Begitu banyak persekutuan adat yang ada dan dikenal, antara lain: Abung Siwo Mego, Pubian Buku Jadi, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Menyarakat, masyarakat Abung Kota Bandar Lampung, Way Kanan Lima Kebuaian, Sungkai Bunga Mayang, Pesisir Telukbetung, Pesisir Krui, Belalau, dan seterusnya.
Kedudukan satu persekutuan adat dengan persekutuan adat lain bersifat setara dan tidak ada yang menjadi subordinasi. Penyimbang-penyimbang marga yang ada hanya berperan pada masing-masing persekutuan adat. Sebagai penyimbang marga dalam persekutuan adat Pubian Buku Jadi, sama sekali tidak punya hak apa-apa apabila dia menghadiri acara adat pada persekutuan adat di luar Pubian Buku Jadi. Dia hanyalah berkedudukan sebagai temui/sumbai/tamu dan fungsinya hanyalah penggembira, peramai acara adat. Begitu pun sebaliknya penyimbang marga dari persekutuan adat mana pun, memasuki persekutuan adat yang berbeda sama sekali tidak mempunyai hak, kecuali haknya sebagai tamu agung.
Irfan Anshory (2011) menegaskan, tidak ada dan memang tidak boleh ada yang mengklaim penyimbang seluruh Lampung. Masyarakat adat Lampung itu semacam federasi, yang masing-masing penyimbang dalam kelompoknya. Seorang penyimbang di kelompoknya tidak bisa menjadi penyimbang di kelompok yang lain.
Dengan demikian, terlihat posisi penyimbang marga, berkedudukan di tempat kedudukannya masing-masing, tidak dapat dipresentasikan secara signifikan. Setiap persekutuan adat mempunyai legitimasi yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks adat permusyawaratan adat yang terjadi adalah musyawarahnya para penyimbang/penyimbang marga dalam satu persekutuan adat.
Tidak pernah terjadi penyimbang/penyimbang marga duduk satu meja dalam musyawarah adat di antara persekutuan-persekutuan adat. Dengan demikian kita, para penyimbang, masyarakat adat tidak pernah mengenal konsep "sai" dalam adat Lampung. Yang ada dan sekaligus merupakan kekuatan adalah konsep "beragam" (ragom).
Epilog
Saya ingin mengutip Radhar Panca Dahana (2011) yang mengatakan, "Realitas obyektif akan menyadarkan kita, kekuatan itu sebenarnya tidak berada di pusat kekuasaan, apalagi di segelintir elite. Kekuatan itu justru ada di daerah-daerah. Maka, jadilah Jawa, Jawa yang sesungguhnya; Bugis, Bugis yang sesungguhnya; Batak, Batak yang sesungguhnya; dan seterusnya. Maka, kemudian, kita bersama akan menjadi Indonesia yang sesungguhnya."
Jadi, sesungguhnya Lampung yang plural, multikultur, multietnik, dst adalah sebuah kekuatan yang luar biasa. Tentu, jika semua pihak, terutama pemimpinnya bisa mengelaborasi perbedaan dan konflik menjadi jalinan mosaik yang indah dalam sebuah harmoni kehidupan. Begitu.
Referensi
Firdaus Augustian. "Kepenyimbangan, Mitos Lampung Sai, dan Konflik Sosial di Lampung". Makalah disampaikan sebagai bahan Diskusi Awal Tahun Harian Lampung Post, Bandar Lampung, 16 Januari 2002.
Hilman Hadikusuma dkk. Adat Istiadat Lampung. Bandar Lampung: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Lampung, 1985/1986.
Irfan Anshory. "Mengenal Lampung". http://irfananshory.blogspot.com, 1 April 2007.