Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Lampung dengan Pluralitas: Refleksi atas Aksi Kekerasan dan Kerusuhan di Lampung*

23 November 2012   11:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:47 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SUNGGUH saya tidak ingin mengulang cerita tentang aksi kekerasan di Lampung Selatan, Lampung Timur, di Lampung Tengah, dan sebelumnya di Mesuji. Apa yang terjadi, bagaimana peristiwanya, apa akibatnya, dst. sudah diberitakan, diulas, dikomentari, dan dianalisis di banyak media cetak dan elektronik.

Tragedi, Cinta, dan Sajak

Setiap kali kekerasan dan kerusuhan terjadi, apalagi sampai merenggut nyawa, saya selalu merasa terenyuh. Saya menulis sebuah sajak:

ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan piil yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad silam ketika air tanah,
hutan, kopi, lada menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat

kemarin seseorang mengancamku: kupagas niku kanah
hari ini aku mendengar ia mati tertikam belati
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
besok entah siapa lagi yang akan mati sia-sia

ajari kami bahasa cinta
bukan perang antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi patokan
ketika kemanusiaan berganti dengan kebinatangan
bukan moncong pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demontran yang menuntut undang-undang drakula

: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara harus darah!

(Udo Z. Karzi, Ajari Kami Bahasa Cinta, 2000)

Aduh, betapa sebenarnya "betapa pedih peri" mendengar darah tumpah dan jiwa kembali melayang:

: setelah hari ini tak boleh ada lagi
sepotong nyawa yang melayang sia-sia
sebab, sepotong jiwa lebih berharga
ketimbang sejuta kepongahan penguasa

(Udo Z. Karzi, Negeri Ini Teater Tentara, Zal, 1999)

Ya, kepongahanlah yang membuat seseorang, sekelompok orang, atau mungkin juga pemimpin (penguasa?) merasa perlu meniadakan orang lain. Sikap-sikap merasa benar sendiri, paling hebat, paling mulialah yang melahirkan sikap menapikan orang. Atau, sebaliknya merasa paling menderita sedunia, merasa paling malang, merasa disalahkan melulu, merasa dipinggirkan, dst. yang pada titik tertentu menjadi sikap sombong -- semacam biar miskin asal sombong! -- yang menumbuhkan "perlawanan" dan anarkistik.

Streotipe Ulun Lampung

Saya (masih saja) larut dengan emosi. Rasanya sulit sekali menuliskan masalah ini. Tapi, baiklah saya coba saja menuliskan kembali percakapan, wawancara, diskusi, dan penggalan-penggalan tulisan yang terserak mengenai kekerasan, kerusuhan, bentrok antarwarga yang -- diakui atau tidak -- jelas ada kaitannya dengan lampung, kelampungan, dan kebudayaan.

Pasca kerusuhan Sidomulyo, Lampung Selatan, Januari 2012 dan perubuhan Patung Zainal Abidin Pagar Alam, Mei 2012 sebelum terjadoni tragedi Agom-Balinuraga, Oktober 2012; saya diwawancarai seorang mahasiswa yang tengah menyelesaikan tesisnya. Pertanyaannya, bagaimanakah eksistensi masyarakat adat di Lampung? Bagaimanakah peranan tokoh adat (penyimbang) dalam kehidupan? Bagaimanakah hubungan penyimbang itu dengan masyarakat adat Lampungnya, dengan masyarakat adat etnik lain, dan dengan pemimpin formal pemerintahan?

Inilah. Letak masalahnya kenana akhir-akhir ini sering terjadi kekisuhan. Orang di Lampung boleh jadi sudah satu abad (empat generasi) atau malah lebih tinggal di Lampung, tetapi sesungguhnya kita tidak mengenal atau tidak mau tahu tentang Lampung dan kelampungan. Apa Lampung? Bagaimana Lampung? Seperti apa bahasa Lampung? Bagaimana kebiasaan orang Lampung, bagaimana gaya bicara orang Lampung, bagaimana cara atau kebiasaan  makan orang Lampung, bagaimana kesenian Lampung, bagaimana musik Lampung, bagaimana kepemimpinan Lampung, bagaimana hubungan kekerabatan ulun Lampung, bagaimana konsep kekuasaan menurut ulun Lampung, dst.

