A. PENDAHULUAN
Di antara sahabat Rasulullah yang mendapat peringkat pertama berijtihad adalah Umar Bin Khattab. Keluasan ilmu yang dimiliki dalam berijtihad, mampu menggali segala bidang hukum. Kepintaran berijtihad dan berfatwa yang dikeluarkan Umar, sahabat lain setuju, terutama Nabi Muhammad SAW. Keluasan ilmunya tidak hanya diakui oleh nabi dan sahabat saja, melainkan kalangan bangsa Kafir pada saat itu. Rasulullah pernah menyebutkan Umar sebagai sosok yang memiliki kemampuan seperti nabi, sebagaimana dalam sabdanya: "Di antara umat yang hidup sebelum kalian, ada orang-orang yang diberi ilham (memiliki kemampuan seperti Nabi). Jika ada salah seorang di antara umatku, maka dia adalah Umar bin Khattab ra. (HR. Bukhari)Â
Nasab beliau adalah Umar bin al-Khattab bin Nufain Adi bin Abdul Uzza bin Riyyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Lu'ai, Abu Hafsh al Adawi. Adapun ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah, atau kakak Abu Jahal bin Hisyam.[1]Â
 Walaupun separuh hidupnya menghabiskan dalam jahiliyah, tetapi tidaklah sedikit ilmu yang diketahuinya tentang hukum Islam. Umar tidak hanya mementingkan jabatan dan memamerkan kekuatan yang ia punya, tetapi juga memikirkan umat Islam yang berada dinaungannya. Bahkan kafir zimmi pun sangat dihargainya.
 Keutamaan ilmu Umar ra tertuang dalam mimpi Rasulullah. Hadis yang diriwayatkan Az-Zuhri, beliau berkata: "Aku diberitahukan oleh Hamzah, dari bapaknya, bahwa Rasulullah bersabda:"
Â
- - : -- - .Â
Â
Artinya: "Ketika aku tidur, aku bermimpi meminum susu, sehingga aku melihat bekas-bekas susu itu melekat ke kuku-kukuku, kemudian aku berikan kepada Umar ra. Para sahabat bertanya: "Apa makna dari mimpi mu itu ya Rasulullah?" Beliau berkata: "Ilmu."[2]
Mimpi Rasulullah menunjukan kenyataan, bahwa Rasulullah meyakini dan mengagumi ilmu yang dimiliki oleh Umar ra. Ketepatan Umar ra dalam berbicara pasti tampak akan kebenaran, Nabi SAW juga pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah Umar dan hatinya".[3]
Abdullah bin Mas'ud mengakui ilmu Umar ra, seraya mengatakan: "Seandainya ilmu Umar diletakkan di timbangan yang satu, dan ilmu-ilmu orang yang hidup di bumi diletakkan di timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar mengungguli ilmu mereka. Sungguh para sahabat berpendapat bahwa dia pergi dengan 90% ilmu. Semenjak Umar  ra menjabat Khalifah sekitar 10 tahun 6 bulan, di situlah kehidupan Umar ra yang paling berpengaruh dengan ijtihad dan keluasan islamnya.[4]Â
Tulisan ini memaparkan beberapa contoh fatwa yang diijtihadkan Umar bin Khattab, baik ketika Nabi SAW masih hidup, maupun tiada. Di antara fatwa beliau terkait tentang ekonomi, ibadah, jinayah, mawaris, munakahat dan adab terhadap tetangga.
Â
B. METODE IJTIHAD UMAR BIN KHATTABÂ
Salah satu ilham yang dimiliki oleh Umar ra adalah ketika wahyu Al-Quran turun, disitulah Umar mengeluarkan pendapat, ijtihad dan fatwanya. Metode ijtihad Umar ra dalam berfatwa yang dilakukan untuk menggali suatu hukum, ialah empat metode. Adapun metode yang ia gunakan ialah:
- Al-Quran. Al-Qur'an sebagai rujukan utama para ulama dalam berfatwa, dan menjadi asas serta tiang agama.
- Hadis. Umar mengikuti dan percaya hadis, jika periwayatnya orang yang benar.
- Perkataan Abu Bakar as-Shiddiq. Jika ada suatu pertanyaan kepada Umar, dan tidak ada dijelaskan dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka beliau bertanya: "Apakah Abu Bakar memutuskan hal itu dengan suatu keputusan? Jika Abu Bakar mempunyai keputusan, maka ia memutuskan dengan putusan tersebut, jika tidak ada perbedaannya.Â
- Al-Qiyas, atau ra'yu (analogi) sebagai cabang Al-Qur'an dan as-Sunnah
- Ijma' yang bersandar kepada Al-Qur'an, hadis dan qiyas.[5]
C. CONTOH IJTIHAD DAN FATWA UMAR BIN KHATTAB
Contoh dalam fatwa beliau sangat merumpun pada masa hidupnya.
