Abstrak
Perkembangan jejaring media sosial sangat luar biasa, dengan akses yang sangat mudah dan lingkup pertemanan yang tanpa batas sehingga semua kalangan tanpa memandang status sosial begitu antusias dalam menggunakan media sosial khususya dari kalangan remaja. Jejaring sosial juga dijadikan sebagai tempat mengeluarkan luapan emosi, tidak jarang juga untuk mengungkapkan kemarahan dalam bentuk cacian maupun hinaan yang sering disebut dengan cyberbullying. Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui dampak cyberbullying pada remaja di media sosial. Metode yang digunakan adalah literatur review menggunakan artikel dan jurnal yang didapat dari database elektronil Google Scholar. Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa cyberbullying pada remaja di media sosial memiliki dampak yang begitu besar yang mempengaruhi segala aspek kehidupan mulai dari aspek psikologis, fisik, dan juga sosial. Dampak cyberbullying yang dirasakan bukan hanya pada korban saja, melainkan pelaku, pelaku dan korban juga akan berdampak, sehingga peningkatan literasi digital dan kesadaran remaja sangat diperlukan.
Kata kunci: Cyberbullying; Remaja; Media; Sosial
Abstract
The development of social media networks is extraordinary, withvery easy access and unlimited friendships so that all groups regardless of social status ranging from old, young, and even children are so enthusiastic in using social media especially teenagers. Social networks are also used as a place for emotional outbursts, and it is not uncommon to express anger in the form of insults or insults which are often referred to as cyberbullying. The purpose of writing is to determine the impact of cyberbullyingon adolescents on social media. The methodused is literaturereview using articles and journals from 2016 to 2020 obtained from the Google Scholar electronic database. The resultsof various studies show that cyberbullyingon adolescents on social media has a huge impact that affects all aspects of life from psychological, physical, and social aspects. The impact of cyberbullyingthat is felt is not only the victim, but the perpetrator, perpetrator and victim will also have an impact.
Keywords: Cyberbullying; Adolescence; Social Media
PENDAHULUAN
Media sosial adalah cara untuk berinteraksi dengan orang lain melalui teknologi berbasis website yang mengubah komunikasi menjadi diskusi interaktif yang mudah diakses. Dengan bantuan teknologi multimedia yang semakin canggih, dapat digunakan untuk menciptakan, berbagi, dan berpartisipasi dalam konten. Cara pandang, gaya hidup, dan budaya manusia dipengaruhi oleh media sosial, yang memungkinkan penyebaran informasi yang cepat dan mudah. Selain itu, media sosial menawarkan kesempatan kepada manusia untuk berdialog satu sama lain dan meningkatkan kemampuan mental dan kognitif mereka untuk berinteraksi dengan dunia nyata. Namun, tidak diragukan lagi bahwa pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak ke perilaku prososial atau antisosial (Pandie & Weismann, 2016). Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi tersebut, remaja cenderung menghabiskan waktu lebih banyak di dunia maya.
Masa remaja awal didefinisikan sebagai periode peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Masa remaja biasanya disebut sebagai masa ketika seseorang individu belajar mengenali diri mereka sendiri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri sendiri dalam upaya untuk diterima di lingkungannya. Sebagian remaja mampu melewati masa peralihan ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami kenakalan remaja mulai dari kenakalan ringan hingga kriminal, termasuk di dalamnya kenakalan-kenakalan berbentuk cyberbullying (Malihah, 2018)
Di Indonesia, jumlah remaja yang menjadi korban cyberbullying dilaporkan sebesar 80% dan hampir setiap harinya remaja mengalami cyberbullying (Safara, 2016). Menurut laporan United Nations Children’s Fun (UNICEF) pada tahun 2016, korban cyberbullying di Indonesia mencapai 41-50% (Harususilo, 2018).
Selain itu, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), siswa di sekolah rentan menjadi korban pelecehan online. KPAI melaporkan 3.096 kasus cyberbullying terjadi per tanggal 3 September 2018 pukul 18.00 WIB; dari jumlah tersebut, 83 remaja laki-laki dan 51 remaja perempuan terungkap sebagai korban cyberbullying di media sosial (KPAI, 2018; Subagja & Pradana, 2018).
