Sebulan kulewati dalam rumah. Aku kecewa. Sebegitu kecewanya hingga kusalahkan semua orang. Bahkan kusalahkan hujan yang tak datang, hingga hari perpisahan itu berjalan lancar. Bahkan kusalahkan metromini yang datang tepat waktu, hingga aku tak bisa tertahan dulu.
Lalu sampailah saat nyanyian sunyi mulai merongrong hati. Suara sepi mulai memenuhi diri. Dan gaung-gaung senyap menggerogoti napas. Aku lelah. Mungkin sudah saatnya aku menyerah pada alur kehidupan. Jangan salahkan aku. Salahkanlah dia. Dan sejuta keraguannya. Dan… sepi, bunuh saja aku. Aku menyerah padamu.
Pintu itu terbuka.
Akhirnya aku bisa menghirup udara. Selama beberapa detik belakangan, aku hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Pintu ini bukan hanya menawarkan udara untukku, ia menawarkan kehidupan baru. Aku berdamai padamu. Ya, padamu sepi.
Aku tahu kehidupan selalu baik adanya. Hanya terkadang aku yang tak selalu menerima baik semuanya. Terima kasih, cahaya. Terima kasih, sepi. Terima kasih, kamu. Kini aku tahu, bahwa cara keluar dari sebuah permasalahan hanya satu: berdamai dengan dirimu.
Di sela-sela weekend yang sempit, 18 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H