Artinya : "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Nampaknya bagian muallaf sebagaimana pendapat ulama/atau ahli hukum Islam, diberikan karena ada tujuan-tujuan tertentu, yang sifatnya kondisional. Pada waktu kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap, Umar ra menghentikan pemberian bagian muallaf, bukan saja kepada orang-orang yang sebelumnya pernah menerimanya, tetapi juga kepada orang lain semacamnya. Atas dasar tersebut Umar berpendapat bahwa Rasulullah SAW memberikan bagian itu hanya lah untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidaklah valid lagi.[11]
 2.) Umar Tidak Salat Jenazah Orang Munafiq
Umar berkata: "Pada saat Abdullah bin Ubai meninggal, Rasulullah dipanggil untuk mensalati jenazah, beliau berdiri dan memenuhi panggilan tersebut. Ketika beliau hendak mensalatkannya, aku berbalik arah dan berdiri di hadapan beliau, dan mengatakan: "Ya Rasulullah, apakah pantas musuh Allah, Abdullah bin Ubai yang pernah berkata hari ini dan itu dan berkata begini dan begitu, masih dikenang hari harinya. Rasulullah tersenyum melihat tindakanku hingga aku menyampaikannya kepada beliau berkali-kali. Beliau mengatakan: "Biarkanlah aku wahai Umar, aku telah disuruh untuk memilih, maka aku telah memilihnya. Telah disampaikan kepadaku, "Kamu memohonkan ampun bagi mereka, atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja, kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali kali tidak akan memberi ampun kepada mereka, kemudian Rasulullah pun mensalatkan jenazahnya itu. Tidak lama kemudian turunlah dua ayat berikut QS At-Taubah ayat 84-85, tentang tidak diperkenankan mensalati mayat orang munafiq. Setelah peristiwa itu Rasulullah tidak pernah lagi mensalati jenazah munafiq, dan tidak pernah berdoa kepadanya.[12] Â
d. Bidang Mawaris
Umar memberikan bagian ahli waris kepada saudara-saudara bersama kakek, sedangkan Abu Bakar tidak membagikan ahli waris kepadanya. Kedua pendapat ini ikhtilaf, akan tetapi pengikut Umar lah yang lebih banyak mengikutnya, terutama Zaid bin Tsabit.Â
e. Bidang Munakahat
1.) Umar bin Khattab berfatwa, bahwa apabila wanita itu masih haid (namun tidak sedang hadih=pent) dicerai dan haidnya hilang, maka wanita itu menanti sembilan bulan. Jika ia mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah sesudah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa wanita itu menanti sampai ia tidak haidh lagi maka wanita itu beriddah beberapa bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma'na iddah yaitu benar-benar bersih dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan lagi, maka wanita itu beriddah dengan beberapa bulan.Â
2.) Umar bin Khattab berfatwa bahwa wanita yang dicerai putus (thalak ba'in) itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai kepadanya hadis Fatimah bin Qais bahwasanya Rasulullah  Saw tidak memberi nafkah dan tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia berkata: kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi Saw kita karena perkataan seorang perempuan yang barang kali ia hafal atau lupa.Â
3.) Umar Bin Khattab berkata : Bahwa orang hamil yang ditinggal mati oleh suami, maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh jauh dua masa itu, yaitu sejauh jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari. Ali tentang fatwanya tentang wanita yang ditinggal mati berlandaskan dua ayat itu seluruhnya. Sedang Umar menjadikan ayat thalaq itu sebagai hukum ayat wafat yakni secara khusus. Dalam hal itu mereka melihat suatu hadits bahwasanya Sabi'an binti harits al Aslamiyah suaminya meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya sesudah dua bulan lima hari dari hari kematian suaminya, maka Nabi memberi fatwa dengan habisnya iddah.[13]Â
f. Izin Masuk Rumah