Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Bulan Mati di Hati Rheinara

14 November 2015   10:40 Diperbarui: 14 November 2015   11:22 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan, lalu apa yang harus aku lakukan berhadapan dengan dua lelaki yang kini sama mengisi hatiku? Apartemen ini tiba-tiba seperti kamar mayat!

Sialan kau Gie, andai kau tak menghilang? Andai kau tak membiarkanku melewati bulan mati dengan rasa sesak karena rindu sungguh membutuhkanmu? Andai kau tidak membiarkan kekosongan ini diisi oleh sesosok lain?

Andai saja..andai..andai.. aku tidak mau disalahkan Gie! Bahkan oleh Nina, toh ia tahu kamu sialan Gie! Mengapa kau tidak pernah berfikir kerinduan yang terbiasa kosong bisa membunuh jejak kenanganmu di dalam rasaku? Jangan menuduhku tidak berusaha Gie!

Dan kau sendiri, apa yang kau lakukan selama ini? Kemana kau selama aku tersungkur dalam rasa butuh yang selalu datang? Rasa butuh akan dirimu yang membuatku bahkan tidak lagi bisa membedakan aku baik-baik saja atau sesungguhnya sedang sakit dalam penantian?

Kau seperti orang asing. Atau kau memang telah menjadi orang asing? Apakah kehidupan di luar apartemen, balkon dan bulan mati itu telah membuatmu berubah? Kemana saja kau selama ini Gie?

Terus untuk apa kau datang ke sini, ke apartemen kita..bukan, bukan, bukan lagi apartemen kita. Ini apartemenku, untuk apa kau datang?

Ingin sekali aku menerjangmu. Ingin sekali aku memukul dadamu yang selalu menjadi sandaran kepalaku ketika menatap bulan mati berdua di balkon itu. Ingin sekali aku menumpahkan semua kepedihan yang kini membuat hatiku kembali berdarah.

Tapi aku terlalu lemah.

Dalam amuk rasa hatiku yang tertahan, rasa pening itu kembali menyengat. Aku menutup mataku, ada bulir air yang mengalir pelan dari tiap tepinya. Aku menangis. Aku sakit, aku kerontang Gie!

“Rheinara..?,” suara Ran bertanya cemas. Cemas yang seperti tadi, jujur. Seperti merasakan amuk rasa di dalam hatiku. Seperti mengerti pesan dari bulir air mata yang kini telah ditemani isak tersedak. Seperti merasa bersalah, sesudah meminta ruang di hatiku, ia datang membawa sosok yang menjadi alasan mengapa ruang itu tidak pernah aku berikan pada kerinduan yang lain.

Aakh, mengapa bukan kamu yang duluan bertanya Gie? Mengapa harus Ran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun