Sebaliknya, masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses teknologi memikul beban yang lebih besar dalam beradaptasi dengan dunia yang semakin terdigitalisasi. Situasi ini memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional secara keseluruhan.
Douglass Kellner dalam Technological Transformation, Multiple Literacies, and the Re-Visioning of Education (2000) menyoroti bahwa teknologi tidak hanya menciptakan peluang baru, tetapi juga hierarki baru yang memperparah ketidaksetaraan jika distribusinya tidak diatur dengan baik.
Proyek seperti Palapa Ring, yang bertujuan memperluas jaringan serat optik hingga ke daerah-daerah terpencil, adalah langkah awal yang penting dalam mengatasi ketimpangan ini.
Namun, sebagaimana Kellner kritik terhadap proyek-proyek teknologi skala besar, implementasi infrastruktur saja tidak cukup jika tidak disertai dengan strategi yang memastikan akses yang adil bagi kelompok-kelompok yang paling membutuhkan.
Sebagai contoh, jaringan internet yang telah dibangun sering kali hanya menjangkau kawasan tertentu di daerah terpencil, sementara masyarakat miskin di wilayah tersebut tetap kesulitan mengakses perangkat digital seperti laptop atau smartphone karena harganya yang tinggi. Hal ini mempertegas bahwa ketimpangan digital tidak hanya masalah ketersediaan infrastruktur, tetapi juga keterjangkauan dan literasi digital.
Selain infrastruktur, literasi digital juga menjadi elemen penting dalam mengatasi ketimpangan teknologi. Kellner menekankan bahwa literasi digital harus mencakup pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi bekerja dalam sistem sosial. Di Indonesia, program literasi digital masih terbatas pada pelatihan teknis dasar, seperti cara menggunakan aplikasi atau perangkat lunak. Padahal, untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, program literasi digital harus dirancang untuk memberdayakan individu dalam memanfaatkan teknologi untuk pendidikan, kewirausahaan, atau pemberdayaan komunitas.
Ketimpangan akses teknologi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Tanpa intervensi yang serius dari pemerintah dan sektor swasta, transformasi digital di Indonesia berisiko menjadi alat yang memperburuk ketimpangan yang sudah ada. Sebagaimana ditegaskan Kellner, “Teknologi hanya menjadi alat pembebasan ketika ia digunakan untuk memberdayakan semua, bukan hanya segelintir elite.” Dalam hal ini, kebijakan subsidi perangkat digital, penyediaan internet gratis di daerah terpencil, dan program pelatihan berbasis komunitas harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa transformasi digital benar-benar inklusif.
Ketimpangan digital juga memiliki implikasi politik. Masyarakat yang tidak memiliki akses teknologi cenderung terputus dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengorganisasi diri, mengakses informasi, dan terlibat dalam diskusi publik. Dalam The Politics of Media Culture (2009), Kellner menekankan bahwa akses terhadap teknologi adalah prasyarat untuk partisipasi demokratis dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, ketimpangan akses teknologi tidak hanya menciptakan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Transformasi digital di Indonesia harus dirancang untuk mengatasi ketimpangan ini, bukan memperparahnya. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara terhadap teknologi, terlepas dari lokasi geografis atau status ekonomi mereka. Seperti yang disimpulkan Kellner, teknologi adalah medan perjuangan kekuasaan, dan hanya dengan distribusi yang adil ia dapat menjadi alat untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara. Ketimpangan akses teknologi di Indonesia adalah tantangan besar, tetapi dengan kebijakan yang tepat, ia juga bisa menjadi peluang untuk menciptakan masa depan digital yang inklusif dan berkeadilan.
Meningkatkan Literasi Digital
Akses teknologi adalah langkah awal yang penting dalam transformasi digital, tetapi tanpa literasi digital yang memadai, akses tersebut tidak akan menghasilkan inklusivitas atau keberlanjutan ekonomi yang sesungguhnya. Literasi digital, seperti yang ditegaskan oleh Douglass Kellner dalam (2000), tidak hanya mencakup kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi bekerja dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa pemahaman ini, teknologi dapat memperburuk ketimpangan sosial daripada menyelesaikannya.
Menurut survei APJII tahun 2022, hanya 56% pengguna internet di Indonesia yang memanfaatkan teknologi untuk kegiatan produktif, sementara sebagian besar lainnya menggunakannya untuk hiburan, seperti media sosial dan video streaming. Data ini menunjukkan bahwa meskipun akses teknologi meningkat, pemanfaatannya belum optimal. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Kellner bahwa teknologi sering kali digunakan untuk mendorong konsumerisme alih-alih memberdayakan individu. Ketimpangan dalam pemanfaatan ini bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kurangnya literasi kritis yang memungkinkan individu memahami dan memanfaatkan teknologi untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan komunitas mereka.