Sekali lagi aku jatuh dalam kegelapan. Mengapa seseorang suka sekali mematikan lampu? Padahal aku sangat membenci itu. Cahaya, cahaya datanglah. Tolonglah aku. Bantu aku untuk menyalakan lampu. Cahaya, cahaya, datanglah. Tolonglah aku. Bantu aku berdamai dengan sepi, senyap dan sunyi.
Cahaya. Putih. Terang.
Putih, seputih malaikat. Terang, seterang bintang-bintang. Silau, semenyilaukan berlian. Kuhampiri cahaya itu. Kusambut uluran tangannya yang sehalus debu.
Keluar. Selesai.
Cahaya mengantarkanku ke sebuah pintu. Tapi itu bukan pintu biasa. Pintu itu tak mempunyai pegangan untuk dibuka. Cahaya berkata, pintu itu akan terbuka dengan sendirinya saat seseorang sudah siap untuk keluar. Maka kuturuti perkataannya. Kupersiapkan jiwa ini dengan segala keraguannya.
Awal Mula.
Dia pergi. Pertanyaanku selama seminggu ini akhirnya terjawab sudah. Lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri. Kuamati sekali lagi namanya diponsel layar datar—sekedar untuk mengucap selamat tinggal—tetapi semakin kuamati, semakin sepi ini menggerogoti hati.
Katanya dia menyadari sesuatu, bahwa aku bukanlah kekasih yang selama ini ia damba. Bahwa aku tak lagi mengisi ruang kosong di jiwa. Jangan mulai salahkan aku, sepi. Karena dialah yang memulai semua ini.
Tiga hari lalu, ia bertemu Nirina. Sahabat sekaligus pacar pertama. Seperti kebanyakan wanita, aku selalu tidak suka dengan kata-kata ‘pacar pertama’, karena siapapun yang menyandang status pertama, selalu sulit hilang dalam sejarah.
Dan benar saja, Nirina kembali lagi dengan sejuta tanyanya. Tanya yang dulu tak pernah ia dapatkan jawabannya. Tanya yang membuatmu mengakhiri cerita ini. Tanya yang menyerahkanku pada sepi. Tanya tentang: apakah kamu benar-benar tak mencintaiku lagi?
Aku tak menyangka pertanyaan itu akan membuatmu goyah. Kau bayar tiga tahun kita yang berharga dengan sepatah kata tak cinta.Aku tak percaya.