Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar
pula ke dalam dunia yang belum sudah.
Bagi saya, sajak Rivai penuh vitalitas: khas penyair awal Revolusi; ia turun 'ke jalan' untuk melihat situasi negara yang baru saja lahir itu. Ia menyaksikan orang yang hendak 'jualan' dan berangkat 'pergi kerja' menepi, karena banyak oto, serdadu dan tank yang 'tak bisa digolakkan'.
Rivai sebagai seorang penyair merekam situasi genting di negara yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Ia menyerupai wartawan yang menyatat setiap jengkal kejadian; tentang “Jogja sudah jatuh, Marguwo…” dan Karno, Hatta, dan Sjahrir, yang tertangkap, dan “semua beku padu: || manusia benda udara, tapi memperlihatkan harga”. Tapi Rivai bukan seorang wartawan: maksud saya, ia bukan sekedar wartawan yang menyatat peristiwa yang dilihatnya.
Sebab ia adalah seorang penyair yang mampu menyatat kejadian itu, untuk kemudian diolah dalam proses kreatifnya, dan dilontarkan pada sajaknya; pengalaman puitika itulah yang menjadi penting; pengalaman puitika dalam sajak Rivai telah menjadi dokumen-sosial dalam melihat fakta (mentalitet) sejarah. Artinya, apa yang dicatat, diolah, dan dilontarkan itu adalah sebuah manifestasi gejolak jiwa manusia yang berada di negara yang baru saja merdeka, dan kemerdekaan itu terancam dengan aksi polisionil Belanda. Karena kata Rivai: “keakuanku yang belum sudah: buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus aku sudahkan.”
Saya rasa, di titik inilah Teeuw—melalui penilaiannya—gagal memahami manifestasi gejolak jiwa Rivai yang dicatat pada sajaknya, dan dikemudian kita baca sebagai dokumen-sosial; atau memang Teeuw mencoba menutup mata akan gejolak jiwa Rivai. “Aku” bagi seorang penyair di negara yang baru merdeka, adalah serupa 'buku' dalam catatan sejarah; sebuah 'buku' sudah terbuka, tapi karena aksi polisionil Belanda tadi, maka 'buku' yang belum dibaca, harus segala “ditutup” kembali. Dus, Teeuw gagal juga memahami gejolak jiwa negara yang baru saja merdeka: sebab “buku” bukan sekedar 'aku', tetapi juga artinya 'negara', 'nasion', ini mengapa Teeuw—seperti yang telah dikatakan di atas—menyebut sajak Rivai 'merosot menjadi seruan'. Dengan demikian tak keliru bila saya mendakwa, bahwa apa yang dilakukan Teeuw terhadap Rivai menyerupai aksi polisionil Belanda terhadap Indonesia; mematikan semangat jiwa—Rivai, dus bangsa Indonesia—yang baru menjadi negara yang merdeka. Inilah yang disebut Wijaya sebagai kekerasan budaya.
Bagi saya, membaca sajak Dari Dunia Belum Sudah karya Rivai adalah memahami manusia Indonesia yang berusaha bergelut dengan peristiwa sejarah yang besar di hadapannya; Revolusi Indonesia. Ia berusaha aktif dalam pergelutan itu; kita pun dapat memahami bagaimana Revolusi Indonesia dihadapi, dijalankan dan dipikirkan orang Bangsa Indonesia. Dan ini bukan menjadi ciri khas Rivai seorang. Sebab, hal inilah yang kemudian melahirkan sebuah angkatan sastrawan yang menjadi tonggak kesusastraan Indonesia; “Angkatan 45”. Seharusnya, saran saya, Teeuw menggunakan jantung pemikiran Bourdieu, habitus dan field, dalam melihat dan membaca sosok dan sajak Rivai Apin.
Rivai Apin, pada 1948, menjadi anggota KNIP, dan redaktur Gema Suasana bersama Chairil Anwar. Ia dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat, 30 Agustus 1927. Bersama Chairil dan Asul Sani, Rivai menerbitkan Tiga Menguak Takdir(1950), sebuah kumpulan sajak bersama—ini yang tragis dalam sejarah sastra Indonesia; orang akan terus ingat Chairil Anwar sebagai ikon dalam dunia sastra Indonesia; juga Asrul Sani sebagai sang legenda dunia film Indonesia. Keduanya akan terus dikenang.
Yang menarik dari Rivai, apa yang dikerjakan pada periode awal Revolusi tetap berlanjut hingga tahun 1960-an. Ini yang mengantarkan Rivai ke Lekra; sebuah organisasi kebudayaan yang mengusung semangat kerakyatan pada periode Revolusi Indonesia 'yang belum selesai'.