Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Kalau merujuk pada marga-marga di Lampung setidaknya ada 84 marga. Marga-marga di Lampung mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing (Hilman Hadikusuma, 1985).
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Melihat ke-84 marga itu, kita bisa melihat adat dan bahasa yang bisa adat dan bahasa yang digunakan masing-masing marga. Adat yang dipakai bisa kita lihat bisa Lampung Pepadun, Lampung Saibatin/Peminggir, dan adat dari Sumatera Selatan (al. Semende, Ogan, dan Pegagan). Demikian pula, dari segi bahasa ada bahasa Lampung dialek api (A), bahasa Lampung dialek nyo (O), dan bahasa daerah dari Sumatera Selatan.
Satu hal, pembagian ulun Lampung secara adat dan bahasa tidak sebangun. Dalam arti tidak berarti bahasa Lampung beradat Pepadun otomatis berbahasa dialek nyo (O) dan Lampung beradat Saibatin pasti berabahas Lampung berdialek api (A). Sebab, dalam kenyataannya, Lampung Way Kanan, Sunkai-Bunga Mayang, dan Pubian yang beradat pepadun bertutur dalam bahasa Lampung dialak api (A).
Etnis Lain
Usia transmigrasi di Lampung boleh dibilang tertua di Indonesia karena sudah ada sejak 1905 ketika masih bernama kolonisasi di zaman pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Kemudian berlanjut di zaman Indonesia merdeka, baik transmigrasi yang diprogramkan pemerintah maupun transmigrasi spontan atas kemauan sendiri.
Bagian ini mungkin tidak perlu dibahas panjang lebar karena keterbatasan ruang dan waktu. Saat ini Lampung berpenduduk hampir 8 juta jiwa.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, komposisi penduduk Lampung berdasarkan etnis adalah Jawa 61,88%, Lampung 11,92%, Sunda, termasuk Banten 11,27%, Semendo dan Palembang 3,55%, suku lain Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll 11,35%.
Memang yang menjadi pertanyaan adalah kenapa etnis lain katakan Jawa yang sudah masuk Lampung tahun 1905 kok tidak terakomodasi dalam marga-marga teritorial-genealogis. Sehingga, tidak terjadi pembauran di antara etnik-etnik yang ada. Setiap etnik yang ada di Lampung tetap hidup dengan tatanan budaya etnis masing-masing. Maka, yang ada kemudian enklap-enklap etnik semacam wilayah pemukiman etnis-etnis tertentu.