Era digital, dengan segala potensinya, tidak hanya membawa peluang tetapi juga ancaman yang kompleks. Douglass Kellner, dalam pendekatannya yang kritis terhadap teknologi dan media, menekankan bahwa teknologi tidak hanya netral; ia membawa ideologi, kekuasaan, dan potensi untuk menciptakan ketimpangan.
Dalam Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern (1995), Kellner mengingatkan kita bahwa teknologi sering kali merefleksikan struktur kekuasaan dan ekonomi yang ada, memperkuat dominasi kelompok tertentu sambil meminggirkan yang lain.
Jadi, dengan kerangka ini, transformasi digital di Indonesia harus dilihat tidak hanya sebagai perubahan teknis, tetapi juga sebagai proses politik dan budaya yang memengaruhi siapa yang mendapatkan manfaat dan siapa yang ditinggalkan.
Ketimpangan Akses Teknologi
Ketimpangan akses teknologi adalah cerminan dari ketidakadilan struktural yang telah lama mengakar dalam sistem sosial dan ekonomi Indonesia. Transformasi digital yang seharusnya menjadi jembatan menuju inklusivitas justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan jika tidak dikelola secara adil.
Douglass Kellner dalam Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern (1995) menekankan bahwa teknologi tidak pernah netral; ia selalu mencerminkan relasi kuasa dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, distribusi akses teknologi menunjukkan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik berperan besar dalam menentukan siapa yang mendapatkan manfaat dari revolusi digital dan siapa yang tertinggal.
Menurut data APJII (2023), 77% populasi Indonesia telah terhubung ke internet. Namun, angka ini menyembunyikan ketimpangan yang mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, internet telah menjadi bagian dari infrastruktur publik yang tersedia secara luas, mendukung pendidikan daring, pekerjaan jarak jauh, dan bisnis digital.
Sebaliknya, di daerah pedesaan dan terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara, akses internet sering kali terhambat oleh minimnya infrastruktur jaringan. Bahkan, ketersediaan listrik yang tidak stabil di wilayah-wilayah ini menambah lapisan tantangan baru.
Douglass Kellner mengingatkan kita bahwa ketimpangan teknologi tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana teknologi diposisikan dalam sistem ekonomi dan politik. Ia menyebut teknologi sebagai “alat hegemoni,” di mana kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat menggunakan akses eksklusif terhadap teknologi untuk memperkuat dominasi mereka.
Dalam konteks Indonesia, ketimpangan akses internet tidak hanya membuat masyarakat pedesaan kehilangan peluang untuk terlibat dalam ekonomi digital, tetapi juga memperkuat marginalisasi mereka dalam sistem sosial yang lebih luas.
Ketimpangan ini berdampak pada hampir semua aspek kehidupan. Masyarakat perkotaan dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, menciptakan inovasi, dan memperluas jaringan sosial maupun ekonomi.
Sebaliknya, masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses teknologi memikul beban yang lebih besar dalam beradaptasi dengan dunia yang semakin terdigitalisasi. Situasi ini memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional secara keseluruhan.
Douglass Kellner dalam Technological Transformation, Multiple Literacies, and the Re-Visioning of Education (2000) menyoroti bahwa teknologi tidak hanya menciptakan peluang baru, tetapi juga hierarki baru yang memperparah ketidaksetaraan jika distribusinya tidak diatur dengan baik.
Proyek seperti Palapa Ring, yang bertujuan memperluas jaringan serat optik hingga ke daerah-daerah terpencil, adalah langkah awal yang penting dalam mengatasi ketimpangan ini.
Namun, sebagaimana Kellner kritik terhadap proyek-proyek teknologi skala besar, implementasi infrastruktur saja tidak cukup jika tidak disertai dengan strategi yang memastikan akses yang adil bagi kelompok-kelompok yang paling membutuhkan.
Sebagai contoh, jaringan internet yang telah dibangun sering kali hanya menjangkau kawasan tertentu di daerah terpencil, sementara masyarakat miskin di wilayah tersebut tetap kesulitan mengakses perangkat digital seperti laptop atau smartphone karena harganya yang tinggi. Hal ini mempertegas bahwa ketimpangan digital tidak hanya masalah ketersediaan infrastruktur, tetapi juga keterjangkauan dan literasi digital.