1. Bidang EkonomiÂ
- Utsman bin Abul Ash' berkata kepada Umar ra: "Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya di daerah kami terdapat lahan tanah yang kosong (yang tidak dimiliki orang lain), maka putuskanlah untuk aku kelola lahan itu, sehingga lahan itu mendatangkan manfaat bagi keluargaku dan bagi kaum muslimin. Maka Umar menetapkan lahan itu untuknya dan berkata : "Ambillah dan gunakanlah lahan itu untukmu."
- Semula Umar tidak mengizinkan tawanan yang dewasa untuk masuk ke Madinah. Akan tetapi, Mughirah bin Syu'bah yang berada di Kufah menyebutkan kepada anak muda yang memiliki banyak keterampilan, dan meminta izin untuk membawanya masuk ke Madinah, dan berkata: "Sesungguhnya anak muda ini banyak keterampilan yang berguna bagi manusia. Sebab dia tukang besi, ahli ukir dan tukang kayu." Maka Umar menulis surat kepada Mughirah dan mengizinkannya untuk mengirimkan anak muda itu ke Madinah.
- Umar ra sangat memperhatikan aktivis pengajaran dan menetapkan rejeki bagi para pengajar. Sehingga di masa Umar lah adanya gaji bagi para pengajar (guru).[6]
- Abdullah bin Abi Rabi'ah ingin berternak kuda di Madinah, maka Umar melarangnya. Lalu mereka menyampaikan pembicaraan kepada Umar agar mengizinkannya, maka Umar berkata: "Aku tidak mengizinkannya, kecuali bila dia mendatangkan makanan kudanya dari luar Madinah. Maka Abdullah mengikat kudanya dan memberi makanan kudanya dari luar (Yaman)." Dalam hal ini menunjukkan fatwa Umar tentang krisisnya tempat pengembala di Madinah dan sedikitnya makanan di sana. Itu terjadi saat jumlah penduduk Madinah bertambah akibatnya banyak orang Arab ke Madinah. Malahan banyak kaum muslimin mati kelaparan karena Unta Umar ra telah memakan Gandum milik penduduk Madinah saat musim kemarau dan krisis ekonomi. Sehingga Umar berkata: "Aku tidak menjadikan unta ini kenderaan hingga manusia hidup." Dari situlah Umar melarang penduduk Madinah berternak kuda karena krisinya ekonomi umat.
- Dalam fikih ekonomi, Umar Bin Khattab membicarakan tentang adanya jaminan sosial (Takaful Ijtima'i) bagi umat yang membutuhkan bantuan, terutama fakir miskin, anak yatim, janda, orang lemah (sakit), keturunan para mujahid, tawanan perang, hamba sahaya, tetangga, narapidana, gharib, anak temuan, ahli dzimmi dan ibnu sabil. Takaful merupakan bentuk tanggungjawab bagi individu, masyarakat dan pemerintahan. Karena jaminan sosial (takaful) itu ialah wasiat terakhir Umar bin Khattab.[7]
Umar juga mementingkan status kehidupan sosial umat. Oleh karenanya, kaum dhuafa sangat diprihatinkan dalam kehidupan ekonomi. Â Â Â Beberapa contoh yang terkait jaminan bagi kaum dhuafa ialah:
- Fakir miskin. Bahwa Umar memperhatikan kehidupan fakir miskin, terutama di bidang zakat, sehingga jika penduduknya tidak membayar zakat kepada fakir, beliau langsung memarahinya.
- Janda dan anak yatim. Di antara bukti perhatian Umar terhadap penjaminan para janda ialah, beliau berkata beberapa hari menjelang kematiannya: "Sungguh jika Allah menyelamatkan aku akan meninggalkan para janda penduduk Irak, hingga mereka tidak membutuhkan kepada seseorang setelahku selamanya." Dalam perkataan ini bahwa Umar memperhatikan kehidupan para janda yang membutuhkan bantuan. Karena Rasulullah bersabda: "Orang yang membantu janda dan orang miskin itu seperti orang yang jihad fii sabilillah atau orang yang salat malam dan siangnya berpuasa."[8]Â
- Keturunan para mujahid. Bahwa ketika para mujahid bertugas, Umar pun menetapkan pemberian kepada keluarga mujahidin dan keturunan mereka selama masa penugasan hingga mereka pulang. Beliau mengatakan: "Jika kamu sekalian tidak ada, maka akulah jadi bapak dari keluarga hingga kalian pulang."
- Sebenarnya sangat banyak lagi ijtihad tentang jaminan yang diberikan oleh Umar kepada orang yang membutuhkan. Jika ingin lebih tahu lagi, pembaca boleh membaca buku Fiqih Ekonomi Umar Bin Khattab.
