Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rivai Apin dan Permufakatan Jahat pada Sejarah (Sastra) Indonesia

24 Mei 2016   11:02 Diperbarui: 20 Juni 2017   11:50 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pickupalliance.com

sehingga pada matahari aku tidak lagi malu

Kau pun juga semoga,

lahir kita memang dari rahim yang begini

dan yang bukan putera nyata. Ia telah kita bunuh.

Dalam puisi di atas, mungkin Rivai bicara tentang kondisi yang tak ia mengerti pada tahun 1965, “Pikirkanlah tipuan-tipuan cerdik||dan khayal cat cantik-cantik||tentang berkata benar apa sungguh kejujuran begitu pelit?” kondisi yang mengantarkannya ke Pulau Buru bersama kawan-kawannya hingga 1979. Mungkin, bagi Rivai, (Gestok) 1965 adalah peristiwa yang takkan membuatnya 'malu' pada matahari. Sebab, sebagaimana telah diterangkan di atas, konsistensi sikap kesusastraan Rivai sedari awal Revolusi hingga 1960-an, mengantarkannya pada pemahaman bahwa perjuangan Revolusi Indonesia adalah upaya '(men)denamkan kepalaku dalam-dalam di sumur dadamu'; sebuah upaya manunggal-diri. Ini mengingatkan saya pada pemahaman nasionalisme alaBen Anderson, 'masyarakat yang terbayang'.

Mengingat Rivai adalah cara kita memahami apa yang dikatakan Wijaya; kekerasan budaya adalah simpul persoalan peristiwa Gestok 1965; bahwa kerja-kerja budaya sebelum Gestok 1965 menjadi penjelasan mengapa kekerasan fisik begitu mengerikan dan membabibuta pada saat Gestok 1965 dan setelah Gestok 1965.

Mengingat Rivai juga berarti mengingat tentang berbagai hal yang (dipaksa) pada Orde Baru-Soeharto; perihal Tan, aksi massa, Revolusi Indonesia, dan banyak ingatan lagi tentang menjadi Indonesiayang dipendam dalam lumpur kedegilan yang bernama kekuasaan (Orde Baru-Soeharto); kemudian merubuh-bangunkan narasi dan ingatan sejarah (sastra) Indonesia adalah jalan terbaik untuk kembali membawa Indonesia pada ‘rel revolusi yang belum selesai’ itu, kembali menjadi Indonesia. Sebab, seperti kata sajak Rivai di atas; "semua dari satu kata dan untuk satu kata”. Jika saya tidak keliru, yang dimaksud “satu kata” itu ialah Revolusi Indonesia, dan oleh karena itu, seperti pesan Kundera, ketika berhadapan kekuasaan (catat: bukan mantan kekasih) mengingat lebih penting daripada melupakan… @cheprakoso

Jatikramat, Mei 2016

*Tyo Prakoso, penggiat literasi di komunitas @gerakanaksara Rawamangun, dan Mahasiswa Sejarah UNJ. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun