Literasi digital harus dipahami sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi secara produktif dan aman, serta untuk memahami implikasi sosial dan politiknya. Dalam konteks Indonesia, banyak kelompok, terutama generasi tua dan masyarakat dari latar belakang ekonomi rendah, menghadapi hambatan dalam mengadopsi teknologi. Mereka sering kali menganggap teknologi terlalu rumit atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Padahal, seperti yang ditekankan oleh Kellner, literasi digital adalah kunci untuk membuka akses ke peluang-peluang seperti pembelajaran daring, perdagangan digital, atau layanan keuangan berbasis teknologi.
Kurangnya literasi digital juga menciptakan risiko baru dalam dunia yang semakin terdigitalisasi. Rendahnya kesadaran akan keamanan siber, misalnya, membuat banyak individu rentan terhadap ancaman seperti penipuan daring atau pelanggaran privasi. Seperti yang diungkapkan oleh Howard Rheingold dalam Net Smart: How to Thrive Online (2012), "literasi digital adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan etis di dunia digital." Tanpa kesadaran ini, teknologi bisa menjadi alat yang memperburuk kerentanan sosial, alih-alih memberdayakan pengguna.
Untuk mengatasi tantangan ini, literasi digital harus menjadi prioritas nasional yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menyediakan program literasi digital yang mencakup berbagai keterampilan, mulai dari dasar hingga tingkat lanjut. Pelatihan berbasis komunitas, misalnya, dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan lokal, seperti pemanfaatan platform e-commerce untuk usaha kecil atau penggunaan teknologi untuk meningkatkan hasil pertanian. Pendekatan ini tidak hanya relevan, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari.
Sekolah-sekolah juga memiliki peran penting dalam membangun fondasi literasi digital sejak dini. Kurikulum pendidikan harus mengintegrasikan teknologi secara mendalam, tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai subjek pembelajaran itu sendiri. Anak-anak harus diajarkan keterampilan seperti pemrograman, analitik data, dan etika digital, yang akan mempersiapkan mereka untuk dunia kerja yang semakin terdigitalisasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa pendidikan teknologi harus menciptakan individu yang kritis, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Sektor swasta juga dapat memainkan peran penting dalam memperluas dampak literasi digital. Banyak perusahaan teknologi global dan lokal, seperti Google, Microsoft, atau Tokopedia, telah memiliki program pelatihan digital yang dapat diintegrasikan ke dalam inisiatif pemerintah. Selain itu, infrastruktur seperti pusat-pusat teknologi di daerah pedesaan dapat menjadi tempat pelatihan yang meningkatkan keterjangkauan program-program ini bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari transformasi digital.
Namun, seperti yang diingatkan Kellner, literasi digital tidak hanya soal keterampilan teknis; ia juga soal memberdayakan individu untuk memahami dan mengkritisi bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan mereka. Misalnya, pengguna harus diajarkan untuk memahami bagaimana data pribadi mereka digunakan oleh platform teknologi, serta bagaimana mereka dapat melindungi diri dari eksploitasi digital. Literasi digital yang sejati adalah literasi kritis, yang memungkinkan individu untuk menjadi peserta aktif dalam masyarakat digital, bukan hanya konsumen pasif.
Dengan memperkuat literasi digital, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan inklusivitas ekonomi digital, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih mandiri dan berdaya. Literasi digital adalah investasi yang sangat penting untuk masa depan. Seperti yang disimpulkan Kellner, "Pendidikan teknologi bukan hanya tentang mengajarkan cara menggunakan perangkat, tetapi tentang mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan sosial, politik, dan ekonomi dalam dunia yang semakin terdigitalisasi." Literasi digital bukan hanya solusi teknis; ia adalah fondasi untuk menciptakan masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan siap menghadapi masa depan.
Memberdayakan UMKM dan Pekerja
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, menyumbang sekitar 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional. Namun, di tengah arus transformasi digital yang menjanjikan banyak peluang, UMKM dan pekerja tradisional menghadapi tantangan besar untuk bertahan dan berkembang. Douglass Kellner (2000) mengingatkan bahwa teknologi sering kali memperkuat ketimpangan yang sudah ada jika akses dan pemanfaatannya tidak dikelola secara adil. Dalam konteks Indonesia, digitalisasi dapat menjadi pedang bermata dua, membuka peluang sekaligus memperbesar jurang kesenjangan antara UMKM dan perusahaan besar, serta antara pekerja yang melek teknologi dengan mereka yang belum memiliki keterampilan digital.
UMKM sering terjebak dalam metode tradisional yang membuat mereka kesulitan bersaing di pasar digital. Banyak pelaku UMKM yang belum memiliki akses ke perangkat teknologi, pelatihan keterampilan digital, atau modal untuk mengadopsi teknologi baru. Akibatnya, mereka tertinggal dari perusahaan besar yang mendominasi pasar online. Hambatan ini menciptakan dinamika ekonomi digital yang tidak inklusif, di mana sebagian besar keuntungan transformasi digital hanya dinikmati oleh segelintir kelompok dengan akses yang lebih baik. Kellner menyebut fenomena ini sebagai "ekonomi digital yang hegemonik," di mana kelompok dominan menggunakan teknologi untuk memperkuat posisi mereka dalam struktur ekonomi.
Di sisi lain, pekerja tradisional menghadapi risiko besar akibat otomatisasi dan digitalisasi. Pekerjaan manual seperti kasir, operator produksi, atau petugas administrasi semakin tergantikan oleh teknologi otomatisasi. Studi dari World Economic Forum (2020) memproyeksikan bahwa hingga 85 juta pekerjaan di seluruh dunia dapat tergantikan oleh mesin dalam dekade mendatang. Di Indonesia, pekerja di sektor-sektor ini sangat rentan kehilangan pekerjaan jika tidak ada langkah-langkah mitigasi yang serius. Dalam konteks ini, teknologi tidak hanya menjadi alat produktivitas tetapi juga instrumen eksklusi ekonomi, menggeser pekerja tradisional yang tidak memiliki keterampilan digital yang relevan.
Untuk memberdayakan UMKM dan pekerja, dukungan harus bersifat komprehensif dan mencakup berbagai aspek. Salah satu langkah penting adalah menyediakan insentif berupa kredit berbunga rendah bagi UMKM untuk membeli perangkat teknologi yang mendukung operasional digital. Selain itu, program pelatihan digital perlu diperluas, tidak hanya untuk mengenalkan UMKM pada platform online tetapi juga untuk membantu mereka memahami strategi pemasaran berbasis data, pengelolaan logistik digital, dan analitik bisnis. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa literasi teknologi harus mencakup pemahaman kritis dan strategis, sehingga pelaku usaha mampu mengoptimalkan teknologi untuk meningkatkan daya saing mereka.