“Maksud lo?” Irma mendekatkan kupingnya ke wajah Ais.
“Aku nggak sedang bercanda, Ir. Memang benar apa yang aku katakan ini, kok”
“Kamu kok jadi...”
“Ini buktinya” Ais menyerahkan printout copy chatting kepada Irma dan Marisa. Kemudian menangis lagi.
“Ini... Beneran Filly kita? Filly Lovely Tan?” Tanya Marisa bego.
“Iya.... Iyaaa.... Kalian lihat, dong yang jelas gitu.” Amuk Ais.
Ais ngamuk-ngamuk lagi. Ia mengambil pigura fotonya berdua dengan Aksel. Melemarnya ke dinding sampai pecah. Marisa terkejut dan berlari menghampiri kepingan pigura itu. Membersihkan kepingan-kepingan kaca itu sampai bersih. “Kamu jangan main lempar saja, dong. Ntar dikarain sama Mak Minah kami lagi melakukan aksi bunuh diri”
“Iya. Udahan dong. Kita selesaikan dengan cara dingin. Jangan main emosi begitu ya?!” Irma tak tahan tidak bersuara.
“Aku nggak sanggup, Ir...” Ais menangis lagi sambil memeluk Irma.
Marisa mendekati mereka, “Ais, kalaupun kamu nggak sempat nggak ada yang bisa kamu lakukan kan?”
Ais menatap keduanya. Irma dan Marisa. Ia tak tahu mereka benar-benar tulus atau tidak. Tapi saat itu ia ingat surat cinta dari Rafian. Ia ingin sekali membaca lagi surat itu. Sepertinya dengan membaca surat cinta itu hatinya akan lebih tenang.