Era digital, dengan segala potensinya, tidak hanya membawa peluang tetapi juga ancaman yang kompleks. Douglass Kellner, dalam pendekatannya yang kritis terhadap teknologi dan media, menekankan bahwa teknologi tidak hanya netral; ia membawa ideologi, kekuasaan, dan potensi untuk menciptakan ketimpangan.
Dalam Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern (1995), Kellner mengingatkan kita bahwa teknologi sering kali merefleksikan struktur kekuasaan dan ekonomi yang ada, memperkuat dominasi kelompok tertentu sambil meminggirkan yang lain.
Jadi, dengan kerangka ini, transformasi digital di Indonesia harus dilihat tidak hanya sebagai perubahan teknis, tetapi juga sebagai proses politik dan budaya yang memengaruhi siapa yang mendapatkan manfaat dan siapa yang ditinggalkan.
Ketimpangan Akses Teknologi
Ketimpangan akses teknologi adalah cerminan dari ketidakadilan struktural yang telah lama mengakar dalam sistem sosial dan ekonomi Indonesia. Transformasi digital yang seharusnya menjadi jembatan menuju inklusivitas justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan jika tidak dikelola secara adil.
Douglass Kellner dalam Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern (1995) menekankan bahwa teknologi tidak pernah netral; ia selalu mencerminkan relasi kuasa dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, distribusi akses teknologi menunjukkan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik berperan besar dalam menentukan siapa yang mendapatkan manfaat dari revolusi digital dan siapa yang tertinggal.
Menurut data APJII (2023), 77% populasi Indonesia telah terhubung ke internet. Namun, angka ini menyembunyikan ketimpangan yang mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, internet telah menjadi bagian dari infrastruktur publik yang tersedia secara luas, mendukung pendidikan daring, pekerjaan jarak jauh, dan bisnis digital.
Sebaliknya, di daerah pedesaan dan terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara, akses internet sering kali terhambat oleh minimnya infrastruktur jaringan. Bahkan, ketersediaan listrik yang tidak stabil di wilayah-wilayah ini menambah lapisan tantangan baru.
Douglass Kellner mengingatkan kita bahwa ketimpangan teknologi tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana teknologi diposisikan dalam sistem ekonomi dan politik. Ia menyebut teknologi sebagai “alat hegemoni,” di mana kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat menggunakan akses eksklusif terhadap teknologi untuk memperkuat dominasi mereka.
Dalam konteks Indonesia, ketimpangan akses internet tidak hanya membuat masyarakat pedesaan kehilangan peluang untuk terlibat dalam ekonomi digital, tetapi juga memperkuat marginalisasi mereka dalam sistem sosial yang lebih luas.
Ketimpangan ini berdampak pada hampir semua aspek kehidupan. Masyarakat perkotaan dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, menciptakan inovasi, dan memperluas jaringan sosial maupun ekonomi.