Mohon tunggu...
Tyas Tsani
Tyas Tsani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Abstrak

Hanya melampiasakan keresahan dan ke galauan dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Aku Sayyidina Ali, Kemudian Kau Fatimah Az Zahrah (Part 1-3)

6 Oktober 2019   22:07 Diperbarui: 6 Oktober 2019   22:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Namanya Naziha (sumber: https://www.pinterest.com › rehab_rma)

Oleh: Tyas Tsani

     "Assalamualaikum ustadz" terdengar setelah ketukan pintu untuk kedua kali,

hari itu semua santri sedang bersiap-siap menuju kelas. Aku membuka pintu dan telah berdiri tegap rapi dengan dasi dan kopiyah yang menempel agak miring.

"waalaikumsalam, eh Umar. Ada apa?". Umar Aziz, santri sekaligus anggota kelasku yang aku amanahkan sebagai ketua kelas.

"untuk uang kas sudah terkumpul, kira-kira ada dua ratus ribu rupiah" jawabnya dengan logat melayunya yang kuping ini tidak asing mendengarnya, dan sambil memberikan dua lembaran uang bergambarkan Presiden pertama Indonesia. Ir Soekarno.

"nanti mau saya belikan apa ini dek umar?" aku mencoba mengikuti logatnya. "perpisahan harusnya mewah ustadz, dan kalo bisa antum tambah" sambil merendahkan intonasi dan tersenyum, aku akan merindukan kalian sebagai wali kelas. Gumamku menahan kaca-kaca airmata.

          Ini adalah bulan-bulan terakhirku mengabdi pada almamaterku. Pondok Pesantren Ar Raihan. Tempat aku merubah semua yang harus berubah. empat tahunku aku habiskan di tempat ini dan menutupnya dengan pengabdianku sebagai guru untuk mencetak masa depan diriku selanjutnya meskipun hanya satu tahun tapi sangat membekas sekali, dan sesekali bergumam "aku cinta tempat ini"

Melihat Umar yang telah pergi dari kediamanku terlintas ingatan dahulu ketika aku seperti Umar dengan apa adanya diriku. Ah sudahlah, nasi tidak akan menjadi beras kembali.

Aku hanya ingin menutup masa-masa indah ini berkumpul dengan mereka sambil bersenda gurau dengan rupiah yang mereka kumpulkan, aku paham dengan kata-kata Umar barusan. Aku akan menambahkannya untuk terakhir kali aku menginjak kaki.

Tuntutan untuk mencari ilmu semakin memuncak. Kuliah adalah suatu momok besar bagi generasi kepala dua, mencari ilmu sampai liang lahat memang kewajiban. Dan di sisi lain aku harus mengembangkan potensi diri dan bersosialisasi dengan keadaan di luar sana. Dan insya allah setelah pengabdianku aku akan menuju jenjang sebagai mahasiswa.

                                                                                ***

        Saat itu aku menunggu temanku untuk pergi ke dapur bersama untuk menyantap sarapan pagi, aku menunggunya dekat rumah kyai karena kamarku tidak jauh dari sana. Lagi-lagi muncul membunuh penglihatanku, jilbab biru kali ini, dengan pakaian syar'I mengihias perhiasan paling indah di dunia dengan warna abu-abu, dan kuyakin masih matching dengan biru. Dan handshock berpita lucu itu manambah rasa bergetarnya jantung yang sedang akrobat di dalam. Kacamata yang agak bulat itu melengkapi kesempurnaan mahluk allah tersebut. "Astaghfirullah, lagi-lagi syahwat ini" ucapku pelan namun kesal, aku menggelengkan kepala sambil mengedipkan mata agar tersadar dari halusinasi buruk ini.

        Ustadzah Nazhiha Ramdhan, akrab dengan panggilan Ustadzah Nazhiha. Beliau satu angkatan denganku Di Pon-Pes Ar Raihan, hanya saja aku masuk ketika lulus SMP, sedangkan ustadzah Nazhiha semenjak lulus SD. Kemudian aku mengikuti program taksifiy. Program khusus lulusan SMP menuju SMA, yaitu satu tahun khusus mempelajari pelajaran pondok atau menyusul dengan kebut, kemudian tahun berikutnya baru aku mengikuti sekolah regular seperti umumnya dan akhirnya aku seangkatan dengan Ustadzah Nazhiha, meskipun tidak pernah sekelas. Ya karena di pondok kami ketika di kelas tidak digabung dengan santriwati.