Selain infrastruktur, literasi digital juga menjadi elemen penting dalam mengatasi ketimpangan teknologi. Kellner menekankan bahwa literasi digital harus mencakup pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi bekerja dalam sistem sosial. Di Indonesia, program literasi digital masih terbatas pada pelatihan teknis dasar, seperti cara menggunakan aplikasi atau perangkat lunak. Padahal, untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, program literasi digital harus dirancang untuk memberdayakan individu dalam memanfaatkan teknologi untuk pendidikan, kewirausahaan, atau pemberdayaan komunitas.
Ketimpangan akses teknologi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Tanpa intervensi yang serius dari pemerintah dan sektor swasta, transformasi digital di Indonesia berisiko menjadi alat yang memperburuk ketimpangan yang sudah ada. Sebagaimana ditegaskan Kellner, “Teknologi hanya menjadi alat pembebasan ketika ia digunakan untuk memberdayakan semua, bukan hanya segelintir elite.” Dalam hal ini, kebijakan subsidi perangkat digital, penyediaan internet gratis di daerah terpencil, dan program pelatihan berbasis komunitas harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa transformasi digital benar-benar inklusif.
Ketimpangan digital juga memiliki implikasi politik. Masyarakat yang tidak memiliki akses teknologi cenderung terputus dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengorganisasi diri, mengakses informasi, dan terlibat dalam diskusi publik. Dalam The Politics of Media Culture (2009), Kellner menekankan bahwa akses terhadap teknologi adalah prasyarat untuk partisipasi demokratis dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, ketimpangan akses teknologi tidak hanya menciptakan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Transformasi digital di Indonesia harus dirancang untuk mengatasi ketimpangan ini, bukan memperparahnya. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara terhadap teknologi, terlepas dari lokasi geografis atau status ekonomi mereka. Seperti yang disimpulkan Kellner, teknologi adalah medan perjuangan kekuasaan, dan hanya dengan distribusi yang adil ia dapat menjadi alat untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara. Ketimpangan akses teknologi di Indonesia adalah tantangan besar, tetapi dengan kebijakan yang tepat, ia juga bisa menjadi peluang untuk menciptakan masa depan digital yang inklusif dan berkeadilan.
Meningkatkan Literasi Digital
Akses teknologi adalah langkah awal yang penting dalam transformasi digital, tetapi tanpa literasi digital yang memadai, akses tersebut tidak akan menghasilkan inklusivitas atau keberlanjutan ekonomi yang sesungguhnya. Literasi digital, seperti yang ditegaskan oleh Douglass Kellner dalam (2000), tidak hanya mencakup kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi bekerja dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa pemahaman ini, teknologi dapat memperburuk ketimpangan sosial daripada menyelesaikannya.
Menurut survei APJII tahun 2022, hanya 56% pengguna internet di Indonesia yang memanfaatkan teknologi untuk kegiatan produktif, sementara sebagian besar lainnya menggunakannya untuk hiburan, seperti media sosial dan video streaming. Data ini menunjukkan bahwa meskipun akses teknologi meningkat, pemanfaatannya belum optimal. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa teknologi sering kali digunakan untuk mendorong konsumerisme alih-alih memberdayakan individu. Ketimpangan dalam pemanfaatan ini bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kurangnya literasi kritis yang memungkinkan individu memahami dan memanfaatkan teknologi untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan komunitas mereka.
Literasi digital harus dipahami sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi secara produktif dan aman, serta untuk memahami implikasi sosial dan politiknya. Dalam konteks Indonesia, banyak kelompok, terutama generasi tua dan masyarakat dari latar belakang ekonomi rendah, menghadapi hambatan dalam mengadopsi teknologi. Mereka sering kali menganggap teknologi terlalu rumit atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Padahal, seperti yang ditekankan oleh Kellner, literasi digital adalah kunci untuk membuka akses ke peluang-peluang seperti pembelajaran daring, perdagangan digital, atau layanan keuangan berbasis teknologi.
Kurangnya literasi digital juga menciptakan risiko baru dalam dunia yang semakin terdigitalisasi. Rendahnya kesadaran akan keamanan siber, misalnya, membuat banyak individu rentan terhadap ancaman seperti penipuan daring atau pelanggaran privasi. Seperti yang diungkapkan oleh Howard Rheingold dalam Net Smart: How to Thrive Online (2012), "literasi digital adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan etis di dunia digital." Tanpa kesadaran ini, teknologi bisa menjadi alat yang memperburuk kerentanan sosial, alih-alih memberdayakan pengguna.