Pornografi, kecanduan internet, kekerasan dan gore (kekejaman dan kesadisan), penipuan, carding, dan cyberbullying adalah beberapa efek negatif internet (Ritonga & Andhika, 2012). Cyberbullying sama seperti fenomena gunung es, dimana sedikit kasus yang terlihat di publik tetapi kemungkinan banyak kasus yang terjadi di luar sana. Korban cyberbullying biasanya memiliki masalah sebelumnya dengan pelaku, seperti jika pelaku memiliki perasaan iri, dendam, atau kebencian kepada korban, atau mungkin pelaku hanya melakukan cyberbullying untuk bercandaan (Rahayu, 2012).
Cyberbullying adalah masalah besar yang dapat berdampak pada remaja dengan beragam. Menurut Prityatna (2010) remaja yang terkena cyberbullying dilaporkan mengalami perasaan marah, sakit, malu, dan takut. Dari emosi-emosi tersebut korban dapat bereaksi seperti membalas dendam pada pelakunya, menjauh dari pergaulan dan aktivitas yang biasa mereka lakukan sebelumnya, atau "berubah" menjadi sama-sama suka melakukan cyberbullying.
Menurut Navarro, Yubero, dan Larranaga (2016), akibat cyberbullying meliputi: 1) Fisik: remaja mengalami sakit kepala, sakit perut, gangguan tidur, kelelahan, sakit punggung, kehilangan nafsu makan, dan masalah pencernaan. 2) Psikologis dan Emosional: remaja mengalami perasaan takut, perasaan teror, kecemasan, kesedihan, stres, dan gejala depresi. 3) Akademik: korban menjadi kurang termotivasi untuk pergi ke sekolah dan menurunnya konsentrasi belajar serta nilai akademik mereka. 4) Psikososial: remaja memiliki perasaan isolasi dan kesendirian, pengucilan dan bahkan penolakan sosial. Dampak negatif dari perilaku cyberbullying dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan (psikologis, fisik, dan sosial), yang akan terus mempengaruhi perkembangan seseorang. Karena itu, sangat penting bagi perawat untuk menghindari dan menangani tindakan bullying. Hal ini terkait dengan peran dan fungsi perawat dalam upaya pelayanan kesehatan utama (Primary Health Care), yang berfokus pada upaya promotif dan preventif terkait pengetahuan dan cara mengendalikan perilaku bullying serta mencegah efeknya pada kesehatan (Stuart, 2016).
METODOLOGI
Metode yang diguanakan dalam penulisan ini merupakan studi literatur review. Literature review dipilih untuk meninjau secara menyeluruh berbagai literatur dan penelitian sebelumnya terkait topik cyberbullying di kalangan remaja di era digital. Data studi dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk jurnal ilmiah, laporan penelitian, buku teks, dan sumber online lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan dengan topik penelitian, kemudian melakukan analisis mendalam terhadap konten literatur tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Fenomena Cyberbullying Di Kalangan Remaja
Tidak diragukan lagi, dunia saat ini sedang mengalami transformasi sosial dan budaya yang digerakkan oleh teknologi informasi (internet). Penggunaan internet akan membawa banyak keuntungan jika pengguna bijak menggunakannya, tetapi juga sebaliknya. Menurut Prabawa, A.F. (2018), perkembangan IPTEK merupakan salah satu ciri era disruptif, yang digambarkan sebagai dua sisi mata uang. Setiap sisi akan menampilkan baik peluang maupun tantangan, tergantung pada bagaimana masyarakat menanganinya. Peluang yang dapat kita lihat adalah remaja saat ini berubah menjadi orang yang multitasking, tertarik pada teknologi baru, berpikir kritis, percaya diri, dan memiliki jejaring pertemanan yang luas.
Internet memiliki banyak manfaat, tetapi jika disalahgunakan akan memiliki efek negatif, salah satunya adalah cyberbullying. Penelitian Utami (2014) menunjukkan bahwa cyberbullying adalah salah satu penyebab terjadinya penyalahgunaan internet dari media sosial di kalangan remaja. Interaksi di media sosial memungkinkan Anda berinteraksi dengan orang yang dikenal maupun tidak dikenal tanpa harus bertemu secara langsung.
