“Gie, aku telah belajar merayu hatiku agar tak lagi berdarah. Aku telah berjuang merawatnya dengan kebaikan. Aku telah mencoba menjaganya untuk tetap melewati bulan mati sendiri tanpa kehilangan harapan. Aku telah berusaha belajar meruwat kekosonganku.”
“Omong kosong! Kau telah merelakan Ran mencium bibirmu.” tiba-tiba Gie memotong dengan ketus.
“Ran tidak pernah mencium bibirku, ia mencium kekosongan, ia mencium kesepian. Ia mencium bulan mati yang telah tanpa rapal harapan.”
“Untuk apa kau ke sini Gie jika bukan untuk kembali?,” tanyaku lagi.
“Ran datang padaku dan menceritakan semua. Aku datang untuk menyampaikan perpisahan. Aku memghilang untuk melihat sejauhmana kau sungguh telah memberi kebaikan pada hatimu. Mungkinkah kebaikan itu terus kau pelihara tanpa harus ada aku yang penuh omelan? Ternyata tidak. Kau telah memberi ruang di hatimu untuk Ran. Kau tahu kan, dalam kesulitan yang sendiri seperti apa pun, aku tidak menyukai pengkhianatan!”
Kami bertiga kembali terdiam.
Aku menarik nafas panjang. Semua ini harus ku selesaikan.
“Kau Ran, pergilah. Kau telah salah memaknai kekosonganku. Aku pun salah menghadapi kesunyianku karena Gie yang menghilang. Kita tidak bisa memulai berbagi hati dari perjumpaan yang salah seperti ini. Kau seperti seseorang yang berusaha memanfaatkan kekosongan hati dan aku tidak lebih dari seseorang yang melarikan diri dari ketidakmampuan menghadapi bulan mati seorang diri.”
Ran terdiam. Ia masih berdiri mematung, menatap kosong.
“Pergilah Ran.”
“Dan kau Gie. Kau pikir dengan menghilang itu bisa melatih kesetiaanku?”