Sedikit -- apa boleh buat memang -- orang yang disebut beretnik Lampung di Lampung saat ini memang menjadi minoritas (lihat data statistik BPS!). Sudah sedikit, kebanyakan juga tidak mau mengaku ulun (beretnis) Lampung, malu berbahasa Lampung, minder kalau diketahui berdarah Lampung. Apa pasal?

Jauh sebelum kekerasan, kerusuhan, dan konflik antarwarga, sebenarnya tidak banyak yang tahu tentang ulun Lampung.Lampung itu kayak apa sih? Bahasa Lampung itu bahasa apa? Tidak banyak yang paham. Oleh ulun Lampung sendiri sekalipun. Apalagi yang bukan ulun Lampung."

Ada kesan ulun Lampung termarginalkan (saya yakin tanpa ada unsur kesengajaan atau setting tertentu) dalam arti orang -- termasuk yang tinggal di Lampung sendiri -- merasa tidak perlu mengenal Lampung atau kelampungan: bahasa, kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, kesenian, kebudayaan, dst. Maka, benarlah Lampung itu cuma nama provinsi saja, tetapi makna dan apa pun yang tersirat dari nama Lampung tak perlulah dibicarakan panjang lebar.

Kondisi ini ditambah pula dengan kaum elite Lampung sendiri sering menyalahartikan, bahkan menyalahgunakan nilai-nilai kelampungan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Adat itu cuma dijadikan alat politik saja! Akibatnya, kalau pemimpin daerah bicara kearifan lokal, tentang keluhuran budaya, tentang tingginya peradaban orang Lampung... weh, sapa muneh sai percaya?

Maka, semakin sesatlah pandangan orang terhadap ulun Lampung. Yang lahir adalah stereotip-stereotip betapa buruk kelakuan ulun Lampung. Bahwa orang Lampung itu pemalas, suka pesta, pemarah, pembegal, dan seterusnya.

Stereotipe itu adalah pictures in our head, kata Walter Lippman. Stereotip adalah persepsi yang dianut yang dilekatkan pada kelompok-kelompok atau orang-orang dengan gegabah yang mengabaikan keunikan-keunikan individual. Kerusuhan yang marak boleh jadi karena berkembangnya stereotip dari kelompok masing-masing.

Etnis Lampung

Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi.

Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampung miskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung.

Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten.

Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampung terpecah-pecah.

Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.

Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.

Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.

Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.

Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Buay Pernong, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way).

Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.

Kalau merujuk pada marga-marga di Lampung setidaknya ada 84 marga. Marga-marga di Lampung mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing (Hilman Hadikusuma, 1985).

Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.

Susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.

Melihat ke-84 marga itu,  kita bisa melihat adat dan bahasa yang bisa adat dan bahasa yang digunakan masing-masing marga. Adat yang dipakai bisa kita lihat bisa Lampung Pepadun, Lampung Saibatin/Peminggir, dan adat dari Sumatera Selatan (al. Semende, Ogan, dan Pegagan). Demikian pula, dari segi bahasa ada bahasa Lampung dialek api (A), bahasa Lampung dialek nyo (O), dan bahasa daerah dari Sumatera Selatan.

Satu hal, pembagian ulun Lampung secara adat dan bahasa tidak sebangun. Dalam arti tidak berarti bahasa Lampung beradat Pepadun otomatis berbahasa dialek nyo (O) dan Lampung beradat Saibatin pasti berabahas Lampung berdialek api (A). Sebab, dalam kenyataannya, Lampung Way Kanan, Sunkai-Bunga Mayang, dan Pubian yang beradat pepadun bertutur dalam bahasa Lampung dialak api (A).

Etnis Lain

Usia transmigrasi di Lampung boleh dibilang tertua di Indonesia karena sudah ada sejak 1905 ketika masih bernama kolonisasi di zaman pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Kemudian berlanjut di zaman Indonesia merdeka, baik transmigrasi yang diprogramkan pemerintah maupun transmigrasi spontan atas kemauan sendiri.

Bagian ini mungkin tidak perlu dibahas panjang lebar karena keterbatasan ruang dan waktu. Saat ini Lampung berpenduduk hampir 8 juta jiwa.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, komposisi penduduk Lampung berdasarkan etnis adalah Jawa 61,88%, Lampung 11,92%, Sunda, termasuk Banten 11,27%, Semendo dan Palembang 3,55%, suku lain Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll 11,35%.

Memang yang menjadi pertanyaan adalah kenapa etnis lain katakan Jawa yang sudah masuk Lampung tahun 1905 kok tidak terakomodasi dalam marga-marga teritorial-genealogis. Sehingga, tidak terjadi pembauran di antara etnik-etnik yang ada. Setiap etnik yang ada di Lampung tetap hidup dengan tatanan budaya etnis masing-masing. Maka, yang ada kemudian enklap-enklap etnik semacam wilayah pemukiman etnis-etnis tertentu.

Karena komunikasi antarbudaya sering mengalami kemampetan, yang timbul kemudian dalam stereotip negatif dari setiap etnik yang pada giliran melahirkan kesalahpahaman, tindakan diskriminatif, konflik, kekerasan, amuk massa, hingga kerusuhan.

Nah, di sinilah peran kepemimpinan lokal. Selain kepala daerah, camat, lurah/kepala desa, ada juga pemimpin informal yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Sebab, penyingkiran peran tokoh adat misalnya, bisa berakibat fatal.

Kepemimpinan Kepenyimbangan

Dalam bagian ini saya ingin meminjam pemikiran Firdaus Augustian (2002). Menurut Firdaus, dalam konsepsi adat Lampung kita mengenal di dalamnya wujud dari pengertian kepemimpinan. Kepemimpinan yang kita kenal dalam kepenyimbangan, yang dapat diklasifikasikan sebagai: penyimbang marga, penyimbang kebuaian, penyimbang tiuh, penyimbang suku.

Mungkin klasifikasi seperti ini dapat diperdebatkan. Namun, substansi dari pengertian penyimbang (pada tingkat apa pun) merupakan refleksi kepemimpinan keluarga. Seorang penyimbang adalah anak tertua yang mewarisi kepemimpinan dari orang tuanya yang juga adalah seorang penyimbang.

Proses inisiasi seseorang menjadi penyimbang  melalui declare dalam bentuk cakak pepadun diumumkan di patchah haji melelui proses dan prosedur adat tertentu yang mendapat pengesahan dari para penyimbang marga dalam persekutuan adat masing-masing.

Hakikat seorang penyimbang adalah refleksi kepemimpinan keluarga, yang terdiri dari adik-adiknya, anak-anaknya, paman-pamannya, anak kemenakannya, termasuk adik perempuan ayahnya, tidak termasuk saudara laki-laki dari ibunya. Penyimbang dalam adat Lampung hanyalah sebatas pemimpin keluarga, yang anggota keluarganya tertentu. Dia adalah seorang penyimbang marga identik dengan garis keturunan lurus yang tidak terputus sebagai anak tertua laki-laki dari keturunan keluarganya. Sebagai pemimpin keluarga, merupakan panutan moral dan sama sekali tidak berkaitan dengan cakupan wilayah kerja/daerah kekuasaan.

Posisi seorang penyimbang marga terhadap penyimbang marga yang lain adalah setara, bukan merupakan subordinat. Dan, penyimbang marga masing-masing dalam persekutuan adat yang bersangkutan dapat saling mewakili untuk masalah-masalah adat sebagai tamu/sumbai sebuah perhelatan adat yang dilakukan persekutuan adat lainnya.

Dengan demikian, seorang penyimbang adat, katakanlah penyimbang marga sama sekali tidak mempunyai kewenangan struktural yang mewakili sebuah wilayah kekuasaan/kekuasaan adat. Kewenangan seorang penyimbang marga hanyalah sebatas kewenangan moral bertindak untuk dan atas nama keluarganya. Sementara di sebuah kampung, tidak mungkin hanya ada seorang penyimbang marga. Pada sebuah kampung jumlah penyimbang marga atau yang dapat menjadi penyimbang marga dapat saja lebih dari 10 orang dan masing-masing berkedudukan setara. Dengan demikian, untuk mempresentasikan di antara penyimbang marga-penyimbang marga tersebut pada salah satu penyimbang marga merupakan sebuah usaha yang sama sekali tidak punya makna.

Lampung Ragom

Masih mengeksplorasi pemikiran Firdaus Augustian, dalam konstruksi berpikir adat budaya Lampung, kita akan dihadapkan pada persekutuan-persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga berhimpun dalam sebuah persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga dalam sebuah persekutuan adat berkedudukan setara, tidak bersifat struktural. Begitu pun kedudukan persekutuan-persekutuan adat dalam adat Pepadun, berkedudukan setara dan saling menghormati.