Sejak sepuluh tahun terakhir, para ahli telah memperhatikan cyberbullying. Cyberbullying dimediasi melalui telepon, iPad, chat online, email, situs web, jaringan sosial media personal (seperti Facebook, Twitter, MySpace), telepon, video clips, instant messenger (IM), dan berbagai cara lainnya (Khoerunnisa et al., 2021). Para ahli belum mencapai kesepakatan dasar tentang definisi cyberbullying karena masalah konseptual yang terus berkembang. Cyberbullying didefinisikan secara berbeda oleh para ahli karena kemajuan teknologi informasi. Ini karena ada banyak perbedaan dalam menunjukkan teknologi siber yang digunakan oleh pelaku dan cara mereka melukai dan menyakiti korbannya.
Cyberbullying memiliki ciri yang membedakannya dari bullying. Beberapa ahli berpendapat bahwa perbedaan ini dapat memungkinkan pengaruh yang lebih buruk terhadap korban daripada bullying. Ciri pertama menunjukkan bahwa pelaku cyberbullying dapat terhubung dengan korban kapan saja melalui media online atau virtual, membuatnya sulit untuk menghindari perundungan. Dengan demikian, korban akan terus menerima pesan teks, email, atau email dari mana pun mereka berada. Ini berbeda dengan bullying biasa yang terjadi di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah, di mana korban dapat menghindarinya (Kurniati, 2021). Jumlah pihak yang mungkin terlibat atau mengetahui tindakan perundungan adalah perbedaan yang kedua. Cyberbullying dapat mencapai audiens yang jauh lebih besar daripada bullying biasa yang biasanya diketahui oleh kelompok yang terbatas. Misalnya, ketika seseorang mengunggah gambar atau video clip untuk mempermalukan korban, video tersebut dapat dilihat oleh banyak orang, yang dapat meningkatkan tekanan emosional dan sosial pada korban (Khoerunnisa et al., 2021).
Cyberbullying tidak terjadi secara langsung antara pelaku dan korban, jadi ada perbedaan ketiga. Pelaku perundungan tidak dapat dilihat. Dengan kata lain, cyberbullying memungkinkan pelaku untuk tetap anonim. Berdasarkan karakteristik tersebut, pelaku perundungan sangat mungkin tidak menyadari atau bahkan tidak menyadari akibat yang ditimbulkan dari tindakannya terhadap korban. Akibatnya, sangat kecil kemungkinannya untuk berempati atau menyesali apa yang dia lakukan. Sebaliknya, cyberbullying membuat pihak lain lebih sulit untuk bertindak karena terjadi di internet. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan perhatian dan perawatan yang tepat terhadap cyberbullying, terutama yang terjadi pada remaja. Anonimitas dalam cyberbullying membuat korban merasa sulit, tetapi pelaku dapat bertindak dengan lebih mudah dalam situasi yang lain (Kurniati, 2021).
Faktor Penyebab Maraknya Cyberbullying
Anonimitas di internet memungkinkan orang yang melakukan pelecehan online untuk menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya. Mereka dapat membuat akun media sosial palsu atau anonim untuk menyerang korban. Berbeda dengan bullying di dunia nyata, di mana pelaku dan korban saling kenal, cyberbullying membuat pelaku anonim dan jauh dari korban. Perilaku cyberbullying meningkat karena anonimitas menurunkan rasa tanggung jawab pelaku dan empati mereka. Mereka merasa bebas melakukan cyberbullying karena mereka percaya identitas mereka aman.
