Gie tiba-tiba saja berbalik menatapku. Ia tentu kaget, aku telah menjadi lebih cerewet dari yang pernah ia miliki di hari-hari kita yang pernah indah. Ia lebih kaget karena aku kini lebih tenang.
Aku tidak membalas tatapnya. Aku tetap menatap lurus, melihat gemerlap kota.
“Kau tidak perlu datang untuk mengucapkan perpisahan. Aku tidak perlu mendengar itu hanya untuk tahu aku telah berkhianat.”
“Aku melewati bulan mati tanpa menjadi manja. Aku juga melewatinya tanpa banyak menitip harap. harap apa yang harus aku rapalkan pada orang yang menghilang tanpa berita sementara sebelumnya kebersamaan kita baik-baik saja?”
“Kau melupakan satu hal Gie. Bulan mati adalah sebuah permulaan baru. Sebuah ajakan untuk menyambut hari yang baru. Manusia tidak hidup untuk meratapi masa lalu, meratapi kehilangan yang sudah terjadi. Bulan mati itu telah tumbuh di hatiku, Gie.”
“Seharusnya kau tidak datang kembali. Kau tidak tahu jika datang kesini bukan untuk mengabarkan perpisahan. Kau datang untuk mendengar seperti apa perpisahan itu sesungguhnya.” kataku tenang.
Aku merasa lepas. Hatiku merasa ringan. Aku merasa telah menjadi bulan mati itu sendiri.
Seharusnya aku sadar sejak lama, hatiku memiliki jalan sendiri untuk menemukan kebaikan-kebaikannya.Bahkan itu dengan cara lebih sering berdarah-darah.Aku tidak butuh kuliah kebaikan terlalu sering.
Bruuuuk!
Tubuh Gie kini tumbang di lantai balkon. Ia seperti tak siap melihat aku yang berbicara tenang hampir tanpa rasa terluka. Ia berfikir aku akan merengek memohon maaf dan memintanya tetap setia berbagi harapan di bawah bulan mati. Dia telah salah.
Gie, lelaki yang merasa bertahta di hatiku itu, pingsan.