Sepi. Senyap. Sunyi.
Telingaku berdenging kencang. Bukan karena suara bising dari luar, tetapi karena suara bising dalam diriku sendiri. Sepi ini menusuk-nusuk gendang telingaku. Senyap ini merobek-robek pikiranku. Mungkin sebentar lagi sunyi ini akan menghujam jantungku. Lalu merenggutnya lepas dari tempatnya berteduh.
Gelap. Gelap. Hitam.
Cahaya mendadak hilang. Aku tak bisa melihat. Seseorang, tolong nyalakan lampu. Tapi tak ada yang menghiraukanku. Aku harus lari. Sepi itu akan menghampiriku lagi jika aku masih di sini. Ia akan membunuhku sebentar lagi.
Tolong. Seseorang, tolong aku.
Aku terdampar di atas pasir putih. Seharusnya tempat ini berdekatan dengan laut, tapi nyatanya tidak. Aku tak menemukan lautan kemanapun mata ini memandang. Sepi itu mulai mengejarku lagi. Aku bisa merasakan gaung suaranya yang menusuk gendang telinga. Ia akan datang.
Lelap. Aku tertidur lelap.
Kantuk yang luar biasa dahsyat menyerangku. Kelopak mataku mendadak terbuat dari batu yang berlapis baja—sulit sekali untuk dibuka. Tapi aku tak boleh terlelap. Aku harus tetap tegap untuk berlari. Lari dari kesepian ini.
Pisau. Darah. Merah.
Bau anyir menyeruak dimana-mana. Kulihat air merah mulai menggenani telapak kakiku. Inikah darahku? Betulkah sepi akhirnya menang? Betulkah sunyi akhirnya merenggut jiwaku dan menghujamnya dengan lusinan pisau dapur?
Gelap. Gelap. Hitam.
Sekali lagi aku jatuh dalam kegelapan. Mengapa seseorang suka sekali mematikan lampu? Padahal aku sangat membenci itu. Cahaya, cahaya datanglah. Tolonglah aku. Bantu aku untuk menyalakan lampu. Cahaya, cahaya, datanglah. Tolonglah aku. Bantu aku berdamai dengan sepi, senyap dan sunyi.
Cahaya. Putih. Terang.
Putih, seputih malaikat. Terang, seterang bintang-bintang. Silau, semenyilaukan berlian. Kuhampiri cahaya itu. Kusambut uluran tangannya yang sehalus debu.
Keluar. Selesai.
Cahaya mengantarkanku ke sebuah pintu. Tapi itu bukan pintu biasa. Pintu itu tak mempunyai pegangan untuk dibuka. Cahaya berkata, pintu itu akan terbuka dengan sendirinya saat seseorang sudah siap untuk keluar. Maka kuturuti perkataannya. Kupersiapkan jiwa ini dengan segala keraguannya.
Awal Mula.
Dia pergi. Pertanyaanku selama seminggu ini akhirnya terjawab sudah. Lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri. Kuamati sekali lagi namanya diponsel layar datar—sekedar untuk mengucap selamat tinggal—tetapi semakin kuamati, semakin sepi ini menggerogoti hati.
Katanya dia menyadari sesuatu, bahwa aku bukanlah kekasih yang selama ini ia damba. Bahwa aku tak lagi mengisi ruang kosong di jiwa. Jangan mulai salahkan aku, sepi. Karena dialah yang memulai semua ini.
Tiga hari lalu, ia bertemu Nirina. Sahabat sekaligus pacar pertama. Seperti kebanyakan wanita, aku selalu tidak suka dengan kata-kata ‘pacar pertama’, karena siapapun yang menyandang status pertama, selalu sulit hilang dalam sejarah.
Dan benar saja, Nirina kembali lagi dengan sejuta tanyanya. Tanya yang dulu tak pernah ia dapatkan jawabannya. Tanya yang membuatmu mengakhiri cerita ini. Tanya yang menyerahkanku pada sepi. Tanya tentang: apakah kamu benar-benar tak mencintaiku lagi?
Aku tak menyangka pertanyaan itu akan membuatmu goyah. Kau bayar tiga tahun kita yang berharga dengan sepatah kata tak cinta.Aku tak percaya.
Sebulan kulewati dalam rumah. Aku kecewa. Sebegitu kecewanya hingga kusalahkan semua orang. Bahkan kusalahkan hujan yang tak datang, hingga hari perpisahan itu berjalan lancar. Bahkan kusalahkan metromini yang datang tepat waktu, hingga aku tak bisa tertahan dulu.
Lalu sampailah saat nyanyian sunyi mulai merongrong hati. Suara sepi mulai memenuhi diri. Dan gaung-gaung senyap menggerogoti napas. Aku lelah. Mungkin sudah saatnya aku menyerah pada alur kehidupan. Jangan salahkan aku. Salahkanlah dia. Dan sejuta keraguannya. Dan… sepi, bunuh saja aku. Aku menyerah padamu.
Pintu itu terbuka.
Akhirnya aku bisa menghirup udara. Selama beberapa detik belakangan, aku hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Pintu ini bukan hanya menawarkan udara untukku, ia menawarkan kehidupan baru. Aku berdamai padamu. Ya, padamu sepi.
Aku tahu kehidupan selalu baik adanya. Hanya terkadang aku yang tak selalu menerima baik semuanya. Terima kasih, cahaya. Terima kasih, sepi. Terima kasih, kamu. Kini aku tahu, bahwa cara keluar dari sebuah permasalahan hanya satu: berdamai dengan dirimu.
Di sela-sela weekend yang sempit, 18 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H