         Beliau cukup polpuler di kalangan para asaatidz sebagai bahan perbincangan lelaki kepala dua, dan tidak sedikit yang naksir dengan beliau. Wajar untuk orang seperti dia, aku pun begitu haha.  Beliau untuk saat ini di percaya sebagai asisten pribadi kyai, oleh karena itu beliau selalu mondar-mandir menuju rumah kyai pemimpin pon-pes Ar Raihan.

          Aku mengaggumi beliau sejak lama, di sisi lain dari parasnya yang membuat kaum adam terpana juga dari akhlak nya yang begitu sopan dengan logat bicaranya yang khas melayu, karena tidak lain dia masih saudara sepupu dengan Umar, ketua kelas kepercayaanku. Yang membuat aku semakin tertarik karena ia seorang Hafizhah al qur'an, entah berapa Juz yang sudah di hafal Karena aku belum berani menanyakan keperibadiannya lebih dalam dan pada intinya dia selalu memegang Al qur'an kecil ketika duduk di teras rumah kyai.

         Apa gunanya diriku ini hanya seorang ustadz biasa yang jauh dari kata sholeh. Masalalu ku adalah seorang anggota band pemegang Gitar  dan vocal, mantan pacarku saja sudah lebih dari lima, memang dulu aku seorang playboy kelas kakap, oleh karena itu aku masuk pondok dengan harapan bisa mengikis kesalahan masalalu ku dulu dan Alhamdulillah semua telah kulalui dan membuang perlahan yang buruk. Selamat datang aku yang baru.

         Orang-orang biasa memanggilku Farih wildan, di pengabdianku yang pertama dan terakhir ini aku memegang amanah untuk melatih ekskul musik. Karena sudah pengalaman ku sejak SMP untuk memegang gitar dan bernyanyi. Dan aku mendapat kepercayaan untuk menjadi wali kelas padahal aku masih baru. Dari sepuluh lulusanku yang mengabdi hanya dua yang di amanahi sebagai wali kelas, termasuk aku, dan juga Daffa. Anak dari kyai Pon-pes Ar Raihan.

                                                                                                ***

                Beberapa minggu lagi Pon-pes akan merayakan ulang tahun yang ke 15 tahun, kepanitiaan pun terbentuk. Aku membuka Whatsapp karena terdengar suara notifikasi, spontan aku mengeceknya dan sudah kuduga. Grup kepanitiaan. Sie. Acara sudah menjadi langganan karena aku memang di percaya menyusun penampilan dan sebagainya, aku pun menjadi penanggung jawab seksi acara, lalu sebagai penanggung jawab aku mengecek anggota-anggotaku di grup itu. Di pertengahan scroll jempol ku terhenti dan terlihat kontak dengan poto profil kosong dan dengan nama yang begitu membuat ku bahagia bisa satu Sie. Dengannya. Ustadzah Nazhiha.

                Keesokan harinya para panitia berkumpul untuk rapat dan menyusun agenda yang besar ini dengan pimpinan. Lagi-lagi Pandanganku teralihkan lagi pada jilbab abu-abu untuk kali ini dan baju syar'I putih dengan renda-renda sederhana yang masuk keruangan dengan menunduk lalu duduk tepat setelah tiga orang dari samping kananku.

                Rapat di mulai, dan kini per seksi berkumpul untuk merundingkan acara bisa berjalan lancar. Untuk Sie. Acara aku memimpin diskusi di dalamnya. Dan sayangnya ustadzah Nazhiha berada di sampingku dan aku sulit untuk mencuri pandang. Ah sudahlah, ada waktunya.