2. Bidang Fiqih Jinayah
a.) Kasus Pengeroyokan
Tentang pengeroyokan, tertuang dalam kitab Subulus Salam berikut ini:
: : .( )
Artinya : Dari Umar ra. telah berkata: "Seorang anak telah dibunuh secara kejam, maka berkata lagi Umar ra. Jikalau penduduk Shan'a ikut serta dalam pembunuhan tersebut, maka saya akan bunuh mereka semua karena perbuatannya." (HR.Bukhari).[9]
Secara singkat, Jarrir bin Hazzim telah menceritakan kepadaku bahwa al-Mughirah bin Hakim ash-Shan'ani telah menceritakan kisah kepada yang diperoleh dari ayahnya tentang hukuman bagi orang yang membunuh dengan cara mengeroyok. Maka Umar menyuruh harus di qishash seluruh bagi yang ikut serta membunuhnya.[10]Â
b.) Kasus Potong Tangan
Dalam Al-Quran dijelaskan tentang potong tangan Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Kasus potong tangan, Umar bin Khattab dikabarkan tidak melaksanakan potong tangan pada masa umat Islam sedang mengalami musibah (kekurangan persediaan makanan dari bahaya kelaparan). Peristiwa ini terjadi ketika kemarau panjang karena kegersangan tanah, yang tidak pernah ditimpah hujan selama sembilan bulan terus menerus. Dalam kondisi seperti ini, menurut Ibnu Qayyim, Umar tampaknya mengadakan perubahan dalam fatwa hukum, seperti diriwayatkan:
Artinya: "Bahwa Umar ra. telah menggugurkan (hukuman) potong tangan dari pencuri pada musim kelaparan."
Di samping riwayat tersebut, diceritakan pula bahwa Umar juga tidak melaksanakan potong tangan seorang laki laki yang mencuri suatu barang dari Baitul Maal. Begitu pula Umar tidak memotong tangan beberapa orang budak terbukti karena kelaparan. Dalam kasus itu tidak mudah untuk mengatakan bahwa Umar ra telah melanggar ketentuan ayat Al-Quran yang memerintahkan potong tangan. Rasulullah pernah mengatakan melalui riwayat yang disampaikan Ibn Abbas yang artinya: "Hindarilah pelaksanaan hudud disebabkan adanya ketidakpastian (as-syubhat)". Di samping itu Umar pun berkata : "Aku lebih baik menangguh pelaksanaan hukuman pada kasus yang tidak pasti, dari pada melaksanakannya."
 c.) Bidang Ibadah
1.) Kasus muallaf.Â
Surah at-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa di antara golongan yang berhak mendapatkan/menerima zakat ialah muallaf. Sebagaimana firman-Nya"
Artinya : "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Nampaknya bagian muallaf sebagaimana pendapat ulama/atau ahli hukum Islam, diberikan karena ada tujuan-tujuan tertentu, yang sifatnya kondisional. Pada waktu kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap, Umar ra menghentikan pemberian bagian muallaf, bukan saja kepada orang-orang yang sebelumnya pernah menerimanya, tetapi juga kepada orang lain semacamnya. Atas dasar tersebut Umar berpendapat bahwa Rasulullah SAW memberikan bagian itu hanya lah untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidaklah valid lagi.[11]
 2.) Umar Tidak Salat Jenazah Orang Munafiq
Umar berkata: "Pada saat Abdullah bin Ubai meninggal, Rasulullah dipanggil untuk mensalati jenazah, beliau berdiri dan memenuhi panggilan tersebut. Ketika beliau hendak mensalatkannya, aku berbalik arah dan berdiri di hadapan beliau, dan mengatakan: "Ya Rasulullah, apakah pantas musuh Allah, Abdullah bin Ubai yang pernah berkata hari ini dan itu dan berkata begini dan begitu, masih dikenang hari harinya. Rasulullah tersenyum melihat tindakanku hingga aku menyampaikannya kepada beliau berkali-kali. Beliau mengatakan: "Biarkanlah aku wahai Umar, aku telah disuruh untuk memilih, maka aku telah memilihnya. Telah disampaikan kepadaku, "Kamu memohonkan ampun bagi mereka, atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja, kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali kali tidak akan memberi ampun kepada mereka, kemudian Rasulullah pun mensalatkan jenazahnya itu. Tidak lama kemudian turunlah dua ayat berikut QS At-Taubah ayat 84-85, tentang tidak diperkenankan mensalati mayat orang munafiq. Setelah peristiwa itu Rasulullah tidak pernah lagi mensalati jenazah munafiq, dan tidak pernah berdoa kepadanya.[12] Â
d. Bidang Mawaris
Umar memberikan bagian ahli waris kepada saudara-saudara bersama kakek, sedangkan Abu Bakar tidak membagikan ahli waris kepadanya. Kedua pendapat ini ikhtilaf, akan tetapi pengikut Umar lah yang lebih banyak mengikutnya, terutama Zaid bin Tsabit.Â
e. Bidang Munakahat
1.) Umar bin Khattab berfatwa, bahwa apabila wanita itu masih haid (namun tidak sedang hadih=pent) dicerai dan haidnya hilang, maka wanita itu menanti sembilan bulan. Jika ia mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah sesudah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa wanita itu menanti sampai ia tidak haidh lagi maka wanita itu beriddah beberapa bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma'na iddah yaitu benar-benar bersih dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan lagi, maka wanita itu beriddah dengan beberapa bulan.Â
2.) Umar bin Khattab berfatwa bahwa wanita yang dicerai putus (thalak ba'in) itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai kepadanya hadis Fatimah bin Qais bahwasanya Rasulullah  Saw tidak memberi nafkah dan tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia berkata: kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi Saw kita karena perkataan seorang perempuan yang barang kali ia hafal atau lupa.Â
3.) Umar Bin Khattab berkata : Bahwa orang hamil yang ditinggal mati oleh suami, maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh jauh dua masa itu, yaitu sejauh jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari. Ali tentang fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati berlandaskan dua ayat itu seluruhnya. Sedang Umar menjadikan ayat thalaq itu sebagai hukum ayat wafat yakni secara khusus. Dalam hal itu mereka melihat suatu hadits bahwasanya Sabi'an binti harits al Aslamiyah suaminya meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya sesudah dua bulan lima hari dari hari kematian suaminya, maka Nabi memberi fatwa dengan habisnya iddah.[13]Â
f. Izin Masuk Rumah
Suatu hari, tepatnya waktu siang, nabi mengutus seorang anak Anshar untuk menemui Umar ra, dengan tujuan untuk memanggilnya. Lalu anak itu langsung masuk kedalam rumah Umar, saat itu Umar ra sedang tidur dan sebagian tubuhnya terbuka. Maka Umar berdoa , Ya Allah haramkanlah ia masuk diwaktu tidur kami, Dalam suatu riwayat Umar mengatakan kepada Nabi, Ya Allah aku sangat senang sekali sekiranya Allah menyuruh dan melarang kita dalam masalah izin (masuk rumah)[14]. Lalu turunlah firman Allah QS an-Nur : 58
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
D. PENUTUP
Umar bin Khattab adalah orang yang berilmu, keras dalam menyikapi hukum yang berlaku pada saat itu. Orang yang berwibawah dalam kepemimpinannya, dan peduli dalam memikirkan ekonomi umat Islam.[15] Kesungguhan Umar ra berijtihad sangat diyakini oleh orang-orang disekelilingnya, terutama Nabi Muhammad SAW. Nyatanya setiap argumen atau ijitihad yang dikeluarkan oleh Umar, pasti dibenarkan dan dikagumi oleh orang lain. Bukan hanya itu saja, ternyata ketika Umar berijtihad disitulah ayat Al-Quran langsung turun.Â
Ilmu fikih ialah suatu pemahaman, boleh saja setiap orang berfahaman tentang fikih atau pendapat yang ia lakukan, tetapi semua itu haruslah ada dasar hukum yang kita gunakan ketika berijtihad. Ijtihad inilah sebagai pewaris Islam yang dilakukan oleh orang-orang yang sangat berilmu di bidang ilmu agama. Jika anda atau kita ingin berijtihad, maka ijtihadlah dengan cara yang baik yang sesuai dengan syariat islam. Saran dan pesan kami sebagai penulis, marilah kita lebih menggali ilmu syariah, agar bisa menjawab setiap pertanyaan dari kalangan masyarakat yang membutuhkan hukum.
E. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jaribah bin al-Haritsi, Fiqih Ekonomi Umar bin al-Khattab, Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Al-Atsari, Abu Ihsan, Perjalanan Hidup Empat Khilafah Rasul yang Agung, Jakarta: Dar al-Haq, 2011.
Amru Harahap, Khairul dan Ahmad Fauzan, The Great Leader of Umar Bin Al-Khattab cet. Pertama, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Ismail, Muhammad al-Asqalani bin, Terjemahan Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Jilid III, Jakarta Timur: Dar as-Sunnah.
Nuruddin, Amiur, Â Ijtihad Umar Ibn al Khattab, cet. I, Jakarta: CV Rajawali, 1991.
Zuhri, Mohammad, Tarikh al Tasyri' al-Islami, Semarang: Darul Ikhya, 1980.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H