Literasi digital berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan bertindak bijak terhadap informasi melalui internet dan teknologi. Namun, banyak remaja di Indonesia yang masih kurang memahami literasi digital karena kurangnya pengetahuan dari rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat mereka. Akibatnya, remaja tidak dapat menggunakan internet dengan bijak, kritis, dan bertanggung jawab. Menurut survei UNICEF, remaja yang melakukan cyberbullying rentan menjadi baik target maupun pelaku cyberbullying karena mereka tidak memahami dampak negatif dari konten dan perilaku online mereka. Remaja yang melakukan cyberbullying sering menganggap perbuatannya normal. Selain itu, kekurangan literasi digital dikaitkan dengan fakta bahwa remaja tidak memiliki empati dan kesadaran diri saat berpartisipasi dalam aktivitas online. Mereka tidak memahami sepenuhnya bagaimana tindakan dan percakapan mereka di internet dapat berdampak pada orang lain. Selain itu, kurangnya literasi digital juga berkontribusi pada pembentukan lingkungan maya yang tidak sehat yang mendukung perilaku cyberbullying (Fazry & Apsari, 2021). Sehingga, penting bagi orang tua dan remaja untuk meningkatkan pengetahuan literasi digital mereka guna untuk mencegah terjadinya cyberbullying. Program pendidikan dapat membantu untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang bagaimana cara yang bijak, sehat, dan bertanggung jawab dalam menggunakan internet dan media sosial.
Undang-Undang dan peraturan di Indonesia tentang pengawasan konten media sosial masih lemah dan tidak melindungi pengguna, terutama remaja. Menurut beberapa penelitian, banyak konten bullying, ujaran kebencian, dan hoaks beredar di media sosial. Namun, upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menghapus konten negatif tersebut belum maksimal. Selain itu, proses pelaporan konten bullying di media sosial seringkali lamban dan tidak ada kolaborasi yang jelas untuk menghentikan konten seperti itu. Memperkuat regulasi dan pengawasan konten serta bekerja sama dengan penyedia layanan media sosial sangat penting untuk mencegah peningkatan kasus cyberbullying di kalangan remaja karena kurangnya tindakan yang diambil oleh pelaku (Kurniati, 2021). Untuk melindungi remaja dari bahaya internet, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil harus terus melakukan upaya untuk memperkuat regulasi dan pengawasan konten serta melakukan kerja sama dengan penyedia layanan media sosial untuk mencegah peningkatann kasus cyberbullying di kalangan remaja.
Dampak Cyberbullying Terhadap Korban
Korban cyberbullying mungkin mengalami efek jangka pendek seperti rasa malu, terintimidasi, dan takut. Mereka sering merasa malu dan takut dengan konten negatif atau kekerasan verbal yang ditunjukkan pada mereka di internet, yang membuat mereka merasa terintimidasi dan tidak berdaya. Adapun dampak cyberbullying terhadap korban yaitu, 1) Gangguan emosi; Korban dapat mengalami gangguan emosi seperti cemas berlebihan, sering marah, atau mudah tersinggung. Beberapa orang juga mengalami gejala depresi, seperti kehilangan minat pada hal-hal yang mereka sukai, merasa sedih sepanjang waktu, dan menarik diri dari sosial. 2) Penurunan harga diri: Korban cyberbullying sering merasa tidak berharga dan meragukan kemampuan mereka. Mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan diri. 3) Kesulitan berkonsentrasi: korban cyberbullying memiliki pikiran yang penuh dengan masalah, yang membuat mereka kesulitan berkonsentrasi di sekolah. Ini berdampak pada hasil belajar. 4) Menghindari media sosial dan interaksi sosial: Korban lebih cenderung menghindari cyberbullying dengan menghindari berinteraksi dengan orang lain dan menggunakan media sosial. Keengganan ini memicu isolasi sosial (Rusyidi, 2020).
Selain itu, cyberbullying dapat menyebabkan akibat jangka panjang, yaitu, 1) Gangguan psikosomatis: Jika cyberbullying berlangsung secara terus menerus dan berlangsung lama dapat menyebabkan tekanan psikologis, korban juga berisiko mengalami gangguan psikosomatis seperti sakit kepala atau migrain, masalah pola tidur, hilangnya nafsu makan, dan masalah sistem pencernaan. Jika tidak ditangani. 2) Prestasi akademik memburuk; Korban cyberbullying dapat kehilangan motivasi, konsentrasu, dan harga diri karena terganggu. Ini dapat berdampak pada pendidikan korban. 3) Trauma psikologis: Korban cyberbullying yang parah dan berkepanjangan dapat berisiko mengalami gangguan stress pascatrauma, gangguan kecemasan, atau PTSD (post-traumatic stress disorder). 4) Kecenderungan bunuh diri: Remaja yang menjadi korban cyberbullying berisiko melakukan bunuh diri jika tidak mendapatkan perawatan yang tepat. Kecenderungan ini dapat disebabkan oleh perasaan tidak berharga, depresi, atau putus asa. 5) Asosial dan menarik diri; Korban cyberbullying biasanya menjadi penyendiri. Sulit untuk mempercayai orang lain, yang menyebabkan dia akhirnya meninggalkan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Perilaku menghindar ini membuat pemulihan korban semakin sulit (Kurniati, 2021).
