masih terasa nikmat --- sebelum beranjak menghampiri pemilik kedai untuk membayar harga kopi dan pisang goreng saya. Ketika saya menyodorkan uang pembayaran nya, pemilik kedai berkata kalau lelaki anak muda, yang saya tadi ngobrol dengannya, yang memakai tas punggung, sudah membayarnya.

Ah, anak muda yang baik, saya merepotkanmu, bung ! Sayalah yang seharusnya mentraktir Anda. Anda masih harus membayar uang kuliah dan kos. Saya sesungguh nya masih ingin ngobrol lebih banyak lagi. Bahkan berharap berbagi lebih banyak lagi, apa yang kami ketahui tentang hidup ini. Bahkan belajar dari nya. Sayang sekali, saya tadi lupa menanyakan alamatnya. Bahkan namanya pun, saya lupa menanyakannya.

Saya kemudian melangkahkan kaki meninggalkan kedai kopi itu. "Yang seharusnya kita nikmati adalah kopinya, bukan gelasnya !".

Bukit Baruga- Makassar, 07 Maret 2018.

Catatan. Esai ini diinspirasi dari sebuah parabel klasik "Life Is Like A Cup of Coffee". Situs Lessons Learned In Life menyebut parabel ini, tidak diketahui siapa yang menuturkan nya pertama kali.

kompasiana@ruslan yunus. Text: all rights reserved.

,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun