Beberapa bulan setelah pertemuan Watang Soppeng, diadakan konferensi guru-guru MAI pada bulan Sya'ban 1366 H (Juli 1947) bertempat di Saoraja Mangkoso. Pertemuan itu membicarakan pengintegrasian MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya ke dalam organisasi DDI. Mangkoso ditetapkan sebagai pusat organisasi dengan pertimbangan bahwa Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle selaku Ketua DDI berkedudukan di Mangkoso. Selain itu, MAI Mangkoso sudah memiliki hubungan komunikasi dengan cabang-cabang di daerah sehingga memudahkan sosialisasi penggunaan DDI sebagai pengganti MAI.
Untuk mengesahkan susunan pengurus DDI hasil pertemuan Watang Soppeng, diadakan Muktamar pertama di Mangkoso pada tahun 1948. Muktamar ini sekaligus menggantikan tradisi pertemuan rutin tahunan guru-guru MAI sebelumnya. Muktamar kedua dilaksanakan tahun 1949, dibuka di Mangkoso dan dilanjutkan di Pare-Pare yang dirangkaikan dengan pembukaan/peresmian penggunaan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI di sebelah selatan Masjid Raya Pare-Pare.
Sejak itu mulai ditata administrasi organisasi. Sebelumnya, pada periode MAI hubungan antara pusat dan cabang lebih bersifat personal daripada bersifat administrasi organisasi. Semua guru yang ditugaskan mengajar pada cabangcabang MAI di daerah adalah santri-santri MAI Mangkoso yang bertugas secara periodik. Karena itu, jalinan komunikasi yangmenonjol adalah komunikasi antara murid dan guru.
Penataan itu, misalnya, dengan membuat mekanisme dan persyaratan untuk membuka cabang MAI/DDI di suatu daerah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
- Atas permufakatan sekalian rakyat dalam negeri
- Disetujui oleh pegawai syara' dalam negeri
- Disetujui dan dikuatkan serta ditunjang oleh pemerintah dalam negeri
Setelah setuju ketiga pihak diatas, wajib pula menyiapkan:
- Murid yang hendak diberi pengajaran
- Rumah sekolah tempat mengajar dengan segala alatalat keperluannya, seperti bangku-bangku (tempat duduk), meja tulis dan lain-lain kepeluan-keperluannya.
- Nafkah (ongkos) guru yang mengajar serta ongkosongkos pergi pulangnya dari kantor pusat.
Sesudah syarat-syarat di atas disiapkan, pengurus pembentukan MAI/DDI harus memasukkan surat permohonan (atas nama dari ketiga pihak tersebut di atas) kepada ketua darud da'wah wal irsyad/mai mangkoso.
Â
Pola Penyebaran DDI
Apabila kita mencermati pola penyebaran DDI ke berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia, ternyata sangat terkait dengan migrasi (diaspora) orang-orang Bugis ke daerah-daerah tersebut.
Menurut Prof. Dr.Abu Hamid,Guru Besar Antropologiadaya Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin Makassar, migrasi atau perantauan besar-besaran orang Bugis terjadi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama pada abad ke 17 ketika terjadi peperangan antara kerajaan Gowa dan Bone yang berujung pada lahirnya perjanjian Bungaya. Gelombang kedua pada abad ke-19 ketika Belanda memaksakan untuk memperbarui perjanjian Bungaya yang ternyata ditolak oleh Raja Bone. Sedangkan gelombang ketiga terjadi antara tahun 1950 dan 1965 akibat pemberontakan DI/TII.
Secara kultural, orang Bugis memang memiliki jiwa perantau (passompe), ditambah kekacauan yang terjadi di kampung halamannya, mendorong mereka untuk meninggalkan negerinya guna mencari kehidupan yang lebih baik. Meskipun migrasi orang-orang Bugis umumnya karena motif ekonomi, namun mereka membawa serta tradisi dan kehidupan beragama mereka. Itulah sebabnya ketika mereka sampai di tempat tujuan, sambil membuka tanah untuk pertanian atau berdagang di pasar, tidak lupa mereka mendirikan mesjid secara bergotong royong. Setelah mesjid berdiri, mereka mengadakan pengajian dan mendirikan madrasah buat anak-anak mereka. Imam dan ustaznya diambil dari anggota rombongan perantau-perantau tersebut, atau sengaja didatangkan dari kampung halamannya bila kehidupan di rantau sudah dianggap cukup mapan Apabila menghendaki lembaga pendidikan yang lebih bail, biasanya mereka mengirimkan anaknya ke Sulawesi Selatan untuk belajar agama pada pesantren (angngajiang) yang dianggapnya cukup baik.