Upaya Pencegahan dan Penanganan Cyberbullying
Orang tua dan guru memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah dan menangani cyberbullying pada remaja. Salah satu contohnya adalah mereka harus meluangkan waktu untuk menemani dan mengawasi aktivitas online anak mereka dan memberikan pengertian kepada mereka mengenai bahaya cyberbullying. Diskusikan cara menjadi positif saat menggunakan internet. Guru harus meningkatkan pengawasan terhadap interaksi dan perilaku siswa di media sosial. Di sekolah, bahaya cyberbullying harus disimulasikan sejak dini. Orang tua dan guru harus segera bertindak dengan empati dan menenangkan jika mereka mengetahui terdapat potensi korban cyberbullying. Jika mereka menemukan indikasi cyberbullying pada seorang siswa, orang tua dan guru harus segera mengambil tindakan tegas. Selain itu, mereka harus memberi korban dukungan dan bantuan yang mereka butuhkan (Fasya & Na'imah, 2021). Edukasi dan konseling untuk membantu mereka menyadari kesalahannya. Jika diperlukan, konsultasikan dengan konselor profesional untuk membantu korban dan membimbing pelaku cyberbullying.
Upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani cyberbullying: Pemerintah perlu menetapkan undang-undang dan kebijakan yang secara khusus melindungi pengguna internet, terutama anak-anak, dari konten dan perilaku cyberbullying. Konten di media sosial harus diawasi dengan ketat, dengan kementerian terkait dan pemilik platform. Menurut Ikhtiara (2020), konten yang berpotensi berbahaya atau negatif harus segera ditangani. Mereka yang melakukan pelecehan online harus dikenakan hukuman, seperti blokir akun media sosial dan hukuman pidana yang sesuai dengan tingkat kejahatan mereka. Efek jera bergantung pada ini. Pemerintah dan penyelenggara media sosial harus bekerja sama untuk mengawasi dan menghapus konten yang mengarah pada cyberbullying. Sangat penting bagi pemerintah dan kelompok masyarakat sipil untuk melakukan kampanye dan edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari perilaku cyberbullying.
Upaya untuk mencegah dan menangani cyberbullying ditinjau dari sudut pandang peningkatan literasi digital dan kesadaran remaja: Remaja harus dididik tentang literasi digital sejak kecil agar mereka tahu bagaimana menggunakan teknologi dan internet dengan cara yang bijak, sehat, moral, dan bertanggung jawab. Sekolah harus mendidik remaja tentang dampak negatif dari cyberbullying dan netiquette (etika berinternet). sedari dini, orang tua dan guru harus menjadi contoh yang baik dan mengajarkan anak-anak nilai-nilai seperti menghargai perbedaan, toleransi, empati, dan anti-kekerasan. Remaja harus dididik tentang cara menangani cyberbullying, baik sebagai pelaku, korban, atau saksi, termasuk mencatat bukti, memblokir pelaku, dan melaporkan ke pihak berwenang Untuk melewati trauma yang dialaminya, Remaja korban cyberbullying membutuhkan dukungan psikososial yang kuat dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial (Riswanto & Marsinun, 2020).
KESIMPULAN
Cyberbullying adalah jenis bullying atau perundungan yang dilakukan melalui media digital dan memiliki karakteristik yang pelakunya anonim, jangkauan korban yang luas, dan kurangnya empati pelaku. Beberapa penyebab utama cyberbullying remaja termasuk kurangnya literasi digital, kurangnya regulasi konten media sosial, anonimitas pelaku di internet, dan masalah psikologis dan sosial. Korban cyberbullying mengalami efek jangka pendek, seperti rasa takut, cemas, depresi, penurunan harga diri, dan kesulitan berkonsentrasi di sekolah. selain itu juga dapat mengalami efek jangka panjang, seperti gangguan psikosomatis, prestasi buruk, trauma psikologis, kecenderungan bunuh diri, dan asosial. Untuk mencegah dan menangani cyberbullying, peran orangtua dan guru, undang-undang pemerintah, dan peningkatan literasi digital dan kesadaran remaja sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Fazry, L., & Apsari, N. C. (2021). Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Cyberbullying Di Kalangan Remaja. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(2), 272. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.34679
Harususilo, Y., E. (2018). COMIC 2018 melawan perundungan siber. KOMPAS.com. Diakses pada tanggal 26 Desember 2024 dari https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/08/10570981/comic-2018-melawan-perundungan-siber.
Ikhtiara, S. (2020). Pencegahan “Privacy Violation” di Media Sosial Pada Kalangan Remaja. Kalijaga Journal of Communication, 1(2), 155–164. https://doi.org/10.14421/kjc.12.05.2019
Khoerunnisa, L., Anwar, R. K., & Siti Khadijah, U. L. (2021). Literasi Internet Solusi Atasi Budaya Cyberbullying di Kalangan Remaja. Ilmu Informasi Perpustakaan Dan Kearsipan, 9(2), 24. https://doi.org/10.24036/113165-0934
Kurniati, C. H. (2021). Aspek Hukum Cyberbullying di Kalangan Remaja dalam Perspektif Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Malihah, Z., & Alfiasari. (2018). Perilaku Cyberbullying pada Remaja Dan Kaitannya dengan Kontrol Diri dan Komunikasi Orang Tua. Jurnal Ilmiah Keluarga dan Konseling Vol.11, No.2
Navarro, Raul., Yubero, Santiago., & Larranaga, Elisa (eds). 2016. Bandung: Remaja Rosda Karya
Pandie, M. M., & Weismann, I. (2016). Pengaruh Cyberbullying di Media Sosial terhadap Perilaku Reaktif sebagai Pelaku Maupun sebagai Korban Cyberbullying pada Siswa Kristen SMP Nasional Makassar. Jurnal Jaffray Vol. 14, No. 1
Prabawa, A. F. (2018). Peran lingkungan membentuk generasi rahmatan lil alamin. Malang: LPI Sabilillah Malang.
Priyatna, Andri. 2010. Let’s End Bullying. Jakarta: Elex Komputin.
Rahayu, F. S. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan teknologi informasi. Journal of Information Systems, 8(1):22-31.
Rahmi, S., Oruh, S., & Agustang, A. (2024). Cyberbullying Di Kalangan Remaja Pada Perkembangan Teknologi Abad 21. GOVERNANCE: Jurnal Ilmiah Kajian Politik Lokal dan Pembangunan, 10(3).
Riswanto, D., & Marsinun, R. (2020). Perilaku Cyberbullying Remaja di Media Sosial.Analitika, 12(2), 98–111. https://doi.org/10.31289/analitika.v12i2.3704
Ritonga, S. & Andhika, W. (2012). Pengaruh media komunikasi internet terhadap pola perilaku anak di bawah 17 tahun. Jurnal Ilmu Sosial, 5(2):94–100
Stuart, W,.Gail. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi Indonesia Pertama. Singapura: Elseive
Subagja, I., & Pradana, A. (2018). KPAI: Pelajar rentan menjadi pelaku dan korban cyberbully. Kumparan NEWS. Diakses pada tanggal 26 Desember 2024 dari https://kumparan.com/@kumparannews/kai-pelajar-rentan-menjadi-pelakudan%20korban-cyberbully27431110790551241
Sukmawati, A., & Kumala, A. P. B. (2020). Dampak cyberbullying pada remaja di media sosial. Alauddin Scientific Journal of Nursing, 1(1), 55-65.
Utami, Y.C. 2014. Cyberbullying di kalangan remaja. Journal Universitas Airlangga, 3(3):1-10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H