Kepalamu menggeleng. Itu terlalu umum.
Setiap hari aku memerhatikanmu dari sini. Kau sangat cantik. Bisakah kita berkenalan?
Tidak juga. Bibirmu terlalu gemetar untuk mengucapkan kata-kata yang terlalu panjang. Kau perlu sebuah ucapan singkat, namun mampu menjelaskan semua hasratmu padanya. Namun sebelum otakmu selesai bekerja, sebuah angkutan umum mendadak berhenti, dan gadis pujaanmu turun dengan senyum khasnya yang berseri.
“Err, rr, hai…” ucapmu gemetar.
Dia terlalu kaget untuk menjawab. Senyumnya hilang timbul. Wajahnya bingung. Sedangkan tangannya diam-diam mengeratkan genggaman pada tas mungilnya yang bewarna ungu.
“Untukmu.” Kau menyerahkan mawar, dan coklat yang dinginnya telah berpindah ke buku-buku jarimu.
Dia menggeleng. Mungkin masih menimbang kau adalah orang baik tulen, atau orang baik yang bermodus untuk mencopet.
“Aku hanya ingin kita berteman. Boleh kutahu siapa namamu?”
Gadis pujaanmu masih kukuh untuk tak menjawab. Kakinya hendak berancang untuk pergi. Namun rintik air mendadak turun menghujani bumi.
Kau dan dia menepi di bawah pohon kecapi—pohon yang selama ini menjadi markasmu untuk bersembunyi. Tak pernah kau bayangkan sebelumnya bahwa kau akan berada di jarak sedekat ini dengannya. Namun gadis pujaanmu itu tak kunjung bicara. Matanya justru sibuk mengetik sebuah pesan di gawai berlayar datar.
“Untukmu.” Kau serahkan lagi setangkai mawar dan coklat yang hampir meleleh.