                 Selesai rapat aku menunggu teman satu kamarku yang masih di dalam karena ada urusan yang belum selesai. Dan jilbab abu-abu yang tak asing itu pun lewat melintas di sampingku. Diluar dugaan ia berbalik dan bertanya "ustadz Farih, antum wali kelas Umar ya?" menyapaku dengan nada khas nya dengan senyuman yang membuatku menelan jakun ini. "oh iya, kebetulan Umar saya jadikan ketua kelas karena kelihatan bisa memimpin anak-anak yang lain hehe" jawab ku seakan aku sudah sangat akrab.

"nanti aku nitip kalau ada apa-apa ya, kalo nakal dan ga berani menindak bilang saja ke aku" dengan nada harapannya mengharap dan di selingi senyum di akhir.

"saya minta nomor WA antum ustadz, biar ada apa-apa sama Umar biar saya hubungi antum, ok". Tegasnya karena menitip amanah dari orang tua Umar.

Haahh?? Apa aku ga salah dengar? Beliau meminta nomor WA saya?. Dengan hati berbunga aku berikan smartphoneku. Lalu mulai di ketikan nomornya dan kusimpan. Ia pun sebaliknya

                Ustadzah Nazhiha memang lain dari beberapa wantita sholehah yang aku kenal. Mesikpun seorang hafizah al qur'an beliau tidak sungkan ngobrol dengan teman laki-lakinya, termasuk aku. Pada saat itu kita sudah menimpan kontak satu sama lain di whatsapp masing-masing. Setiap ia membuat status tidak jauh dengan menulis kata-kata motivasi islami dan ceramah-ceramah dari para ustadz. Aku juga tidak pernah absen untuk menjadi viewer di status WA miliknya.

                Aku selalu berfikir bagaimana jika aku berubah tapi hanya untuk seseorang? Mungkin saja Ustadzah Nazhiha bisa menjadi motivatorku untuk menjadi lebih baik. Aku menghafal Al qur'an agar bisa memiliki beliau dengan halal, hhmmmm...salahkah? Entahlah. Aku sangat sadar akan kekuranganku ini  bisa memiliki beliau yang sesempurna itu. Perbebedaan ini yang yang membuatku tidak percaya diri aku masih sangat ingat ayat watthoyyibat litthoyibiin ,wat thoyyibuuna litthoyyibaat,.  Wanita- wanita baik untuk para laki-laki yang baik pula dan juga sebaliknya, mungkin itu inti makna dari sepenggal ayat dari surat An-nur : 26. Masa laluku saja sungguh kelam untuk di ingat. Aku tahu Allah mengerti apa yang aku inginkan.

                                                                                                ***

                Tanpa terasa sudah tiba perayaan milad. Acara sedang berjalan begitu sederhana. Aku memantau panggung serta penampilan sesuai rundown acara dan memerhatikan anggotaku yang sedang bertugas termasuk makhluk yang aku kagumi. Ustadzah Nazhiha.

                Penampilan Nasyid pun akan dimulai dan aku memberi aba-aba pada panitia akomodasi dan bagian peralatan untuk bersiap-siap memasang peralatan yang di butuhkan penampilan nasyid seperti michrophone. Lampu sorot mulai mati tanda penampilan selanjutnya harus masuk yaitu, nasyid. Enam orang pun naik kepanggung dengan percaya diri dan dengan sorban yg mencekik leher mereka dengan nyaman, mereka terdiri dari dua vokalis, dua orang beatbox, dan dua terakhir sebagai backsound musik yang lain seperti gitar atau piano dengan skill suara dari mulut ajaib mereka yang entah aku saja masih bingung mengapa mereka bisa melakukannya.

                Lampu menyala, sorak-sorak bergemuruh meruntuhkan panggung khayalan penonton. "tik...tik....tik.." salah satu dari mereka memberi aba-aba, mungkin satu, dua tiga dengan jentikan jari. Di mulailah dengan suara bass dari mulut salah satu personil dan di susul dengan drum dari beatbox. musik pun sudah rapih. Dan saya tau intro ini, Bruno Mars!. Lazy song. Ya mungkin mereka hanya memakai intro saja, karena nasyid identik dengan lagu islami. Aku menunggu kejutan apa yang akan disuguhkan ketika vocal sudah masuk. Tunggu sebentar. Sang vokalis dari tadi mengetuk mic-nya. Masalah. "astaghfirullah...." Sambil menggeleng kepala menahan kesal

rupanya Pemegang mixer sedang sibuk dengan smartphone nya. Aku berlari menghampirinya. "pak tolong itu mic ada yang ga hidup!" aku menegur dengan sesopan mungkin Karena aku tidak mengerti apa-apa dengan hal perkabelan. Si bapak penanggung jawab mixer langsung reflex membenarkan keadaan.

