Tidak diragukan lagi, dunia saat ini sedang mengalami transformasi sosial dan budaya yang digerakkan oleh teknologi informasi (internet). Penggunaan internet akan membawa banyak keuntungan jika pengguna bijak menggunakannya, tetapi juga sebaliknya. Menurut Prabawa, A.F. (2018), perkembangan IPTEK merupakan salah satu ciri era disruptif, yang digambarkan sebagai dua sisi mata uang. Setiap sisi akan menampilkan baik peluang maupun tantangan, tergantung pada bagaimana masyarakat menanganinya. Peluang yang dapat kita lihat adalah remaja saat ini berubah menjadi orang yang multitasking, tertarik pada teknologi baru, berpikir kritis, percaya diri, dan memiliki jejaring pertemanan yang luas.
    Internet memiliki banyak manfaat, tetapi jika disalahgunakan akan memiliki efek negatif, salah satunya adalah cyberbullying. Penelitian Utami (2014) menunjukkan bahwa cyberbullying adalah salah satu penyebab terjadinya penyalahgunaan internet dari media sosial di kalangan remaja. Interaksi di media sosial memungkinkan Anda berinteraksi dengan orang yang dikenal maupun tidak dikenal tanpa harus bertemu secara langsung.
Sejak sepuluh tahun terakhir, para ahli telah memperhatikan cyberbullying. Cyberbullying dimediasi melalui telepon, iPad, chat online, email, situs web, jaringan sosial media personal (seperti Facebook, Twitter, MySpace), telepon, video clips, instant messenger (IM), dan berbagai cara lainnya (Khoerunnisa et al., 2021). Para ahli belum mencapai kesepakatan dasar tentang definisi cyberbullying karena masalah konseptual yang terus berkembang. Cyberbullying didefinisikan secara berbeda oleh para ahli karena kemajuan teknologi informasi. Ini karena ada banyak perbedaan dalam menunjukkan teknologi siber yang digunakan oleh pelaku dan cara mereka melukai dan menyakiti korbannya.
Cyberbullying memiliki ciri yang membedakannya dari bullying. Beberapa ahli berpendapat bahwa perbedaan ini dapat memungkinkan pengaruh yang lebih buruk terhadap korban daripada bullying. Ciri pertama menunjukkan bahwa pelaku cyberbullying dapat terhubung dengan korban kapan saja melalui media online atau virtual, membuatnya sulit untuk menghindari perundungan. Dengan demikian, korban akan terus menerima pesan teks, email, atau email dari mana pun mereka berada. Ini berbeda dengan bullying biasa yang terjadi di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah, di mana korban dapat menghindarinya (Kurniati, 2021). Jumlah pihak yang mungkin terlibat atau mengetahui tindakan perundungan adalah perbedaan yang kedua. Cyberbullying dapat mencapai audiens yang jauh lebih besar daripada bullying biasa yang biasanya diketahui oleh kelompok yang terbatas. Misalnya, ketika seseorang mengunggah gambar atau video clip untuk mempermalukan korban, video tersebut dapat dilihat oleh banyak orang, yang dapat meningkatkan tekanan emosional dan sosial pada korban (Khoerunnisa et al., 2021).
Cyberbullying tidak terjadi secara langsung antara pelaku dan korban, jadi ada perbedaan ketiga. Pelaku perundungan tidak dapat dilihat. Dengan kata lain, cyberbullying memungkinkan pelaku untuk tetap anonim. Berdasarkan karakteristik tersebut, pelaku perundungan sangat mungkin tidak menyadari atau bahkan tidak menyadari akibat yang ditimbulkan dari tindakannya terhadap korban. Akibatnya, sangat kecil kemungkinannya untuk berempati atau menyesali apa yang dia lakukan. Sebaliknya, cyberbullying membuat pihak lain lebih sulit untuk bertindak karena terjadi di internet. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan perhatian dan perawatan yang tepat terhadap cyberbullying, terutama yang terjadi pada remaja. Anonimitas dalam cyberbullying membuat korban merasa sulit, tetapi pelaku dapat bertindak dengan lebih mudah dalam situasi yang lain (Kurniati, 2021).
Faktor Penyebab Maraknya Cyberbullying
Anonimitas di internet memungkinkan orang yang melakukan pelecehan online untuk menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya. Mereka dapat membuat akun media sosial palsu atau anonim untuk menyerang korban. Berbeda dengan bullying di dunia nyata, di mana pelaku dan korban saling kenal, cyberbullying membuat pelaku anonim dan jauh dari korban. Perilaku cyberbullying meningkat karena anonimitas menurunkan rasa tanggung jawab pelaku dan empati mereka. Mereka merasa bebas melakukan cyberbullying karena mereka percaya identitas mereka aman.Â
Literasi digital berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan bertindak bijak terhadap informasi melalui internet dan teknologi. Namun, banyak remaja di Indonesia yang masih kurang memahami literasi digital karena kurangnya pengetahuan dari rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat mereka. Akibatnya, remaja tidak dapat menggunakan internet dengan bijak, kritis, dan bertanggung jawab. Menurut survei UNICEF, remaja yang melakukan cyberbullying rentan menjadi baik target maupun pelaku cyberbullying karena mereka tidak memahami dampak negatif dari konten dan perilaku online mereka. Remaja yang melakukan cyberbullying sering menganggap perbuatannya normal. Selain itu, kekurangan literasi digital dikaitkan dengan fakta bahwa remaja tidak memiliki empati dan kesadaran diri saat berpartisipasi dalam aktivitas online. Mereka tidak memahami sepenuhnya bagaimana tindakan dan percakapan mereka di internet dapat berdampak pada orang lain. Selain itu, kurangnya literasi digital juga berkontribusi pada pembentukan lingkungan maya yang tidak sehat yang mendukung perilaku cyberbullying (Fazry & Apsari, 2021). Sehingga, penting bagi orang tua dan remaja untuk meningkatkan pengetahuan literasi digital mereka guna untuk mencegah terjadinya cyberbullying. Program pendidikan dapat membantu untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang bagaimana cara yang bijak, sehat, dan bertanggung jawab dalam menggunakan internet dan media sosial.
Undang-Undang dan peraturan di Indonesia tentang pengawasan konten media sosial masih lemah dan tidak melindungi pengguna, terutama remaja. Menurut beberapa penelitian, banyak konten bullying, ujaran kebencian, dan hoaks beredar di media sosial. Namun, upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menghapus konten negatif tersebut belum maksimal. Selain itu, proses pelaporan konten bullying di media sosial seringkali lamban dan tidak ada kolaborasi yang jelas untuk menghentikan konten seperti itu. Memperkuat regulasi dan pengawasan konten serta bekerja sama dengan penyedia layanan media sosial sangat penting untuk mencegah peningkatan kasus cyberbullying di kalangan remaja karena kurangnya tindakan yang diambil oleh pelaku (Kurniati, 2021). Untuk melindungi remaja dari bahaya internet, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil harus terus melakukan upaya untuk memperkuat regulasi dan pengawasan konten serta melakukan kerja sama dengan penyedia layanan media sosial untuk mencegah peningkatann kasus cyberbullying di kalangan remaja.
Dampak Cyberbullying Terhadap Korban
    Korban cyberbullying mungkin mengalami efek jangka pendek seperti rasa malu, terintimidasi, dan takut. Mereka sering merasa malu dan takut dengan konten negatif atau kekerasan verbal yang ditunjukkan pada mereka di internet, yang membuat mereka merasa terintimidasi dan tidak berdaya. Adapun dampak cyberbullying terhadap korban yaitu, 1) Gangguan emosi; Korban dapat mengalami gangguan emosi seperti cemas berlebihan, sering marah, atau mudah tersinggung. Beberapa orang juga mengalami gejala depresi, seperti kehilangan minat pada hal-hal yang mereka sukai, merasa sedih sepanjang waktu, dan menarik diri dari sosial. 2) Penurunan harga diri: Korban cyberbullying sering merasa tidak berharga dan meragukan kemampuan mereka. Mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan diri. 3) Kesulitan berkonsentrasi: korban cyberbullying memiliki pikiran yang penuh dengan masalah, yang membuat mereka kesulitan berkonsentrasi di sekolah. Ini berdampak pada hasil belajar. 4) Menghindari media sosial dan interaksi sosial: Korban lebih cenderung menghindari cyberbullying dengan menghindari berinteraksi dengan orang lain dan menggunakan media sosial. Keengganan ini memicu isolasi sosial (Rusyidi, 2020).