Begitu banyak persekutuan adat yang ada dan dikenal, antara lain: Abung Siwo Mego, Pubian Buku Jadi, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Menyarakat, masyarakat Abung Kota Bandar Lampung, Way Kanan Lima Kebuaian, Sungkai Bunga Mayang, Pesisir Telukbetung, Pesisir Krui, Belalau, dan seterusnya.

Kedudukan satu persekutuan adat dengan persekutuan adat lain bersifat setara dan tidak ada yang menjadi subordinasi. Penyimbang-penyimbang marga yang ada hanya berperan pada masing-masing persekutuan adat. Sebagai penyimbang marga dalam persekutuan adat Pubian Buku Jadi, sama sekali tidak punya hak apa-apa apabila dia menghadiri acara adat pada persekutuan adat di luar Pubian Buku Jadi. Dia hanyalah berkedudukan sebagai temui/sumbai/tamu dan fungsinya hanyalah penggembira, peramai acara adat. Begitu pun sebaliknya penyimbang marga dari persekutuan adat mana pun, memasuki persekutuan adat yang berbeda sama sekali tidak mempunyai hak, kecuali haknya sebagai tamu agung.

Irfan Anshory (2011) menegaskan, tidak ada dan memang tidak boleh ada yang mengklaim penyimbang seluruh Lampung. Masyarakat adat Lampung itu semacam federasi, yang masing-masing penyimbang dalam kelompoknya. Seorang penyimbang di kelompoknya tidak bisa menjadi penyimbang di kelompok yang lain.
Dengan demikian, terlihat posisi penyimbang marga, berkedudukan di tempat kedudukannya masing-masing, tidak dapat dipresentasikan secara signifikan. Setiap persekutuan adat mempunyai legitimasi yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks adat permusyawaratan adat yang terjadi adalah musyawarahnya para penyimbang/penyimbang marga dalam satu persekutuan adat.

Tidak pernah terjadi penyimbang/penyimbang marga duduk satu meja dalam musyawarah adat di antara persekutuan-persekutuan adat. Dengan demikian kita, para penyimbang, masyarakat adat tidak pernah mengenal konsep "sai" dalam adat Lampung. Yang ada dan sekaligus merupakan kekuatan adalah konsep "beragam" (ragom).

Epilog

Saya ingin mengutip Radhar Panca Dahana (2011) yang mengatakan, "Realitas obyektif akan menyadarkan kita, kekuatan itu sebenarnya tidak berada di pusat kekuasaan, apalagi di segelintir elite. Kekuatan itu justru ada di daerah-daerah. Maka, jadilah Jawa, Jawa yang sesungguhnya; Bugis, Bugis yang sesungguhnya; Batak, Batak yang sesungguhnya; dan seterusnya. Maka, kemudian, kita bersama akan menjadi Indonesia yang sesungguhnya."

Jadi, sesungguhnya Lampung yang plural, multikultur, multietnik, dst adalah sebuah  kekuatan yang luar biasa. Tentu, jika semua pihak, terutama pemimpinnya bisa mengelaborasi perbedaan dan konflik menjadi jalinan mosaik yang indah dalam sebuah harmoni kehidupan. Begitu.

Referensi

Firdaus Augustian. "Kepenyimbangan, Mitos Lampung Sai, dan Konflik Sosial di Lampung". Makalah disampaikan sebagai bahan Diskusi Awal Tahun Harian Lampung Post, Bandar Lampung, 16 Januari 2002.

Hilman Hadikusuma dkk. Adat Istiadat Lampung. Bandar Lampung: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Lampung, 1985/1986.

Irfan Anshory. "Mengenal Lampung". http://irfananshory.blogspot.com, 1 April 2007.

Irfan Anshory. "Sang Bumi Ruwa Jurai." Lampung Post, Jumat, 2 Mei 2009.

Rizani Puspawidjaya. Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006.

Udo Z. Karzi. "Feodalisme Modern di Lampung". Lampung Post, Rabu, 28 Juli 2010

Udo Z. Karzi. "Kebudayaan Lampung, Api Muneh?". Lampung Post, Rabu, 29 Mei 2005.

Udo Z. Karzi. "Mitos Ulun Lampung." Lampung Post, Minggu, 15 April 2007.

Udo Z. Karzi. "Peta Bahasa-Budaya Lampung". Lampung Post, Minggu, 16 dan 23 Maret 2008).

Udo Z. Karzi. "Politisasi Masyarakat Adat Lampung". Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007.

* Sebuah sumbang pikir untuk Jurnalisme Damai Lampung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun