Ya, kepongahanlah yang membuat seseorang, sekelompok orang, atau mungkin juga pemimpin (penguasa?) merasa perlu meniadakan orang lain. Sikap-sikap merasa benar sendiri, paling hebat, paling mulialah yang melahirkan sikap menapikan orang. Atau, sebaliknya merasa paling menderita sedunia, merasa paling malang, merasa disalahkan melulu, merasa dipinggirkan, dst. yang pada titik tertentu menjadi sikap sombong -- semacam biar miskin asal sombong! -- yang menumbuhkan "perlawanan" dan anarkistik.
Streotipe Ulun Lampung
Saya (masih saja) larut dengan emosi. Rasanya sulit sekali menuliskan masalah ini. Tapi, baiklah saya coba saja menuliskan kembali percakapan, wawancara, diskusi, dan penggalan-penggalan tulisan yang terserak mengenai kekerasan, kerusuhan, bentrok antarwarga yang -- diakui atau tidak -- jelas ada kaitannya dengan lampung, kelampungan, dan kebudayaan.
Pasca kerusuhan Sidomulyo, Lampung Selatan, Januari 2012 dan perubuhan Patung Zainal Abidin Pagar Alam, Mei 2012 sebelum terjadoni tragedi Agom-Balinuraga, Oktober 2012; saya diwawancarai seorang mahasiswa yang tengah menyelesaikan tesisnya. Pertanyaannya, bagaimanakah eksistensi masyarakat adat di Lampung? Bagaimanakah peranan tokoh adat (penyimbang) dalam kehidupan? Bagaimanakah hubungan penyimbang itu dengan masyarakat adat Lampungnya, dengan masyarakat adat etnik lain, dan dengan pemimpin formal pemerintahan?
Inilah. Letak masalahnya kenana akhir-akhir ini sering terjadi kekisuhan. Orang di Lampung boleh jadi sudah satu abad (empat generasi) atau malah lebih tinggal di Lampung, tetapi sesungguhnya kita tidak mengenal atau tidak mau tahu tentang Lampung dan kelampungan. Apa Lampung? Bagaimana Lampung? Seperti apa bahasa Lampung? Bagaimana kebiasaan orang Lampung, bagaimana gaya bicara orang Lampung, bagaimana cara atau kebiasaan makan orang Lampung, bagaimana kesenian Lampung, bagaimana musik Lampung, bagaimana kepemimpinan Lampung, bagaimana hubungan kekerabatan ulun Lampung, bagaimana konsep kekuasaan menurut ulun Lampung, dst.
Sedikit -- apa boleh buat memang -- orang yang disebut beretnik Lampung di Lampung saat ini memang menjadi minoritas (lihat data statistik BPS!). Sudah sedikit, kebanyakan juga tidak mau mengaku ulun (beretnis) Lampung, malu berbahasa Lampung, minder kalau diketahui berdarah Lampung. Apa pasal?
Jauh sebelum kekerasan, kerusuhan, dan konflik antarwarga, sebenarnya tidak banyak yang tahu tentang ulun Lampung.Lampung itu kayak apa sih? Bahasa Lampung itu bahasa apa? Tidak banyak yang paham. Oleh ulun Lampung sendiri sekalipun. Apalagi yang bukan ulun Lampung."
Ada kesan ulun Lampung termarginalkan (saya yakin tanpa ada unsur kesengajaan atau setting tertentu) dalam arti orang -- termasuk yang tinggal di Lampung sendiri -- merasa tidak perlu mengenal Lampung atau kelampungan: bahasa, kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, kesenian, kebudayaan, dst. Maka, benarlah Lampung itu cuma nama provinsi saja, tetapi makna dan apa pun yang tersirat dari nama Lampung tak perlulah dibicarakan panjang lebar.
Kondisi ini ditambah pula dengan kaum elite Lampung sendiri sering menyalahartikan, bahkan menyalahgunakan nilai-nilai kelampungan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Adat itu cuma dijadikan alat politik saja! Akibatnya, kalau pemimpin daerah bicara kearifan lokal, tentang keluhuran budaya, tentang tingginya peradaban orang Lampung... weh, sapa muneh sai percaya?
Maka, semakin sesatlah pandangan orang terhadap ulun Lampung. Yang lahir adalah stereotip-stereotip betapa buruk kelakuan ulun Lampung. Bahwa orang Lampung itu pemalas, suka pesta, pemarah, pembegal, dan seterusnya.
Stereotipe itu adalah pictures in our head, kata Walter Lippman. Stereotip adalah persepsi yang dianut yang dilekatkan pada kelompok-kelompok atau orang-orang dengan gegabah yang mengabaikan keunikan-keunikan individual. Kerusuhan yang marak boleh jadi karena berkembangnya stereotip dari kelompok masing-masing.