Untuk mengatasi tantangan ini, literasi digital harus menjadi prioritas nasional yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menyediakan program literasi digital yang mencakup berbagai keterampilan, mulai dari dasar hingga tingkat lanjut. Pelatihan berbasis komunitas, misalnya, dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan lokal, seperti pemanfaatan platform e-commerce untuk usaha kecil atau penggunaan teknologi untuk meningkatkan hasil pertanian. Pendekatan ini tidak hanya relevan, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari.
Sekolah-sekolah juga memiliki peran penting dalam membangun fondasi literasi digital sejak dini. Kurikulum pendidikan harus mengintegrasikan teknologi secara mendalam, tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai subjek pembelajaran itu sendiri. Anak-anak harus diajarkan keterampilan seperti pemrograman, analitik data, dan etika digital, yang akan mempersiapkan mereka untuk dunia kerja yang semakin terdigitalisasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa pendidikan teknologi harus menciptakan individu yang kritis, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Sektor swasta juga dapat memainkan peran penting dalam memperluas dampak literasi digital. Banyak perusahaan teknologi global dan lokal, seperti Google, Microsoft, atau Tokopedia, telah memiliki program pelatihan digital yang dapat diintegrasikan ke dalam inisiatif pemerintah. Selain itu, infrastruktur seperti pusat-pusat teknologi di daerah pedesaan dapat menjadi tempat pelatihan yang meningkatkan keterjangkauan program-program ini bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari transformasi digital.
Namun, seperti yang diingatkan Kellner, literasi digital tidak hanya soal keterampilan teknis; ia juga soal memberdayakan individu untuk memahami dan mengkritisi bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan mereka. Misalnya, pengguna harus diajarkan untuk memahami bagaimana data pribadi mereka digunakan oleh platform teknologi, serta bagaimana mereka dapat melindungi diri dari eksploitasi digital. Literasi digital yang sejati adalah literasi kritis, yang memungkinkan individu untuk menjadi peserta aktif dalam masyarakat digital, bukan hanya konsumen pasif.
Dengan memperkuat literasi digital, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan inklusivitas ekonomi digital, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih mandiri dan berdaya. Literasi digital adalah investasi yang sangat penting untuk masa depan. Seperti yang disimpulkan Kellner, "Pendidikan teknologi bukan hanya tentang mengajarkan cara menggunakan perangkat, tetapi tentang mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan sosial, politik, dan ekonomi dalam dunia yang semakin terdigitalisasi." Literasi digital bukan hanya solusi teknis; ia adalah fondasi untuk menciptakan masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan siap menghadapi masa depan.
Memberdayakan UMKM dan Pekerja
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, menyumbang sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional. Namun, di tengah arus transformasi digital yang menjanjikan banyak peluang, UMKM dan pekerja tradisional menghadapi tantangan besar untuk bertahan dan berkembang. Douglass Kellner (2000) mengingatkan bahwa teknologi sering kali memperkuat ketimpangan yang sudah ada jika akses dan pemanfaatannya tidak dikelola secara adil. Dalam konteks Indonesia, digitalisasi dapat menjadi pedang bermata dua, membuka peluang sekaligus memperbesar jurang kesenjangan antara UMKM dan perusahaan besar, serta antara pekerja yang melek teknologi dengan mereka yang belum memiliki keterampilan digital.
UMKM sering terjebak dalam metode tradisional yang membuat mereka kesulitan bersaing di pasar digital. Banyak pelaku UMKM yang belum memiliki akses ke perangkat teknologi, pelatihan keterampilan digital, atau modal untuk mengadopsi teknologi baru. Akibatnya, mereka tertinggal dari perusahaan besar yang mendominasi pasar online. Hambatan ini menciptakan dinamika ekonomi digital yang tidak inklusif, di mana sebagian besar keuntungan transformasi digital hanya dinikmati oleh segelintir kelompok dengan akses yang lebih baik. Kellner menyebut fenomena ini sebagai "ekonomi digital yang hegemonik," di mana kelompok dominan menggunakan teknologi untuk memperkuat posisi mereka dalam struktur ekonomi.
Di sisi lain, pekerja tradisional menghadapi risiko besar akibat otomatisasi dan digitalisasi. Pekerjaan manual seperti kasir, operator produksi, atau petugas administrasi semakin tergantikan oleh teknologi otomatisasi. Studi dari World Economic Forum (2020) memproyeksikan bahwa hingga 85 juta pekerjaan di seluruh dunia dapat tergantikan oleh mesin dalam dekade mendatang. Di Indonesia, pekerja di sektor-sektor ini sangat rentan kehilangan pekerjaan jika tidak ada langkah-langkah mitigasi yang serius. Dalam konteks ini, teknologi tidak hanya menjadi alat produktivitas tetapi juga instrumen eksklusi ekonomi, menggeser pekerja tradisional yang tidak memiliki keterampilan digital yang relevan.
Untuk memberdayakan UMKM dan pekerja, dukungan harus bersifat komprehensif dan mencakup berbagai aspek. Salah satu langkah penting adalah menyediakan insentif berupa kredit berbunga rendah bagi UMKM untuk membeli perangkat teknologi yang mendukung operasional digital. Selain itu, program pelatihan digital perlu diperluas, tidak hanya untuk mengenalkan UMKM pada platform online tetapi juga untuk membantu mereka memahami strategi pemasaran berbasis data, pengelolaan logistik digital, dan analitik bisnis. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa literasi teknologi harus mencakup pemahaman kritis dan strategis, sehingga pelaku usaha mampu mengoptimalkan teknologi untuk meningkatkan daya saing mereka.
Selain dukungan langsung kepada UMKM, pemerintah juga harus memfasilitasi kerja sama antara UMKM dan platform besar seperti Tokopedia, Shopee, atau Bukalapak. Kemitraan ini dapat memberikan akses UMKM ke ekosistem digital yang lebih luas. Namun, seperti yang ditegaskan Kellner, hubungan semacam ini harus diatur dengan regulasi yang melindungi pelaku usaha kecil dari eksploitasi atau ketergantungan berlebihan pada platform. Pemerintah perlu memastikan bahwa platform digital tidak hanya menjadi saluran penjualan, tetapi juga memberikan pelatihan dan dukungan teknis bagi UMKM untuk berkembang secara mandiri.
Transformasi digital juga harus menciptakan ruang bagi pekerja tradisional untuk beradaptasi. Program pelatihan ulang atau reskilling berbasis teknologi menjadi solusi utama untuk membantu pekerja menghadapi disrupsi akibat digitalisasi. Pelatihan ini dapat mencakup keterampilan seperti pengelolaan data, desain grafis, pengembangan aplikasi, atau analitik digital, yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini. Pemerintah dapat bermitra dengan perusahaan teknologi global seperti Google, Microsoft, atau Cisco untuk menyediakan pelatihan berbasis komunitas yang menjangkau pekerja di sektor tradisional yang berisiko tinggi kehilangan pekerjaan.
Selain pelatihan ulang, pemerintah juga dapat mendukung penciptaan lapangan kerja baru di sektor ekonomi digital yang sedang berkembang. Investasi dalam infrastruktur teknologi, insentif untuk perusahaan yang menciptakan pekerjaan berbasis teknologi, serta pengembangan program pendidikan berbasis digital di sekolah menengah dan universitas adalah langkah-langkah strategis yang dapat memperluas peluang kerja bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa teknologi harus digunakan untuk menciptakan peluang baru yang inklusif, bukan memperburuk ketimpangan yang ada.
Pada akhirnya, transformasi digital tidak hanya membawa peluang tetapi juga tanggung jawab besar untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan berkeadilan. Memberdayakan UMKM dan pekerja tradisional adalah langkah penting untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari ekonomi digital. Dengan kebijakan yang tepat dan pendekatan yang terkoordinasi, Indonesia dapat membangun ekosistem digital yang kompetitif sekaligus inklusif, di mana teknologi menjadi alat pemberdayaan, bukan eksklusi. Sebagaimana ditegaskan oleh Douglass Kellner, teknologi harus dilihat sebagai medan perjuangan politik dan ekonomi, di mana tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Menuju Ekonomi Digital yang Inklusif
Era digital menawarkan peluang besar untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Teknologi memiliki potensi untuk menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi yang merata, menyediakan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang usaha bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, tantangan mendasar seperti ketimpangan akses teknologi, rendahnya literasi digital, dan kesenjangan ekonomi harus segera diatasi. Transformasi digital hanya akan menjadi alat pemberdayaan masyarakat jika dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan strategis.
Pemerataan infrastruktur teknologi menjadi langkah awal yang esensial. Di Indonesia, wilayah-wilayah pedesaan dan terpencil seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku masih menghadapi kendala besar dalam akses internet dan teknologi dasar. Proyek seperti Palapa Ring adalah inisiatif penting untuk memperluas konektivitas digital. Namun, infrastruktur saja tidak cukup. Pemerintah perlu melengkapinya dengan kebijakan subsidi perangkat digital bagi masyarakat kurang mampu serta investasi dalam teknologi alternatif, seperti layanan internet berbasis satelit, untuk menjangkau wilayah-wilayah yang sulit diakses. Akses teknologi yang merata tidak hanya membuka pintu ke ekonomi digital tetapi juga menciptakan peluang baru dalam pendidikan dan layanan kesehatan, memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Namun, seperti yang ditegaskan oleh Douglass Kellner dalam Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern (1995), infrastruktur teknologi harus dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Kellner mengingatkan bahwa teknologi, jika tidak dikombinasikan dengan literasi dan akses yang inklusif, dapat menjadi alat dominasi yang memperkuat ketimpangan sosial. Oleh karena itu, literasi digital harus menjadi prioritas dalam transformasi digital Indonesia.
Pelatihan literasi digital yang kuat harus mencakup lebih dari sekadar penguasaan perangkat teknologi. Program literasi harus mengajarkan masyarakat bagaimana memanfaatkan teknologi untuk kegiatan produktif, seperti pemasaran digital, pembelajaran daring, dan pengelolaan bisnis online. Pemerintah, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah harus berkolaborasi untuk menyediakan pelatihan yang menyasar generasi muda, kelompok ekonomi lemah, dan bahkan generasi tua yang selama ini terpinggirkan dari revolusi digital. Sebagaimana ditegaskan Kellner (2000), literasi digital yang kritis adalah kunci untuk menciptakan individu yang mampu memahami, memanfaatkan, dan bahkan mengkritisi teknologi dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas.
UMKM, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, juga harus menjadi fokus utama transformasi digital. Dukungan berupa kredit berbunga rendah, pelatihan pemasaran digital, dan kemitraan dengan platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee dapat memberdayakan UMKM untuk bersaing di pasar yang semakin terdigitalisasi. Namun, seperti yang ditegaskan Kellner, hubungan antara UMKM dan platform teknologi besar harus diatur dengan regulasi yang memastikan keadilan. Ketergantungan yang berlebihan pada platform tertentu dapat menciptakan dinamika eksploitasi, di mana keuntungan besar dinikmati oleh perusahaan teknologi, sementara UMKM hanya menjadi pengguna yang rentan.
Selain UMKM, perhatian juga harus diberikan kepada pekerja di sektor tradisional yang rentan terhadap disrupsi akibat otomatisasi dan digitalisasi. Program reskilling atau pelatihan ulang berbasis teknologi harus dirancang untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan baru yang relevan dengan ekonomi digital. Pemerintah dapat bermitra dengan perusahaan teknologi seperti Google atau Microsoft untuk menyediakan pelatihan keterampilan seperti analitik data, pengembangan aplikasi, dan desain grafis. Dengan langkah ini, pekerja tradisional dapat beradaptasi dan tetap relevan di pasar tenaga kerja yang berubah dengan cepat.
Kerja sama yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk memastikan keberhasilan transformasi digital yang inklusif. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan regulasi yang mendukung, sektor swasta dapat memainkan peran dalam menyediakan teknologi dan pelatihan, sementara masyarakat harus menjadi peserta aktif yang memanfaatkan peluang digital untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan ekosistem digital yang kompetitif tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Sebagaimana Douglass Kellner tegaskan, teknologi bukanlah entitas yang netral; ia mencerminkan relasi kuasa dalam masyarakat. Transformasi digital harus dirancang bukan hanya untuk mengakomodasi perubahan teknologi, tetapi juga untuk menciptakan struktur sosial dan ekonomi yang lebih setara. Dengan mengatasi tantangan ketimpangan akses, literasi digital, dan kesenjangan ekonomi, Indonesia dapat memastikan bahwa era digital menjadi tonggak bagi kemajuan bangsa yang merata, adil, dan berkelanjutan. Kini adalah saatnya menjadikan transformasi digital sebagai alat pemberdayaan yang nyata bagi semua, bukan hanya segelintir pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H