                Ternyata mic yang mati tadi sudah hampir habis batrenya. Dan diganti dengan mic cadangan. Aku tinggal mengoper pada Seksi acara yang lain untuk memberikan pada vokalis. Aku mencari yang terdekat, tiba-tiba langkah lari kecil bagai lari ketika syai menghampiri.

"Ustadz, sini mic nya" agak terengah-engah ia mengatakannya.

"ini!, nanti kasih ke yang sorban-nya akhi itu yang agak ga rapih ya"   pesan ku pada beliau yang aku kagumi dengan sedikit tegas. Karena sebagai ketua aku harus professional dalam memimpin.

Ia mengambilnya dan kini tidak berlari, ia berjalan cepat lalu memberikan-nya pada orang yang tadi mic-nya mati.

Akhirnya penampilan di ulang dan Alhamdulillah lancar dan penampilan mereka maksimal sekali dengan di tutup tepuk tangan dari para penonton puas.

Aku baru ingat jika itu adalah penampilan penutup. Alhamdulillah lancar meskipun beberapa kendala telah dilewati.

Acara selesai ini membuatku sadar bahwa semakin dekatnya aku dengan perpisahan dengan almamaterku.

***

                Pukul 07:25 pagi. Sebentar lagi kegiatan belajar mengajar segera di mulai. Aku sudah cukup gagah dengan pakaian kemejaku berwana hitam dengan garis putih di lengan yang ditempel dasi kantor berwarna silver bergaris. Rambut klimis ini sudah cukup untuk memanjakan mata para mujahid-mujahid yang haus ilmu. Dan aku menyiapkan kaca mata, karena penglihatan ku sudah dikurangi nikmatnya oleh allah, aku memakai kaca mata min 1. Aku jarang sekali memakai kaca mata, hanya ketika butuh disaat membaca tulisan anak-anak santri. Meskipun keseharianku sangat jarang memakainya. Aku masih sanggup untuk melihat.

                "assalamualaikum" aku masuk kelas dengan senyuman pagi hari.

                "waalaikumsalam ustadz" serentak anak-anak-ku menjawab dengan semangat pagi. Meskipun yang kuajar adalah santri baru aku sangat nyaman dengan mereka. Banyak pengalaman yang aku dapat dari sini. Kesabaran yang sangat luar biasa yang harus ku tembus.

                "Shobahul khoir!" kata-kata umum bagi pengajar di pagi hari yang harus diawali dengan semangat.

                "shobahun nuur!" semangat mereka luar biasa menjawabnya, hal yang biasa kutemukan di jam pagi. Entah jika sudah jam siang.

                buku bersampul hijau dan tertera kelas yang aku ajar sudah kubuka. Deretan nama-nama para mujahid kecil terjajar rapi dari A sampai Z.

                "Arya Ahmad"

                "Hadir ustadz"

                "Zainudin Halim"

                "izin pulang dia ustadz" jawab teman-nya untuk memberi informasi. "pulang kenapa?" tanyaku heran. Karena anak ini sangat Rajin dan cerdas. "izin cek up dari sakit asma tadz" inna lillahi. Sangat di sayangkan sih, tapi apa boleh buat. Aku hanya bisa mendoaakan agar ia cepat bisa kembai berjihad di jalan allah. Aamiin.

                Aku beranjak dari tempat duduk-ku. Dan berdiri di hadapan mereka. Untuk pembuka mungkin belum aku arahkan untuk membuka buku.

