Wajah Ran tertekuk, menatap lantai. Lelaki dengan lengan kekar itu tak berani menatap mataku yang kini bersisa sembab. Air mataku kering sudah.
“Kau datang meminta sedikit ruang di hatiku. Kau membuat aku menyadari kembali keindahan kota dari atas balkon sesudah berbulan hidup dalam kesaksian bulan mati yang meratap kesepian. Lalu kau datang bersama Gie, membuatku pingsan karena puncak emosi yang tertahan, dan kau bilang kalian mau menjagaku ?”
Luar biasa, kalian berdua sialan! Lelaki sialan! kata-kata ini hanya tertahan di rongga kerongkonganku.
“Hahaha.” tawaku pecah, sinis.
“Bawa aku ke balkon, Ran.”
“Tapi...kau masih lemah..tidakkah lebih baik kau berbar...”
“Bawa kau sekarang. Kau telah membawa Gie kepadaku, sekarang bawa aku ke balkon itu!” suara ketusku keluar sudah. Ya, aku lelah, aku telah belajar berbuat kebaikan untuk hatiku Gie. Kini semua gagal. Hatiku berdarah lagi, aku sudah tidak peduli!
Ran memegang pinggangku, mengantar langkah kakiku menuju Gie yang menatap kosong ke arah gemerlap kota. Seperti tidak ada kejadian apa pun. Seperti dia tidak pernah menghilang dari balkon itu.
“Untuk apa kau kembali?”, tanya itu meluncur lekas-lekas dengan keras. Ingin sekali aku berteriak tapi tubuhku masih terlalu lemas. Pelukan Ran makin erat di pinggangku. Gie diam saja, mematung dengan tatap yang kosong.
“Ran, tolong ambilkan kursi dan jangan pergi.”
Ran bergegas dan kembali membawa kursi. Ia meletakkanya di samping Gie yang berdiri, lalu berdiri di sampingku. Dua lelaki ini kini berdiri mengapitku dalam jarak yang sama.