sehingga pada matahari aku tidak lagi malu
Kau pun juga semoga,
lahir kita memang dari rahim yang begini
dan yang bukan putera nyata. Ia telah kita bunuh.
Dalam puisi di atas, mungkin Rivai bicara tentang kondisi yang tak ia mengerti pada tahun 1965, “Pikirkanlah tipuan-tipuan cerdik||dan khayal cat cantik-cantik||tentang berkata benar apa sungguh kejujuran begitu pelit?” kondisi yang mengantarkannya ke Pulau Buru bersama kawan-kawannya hingga 1979. Mungkin, bagi Rivai, (Gestok) 1965 adalah peristiwa yang takkan membuatnya 'malu' pada matahari. Sebab, sebagaimana telah diterangkan di atas, konsistensi sikap kesusastraan Rivai sedari awal Revolusi hingga 1960-an, mengantarkannya pada pemahaman bahwa perjuangan Revolusi Indonesia adalah upaya '(men)denamkan kepalaku dalam-dalam di sumur dadamu'; sebuah upaya manunggal-diri. Ini mengingatkan saya pada pemahaman nasionalisme alaBen Anderson, 'masyarakat yang terbayang'.
Mengingat Rivai adalah cara kita memahami apa yang dikatakan Wijaya; kekerasan budaya adalah simpul persoalan peristiwa Gestok 1965; bahwa kerja-kerja budaya sebelum Gestok 1965 menjadi penjelasan mengapa kekerasan fisik begitu mengerikan dan membabibuta pada saat Gestok 1965 dan setelah Gestok 1965.
Mengingat Rivai juga berarti mengingat tentang berbagai hal yang (dipaksa) pada Orde Baru-Soeharto; perihal Tan, aksi massa, Revolusi Indonesia, dan banyak ingatan lagi tentang menjadi Indonesiayang dipendam dalam lumpur kedegilan yang bernama kekuasaan (Orde Baru-Soeharto); kemudian merubuh-bangunkan narasi dan ingatan sejarah (sastra) Indonesia adalah jalan terbaik untuk kembali membawa Indonesia pada ‘rel revolusi yang belum selesai’ itu, kembali menjadi Indonesia. Sebab, seperti kata sajak Rivai di atas; "semua dari satu kata dan untuk satu kata”. Jika saya tidak keliru, yang dimaksud “satu kata” itu ialah Revolusi Indonesia, dan oleh karena itu, seperti pesan Kundera, ketika berhadapan kekuasaan (catat: bukan mantan kekasih) mengingat lebih penting daripada melupakan… @cheprakoso
Jatikramat, Mei 2016
*Tyo Prakoso, penggiat literasi di komunitas @gerakanaksara Rawamangun, dan Mahasiswa Sejarah UNJ. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H