                "beberapa bulan lagi kalian akan naik kelas ke kelas 2 SMP, ga terasa ya, yang dulunya antum ada yang masih nangis mungkin pas di jenguk orang tua, ada juga yang dulunya ga betah sampai antum mau ngapai-ngapain males. Ga nyangka ya sekitar dua bulan setangah kalian naik ke kelas dua" aku potong nasehat pembuka ku dengan senyuman.

"semakin tinggi pohon, semakin kencang angin. Pilihan antum hanya jadi dua pohon. Pohon padi yang akan menunduk ketika sudah terisi padi atau pohon kelapa yang tetap tegak meskipun sudah berbuah. Antum sedang menanam ilmu harus tetap tawadhu, jika ilmu itu sudah banyak petiklah agar manfaat bagi orang-orang, jika kalian memilih menjadi padi, ketika sudah berisi akan menunduk dan hasilnya yang akan menjadi beras bermanfaat."  Aku berhenti sejenak.

"beda jika kalian memilih ingin menjadi pohon kelapa. Memang bermanfaat tapi butuh perjuanagn bagi yang ingin memetiknya. Mereka ingin memetik harus berusaha memanjat dengan resiko akan terjatuh dari ketinggian." Mereka yang mendengarkan terdiam dan beberap ada yang sedikit mengangguk, mungkin setuju akan kata-kataku.

                "yasudah kita lanjutkan materi kemarin sampai mana?" aku sengaja memotong meskipun dari mereka ada yang terlihat kecewa, jika di lanjut mungkin amanah yang aku pegang ini tidak akan terlaksana.

                Aku mengajar pelajaran Khat, atau kalighrafi di beberapa kelas. Aku memang senang dengan seni menulis tulisan arab, tapi aku tidak terlalu mendalaminya, ini hanya berawal dari hobby, dan Alhamdulillah ilmu ini bisa di amalkan.

***

                Anak-anak dari perwalian kelasku sudah berkumpul rapi. Aku membawa dua keresek besar yang berisi pengganjal perut mereka. Ini sudah menandakan sebentar lagi pengabdianku akan selesai. Terlihat umar yang diam dengan polosnya.

                "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" ku buka dengan salam dan serontak mereka menjawab "walaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh".

                "gimana nih calon-calon orang suksesnya wali kelas ustadz Farih?" sambil memotivasi dengan gaya bahasa sederhana.

                "sebentar lagi ujian akhir, udah pada siap belum?" aku bertanya dengan selayaknya usia mereka.

                "sudah ustadz!" mereka serentak menjawab. Maa sya allah semangat sekali mereka.

                "pesen ustadz yang pertama, jangan lupakan orang tua kalian yang sedang mencari nafkah untuk biaya kalian masuk ke pondok pesantren ini. Kalian lelah, orang tua kalian mungkin lebih lelah. Mengeluh wajar dek, tapi jangan sampai berlebihan, curhatkan keluhan kalian pad allah. Yang kedua sayangi diri kalian sendiri, jaga kesehatan kalian, ceri ilmu lah tanpa bosan untuk kebaikan kalian harus di korbankan..." mungkin itu beberapa patah kata terakhirku di pondok ini untuk anak-anak ku.

***

                Hari ini adalah hari jum'at. Dimana adalah hari libur bagi santri-santri dan para ustadz yang mengajar disini. Pagi hari di hari jum'at aku isi dengan bermain futsal dengan teman-teman ku sekamar.

                Selepas berfutsal aku membuka smartphone merek Samsung keluaran tahun kemarin. "assalamualaikum ust" notifikasi yang selama ini aku harapkan masuk ke alat komunikasiku. Ternyata sudah sepuluh menit lalu. Pesan Whatsapp itu tak lama aku balas "walaikumsalam ustz, ada apa?" aku sedikit ragu apakah akan dijawab berapa lama. Tetapi di luar dugaan, dalam waktu beberapa detik tanda centang sudah berubah biru dan muncul tulisan, mengetik.

                "ust, ini ada titipan buat umar dari orang tuanya di aceh. Sudah saya cari anaknya ga ketemu, nanti saya titipkan ke antum ya, aku tunggu nanti di dekat rumah kiyai".

   

 

 

               

                   

      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun