Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Bulan Mati di Hati Rheinara

14 November 2015   10:40 Diperbarui: 14 November 2015   11:22 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

S Aji, No. 02.

Aku terjaga dengan kepala yang terasa berat.

Ada aroma minyak golongan atsiri yang begitu hangat menyengat. Serasa ada sisa pening, entahlah. Apakah kepalaku terbentur sebuah sudut. Belum terlalu jelas. Oh ya, apa yang sebelumnya terjadi?

Mata minusku membuka pelan-pelan, menyusuri ruang apartemenku. Aku sedang tidak sendiri dengan lengking lembut saksofon Kenny G. Ingatanku mundur ke ke beberapa saat sebelum gelap membawaku ke dalam pingsan.

Aku rupanya terbaring pada kursi sofa dengan kepalaku beralaskan bantal merah muda. Kursi yang menjadi saksi dimana aku sering tertidur di paha Gie dan menyembunyikan wajahku di balik kaos oblongnya yang Extra Size. Aku suka seperti itu, merasa nyaman. Aku serasa terlindungi.

Kini, dalam setengah sadarku, di sampingku, Ran berjongkok dengan wajah cemas yang jujur. Jemarinya dengan ruas jemari kukuh itu gemetar, ada botol kecil minyak kayu putih bermerek Cap Lang.

Aku memang benar pingsan, gelap tadi bukan khayalan. Dan...mana Nugie, mana dia? batinku.

Pandanganku berpindah pada sebuah sosok kekar yang lain. Ia berdiri di samping sofa. Diam, tenang, dan seperti menyaksikan sesuatu yang biasa saja. “Gie?” tanyaku meluncur tercekat. Aku merasa kikuk. Berada dalam suasana yang serba salah, berhadapan dengan kedua lelaki yang membuatku mati lidah.

Ada Ran yang membuatku kembali menikmati bulan mati dan suasana kota dari balkon apartemenku. Ran, dia yang membuatku keluar dari kekosongan melewati bulan mati bersama ratap kebutuhan akan Gie. Ran, yang membuatku tersenyum setelah demikan lama. Ran, yang memintaku memberi sedikit saja ruang hatiku. Ran, yang berani menghapus jejak bibir Gie di bibirku!

Dan, Gie, lelaki yang menghilang berbulan hari dan membiarkanku tenggelam dalam bulan mati seorang diri. Gie yang membiarkan kekosongan merayapi sekujur ruang hatiku, membuat apartemen ini dingin seperti museum dari kisah-kisah tentang bulan mati dan harap yang dirapalkan. Gie, yang membiarkan aku terpuruk dan merelakan lengan kekar Ran menggelayut di pinggangku.

Kemana perginya mulutmu yang cerewet itu Gie?

Tuhan, lalu apa yang harus aku lakukan berhadapan dengan dua lelaki yang kini sama mengisi hatiku? Apartemen ini tiba-tiba seperti kamar mayat!

Sialan kau Gie, andai kau tak menghilang? Andai kau tak membiarkanku melewati bulan mati dengan rasa sesak karena rindu sungguh membutuhkanmu? Andai kau tidak membiarkan kekosongan ini diisi oleh sesosok lain?

Andai saja..andai..andai.. aku tidak mau disalahkan Gie! Bahkan oleh Nina, toh ia tahu kamu sialan Gie! Mengapa kau tidak pernah berfikir kerinduan yang terbiasa kosong bisa membunuh jejak kenanganmu di dalam rasaku? Jangan menuduhku tidak berusaha Gie!

Dan kau sendiri, apa yang kau lakukan selama ini? Kemana kau selama aku tersungkur dalam rasa butuh yang selalu datang? Rasa butuh akan dirimu yang membuatku bahkan tidak lagi bisa membedakan aku baik-baik saja atau sesungguhnya sedang sakit dalam penantian?

Kau seperti orang asing. Atau kau memang telah menjadi orang asing? Apakah kehidupan di luar apartemen, balkon dan bulan mati itu telah membuatmu berubah? Kemana saja kau selama ini Gie?

Terus untuk apa kau datang ke sini, ke apartemen kita..bukan, bukan, bukan lagi apartemen kita. Ini apartemenku, untuk apa kau datang?

Ingin sekali aku menerjangmu. Ingin sekali aku memukul dadamu yang selalu menjadi sandaran kepalaku ketika menatap bulan mati berdua di balkon itu. Ingin sekali aku menumpahkan semua kepedihan yang kini membuat hatiku kembali berdarah.

Tapi aku terlalu lemah.

Dalam amuk rasa hatiku yang tertahan, rasa pening itu kembali menyengat. Aku menutup mataku, ada bulir air yang mengalir pelan dari tiap tepinya. Aku menangis. Aku sakit, aku kerontang Gie!

“Rheinara..?,” suara Ran bertanya cemas. Cemas yang seperti tadi, jujur. Seperti merasakan amuk rasa di dalam hatiku. Seperti mengerti pesan dari bulir air mata yang kini telah ditemani isak tersedak. Seperti merasa bersalah, sesudah meminta ruang di hatiku, ia datang membawa sosok yang menjadi alasan mengapa ruang itu tidak pernah aku berikan pada kerinduan yang lain.

Aakh, mengapa bukan kamu yang duluan bertanya Gie? Mengapa harus Ran?

“Rheinara..”

Akhirnya kau bersuara juga Gie.

Rasa pening itu menyeruak lagi. Tiba-tiba saja gelap. Aku kembali tak sadar.

***

Aku terjaga kedua kali dengan aroma minyak atsiri yang masih menyengat.

Ran masih seperti tadi, duduk di sampingku. Dengan cemas yang sama. Dan Gie, lelaki sialan itu, dimana dia?

“Dimana Gie?”

“Ia di balkon Rheinara. Aku panggil ya?”

Aku melambai tangan, tanda tak usah. “Bawa aku kesana Ran.” pintuku lemah.

“Berbaringlah, kau masih lemah. Kami akan menjagamu Rheinara.”

“Menjagaku? Kau sedang waras mengatakan itu Ran ?”

Wajah Ran tertekuk, menatap lantai. Lelaki dengan lengan kekar itu tak berani menatap mataku yang kini bersisa sembab. Air mataku kering sudah.

“Kau datang meminta sedikit ruang di hatiku. Kau membuat aku menyadari kembali keindahan kota dari atas balkon sesudah berbulan hidup dalam kesaksian bulan mati yang meratap kesepian. Lalu kau datang bersama Gie, membuatku pingsan karena puncak emosi yang tertahan, dan kau bilang kalian mau menjagaku ?”

Luar biasa, kalian berdua sialan! Lelaki sialan! kata-kata ini hanya tertahan di rongga kerongkonganku.

“Hahaha.” tawaku pecah, sinis.

“Bawa aku ke balkon, Ran.”

“Tapi...kau masih lemah..tidakkah lebih baik kau berbar...”

“Bawa kau sekarang. Kau telah membawa Gie kepadaku, sekarang bawa aku ke balkon itu!” suara ketusku keluar sudah. Ya, aku lelah, aku telah belajar berbuat kebaikan untuk hatiku Gie. Kini semua gagal. Hatiku berdarah lagi, aku sudah tidak peduli!

Ran memegang pinggangku, mengantar langkah kakiku menuju Gie yang menatap kosong ke arah gemerlap kota. Seperti tidak ada kejadian apa pun. Seperti dia tidak pernah menghilang dari balkon itu.

“Untuk apa kau kembali?”, tanya itu meluncur lekas-lekas dengan keras. Ingin sekali aku berteriak tapi tubuhku masih terlalu lemas. Pelukan Ran makin erat di pinggangku.  Gie diam saja, mematung dengan tatap yang kosong.

“Ran, tolong ambilkan kursi dan jangan pergi.”

Ran bergegas dan kembali membawa kursi. Ia meletakkanya di samping Gie yang berdiri, lalu berdiri di sampingku. Dua lelaki ini kini berdiri mengapitku dalam jarak yang sama.

Aku harus bicara dan menunjukkan arah kemana semua ini harus berakhir.

“Kenapa kau kembali?,” tanyaku lagi. Kali ini lebih tenang. Lebih pelan.

“Gie?”

“Aku tidak kembali.” jawab Gie tanpa menoleh sedikit pun.

Jawab dingin yang membuatku makin terluka, membuat hatiku makin berdarah.

“Ran, untuk apa kau membawa Gie ke sini?,”

“Hmmm...aku tidak suka melihat kau menangis. Aku merindukanmu tersenyum. Tapi aku tahu, aku tidak pernah bisa membuatmu tersenyum. Aku bukan yang bisa membuatmu merapal harapan pada bulan mati di balkon ini, Rheinara.”

“Jadi sudah dua bulan ini, aku mencari dimana Nugie. Aku mengajaknya kembali karena hanya dia yang bisa membuatmu tersenyum. Walau itu harus dengan merelakan hatiku nelangsa.”

“Jadi, kau menyiapkan rencana membawa Gie ke sini sesudah meminta aku sudi memberi sedikit ruang di hatiku. Kau masih waras Ran?,” balasku kembali ketus.

Ran terdiam. Seperti Gie, ia menatap kota di bawah sana dengan mematung.

Kami terdiam. Angin malam yang berhembus lebih dingin dari biasa.

“Gie, aku telah belajar merayu hatiku agar tak lagi berdarah. Aku telah berjuang merawatnya dengan kebaikan. Aku telah mencoba menjaganya untuk tetap melewati bulan mati sendiri tanpa kehilangan harapan. Aku telah berusaha belajar meruwat kekosonganku.”

“Omong kosong! Kau telah merelakan Ran mencium bibirmu.” tiba-tiba Gie memotong dengan ketus.

“Ran tidak pernah mencium bibirku, ia mencium kekosongan, ia mencium kesepian. Ia mencium bulan mati yang telah tanpa rapal harapan.”

“Untuk apa kau ke sini Gie jika bukan untuk kembali?,” tanyaku lagi.

“Ran datang padaku dan menceritakan semua. Aku datang untuk menyampaikan perpisahan. Aku memghilang untuk melihat sejauhmana kau sungguh telah memberi kebaikan pada hatimu. Mungkinkah kebaikan itu terus kau pelihara tanpa harus ada aku yang penuh omelan? Ternyata tidak. Kau telah memberi ruang di hatimu untuk Ran. Kau tahu kan, dalam kesulitan yang sendiri seperti apa pun, aku tidak menyukai pengkhianatan!”

Kami bertiga kembali terdiam.

Aku menarik nafas panjang. Semua ini harus ku selesaikan.

“Kau Ran, pergilah. Kau telah salah memaknai kekosonganku. Aku pun salah menghadapi kesunyianku karena Gie yang menghilang. Kita tidak bisa memulai berbagi hati dari perjumpaan yang salah seperti ini. Kau seperti seseorang yang berusaha memanfaatkan kekosongan hati dan aku tidak lebih dari seseorang yang melarikan diri dari ketidakmampuan menghadapi bulan mati seorang diri.”

Ran terdiam. Ia masih berdiri mematung, menatap kosong.

“Pergilah Ran.”

“Dan kau Gie. Kau pikir dengan menghilang itu bisa melatih kesetiaanku?”

Gie tiba-tiba saja berbalik menatapku. Ia tentu kaget, aku telah menjadi lebih cerewet dari yang pernah ia miliki di hari-hari kita yang pernah indah. Ia lebih kaget karena aku kini lebih tenang.

Aku tidak membalas tatapnya. Aku tetap menatap lurus, melihat gemerlap kota.

“Kau tidak perlu datang untuk mengucapkan perpisahan. Aku tidak perlu mendengar itu hanya untuk tahu aku telah berkhianat.”

“Aku melewati bulan mati tanpa menjadi manja. Aku juga melewatinya tanpa banyak menitip harap. harap apa yang harus aku rapalkan pada orang yang menghilang tanpa berita sementara sebelumnya kebersamaan kita baik-baik saja?”

“Kau melupakan satu hal Gie. Bulan mati adalah sebuah permulaan baru. Sebuah ajakan untuk menyambut hari yang baru. Manusia tidak hidup untuk meratapi masa lalu, meratapi kehilangan yang sudah terjadi. Bulan mati itu telah tumbuh di hatiku, Gie.”

“Seharusnya kau tidak datang kembali. Kau tidak tahu jika datang kesini bukan untuk mengabarkan perpisahan. Kau datang untuk mendengar seperti apa perpisahan itu sesungguhnya.” kataku tenang.

Aku merasa lepas. Hatiku merasa ringan. Aku merasa telah menjadi bulan mati itu sendiri.

Seharusnya aku sadar sejak lama, hatiku memiliki jalan sendiri untuk menemukan kebaikan-kebaikannya.Bahkan itu dengan cara lebih sering berdarah-darah.Aku tidak butuh kuliah kebaikan terlalu sering.

Bruuuuk!

Tubuh Gie kini tumbang di lantai balkon. Ia seperti tak siap melihat aku yang berbicara tenang hampir tanpa rasa terluka. Ia berfikir aku akan merengek memohon maaf dan memintanya tetap setia berbagi harapan di bawah bulan mati. Dia telah salah.

Gie, lelaki yang merasa bertahta di hatiku itu, pingsan.

***

Fiksi Bersambung edisi sebelumnya:
#1 : Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun