Masalahnya, terkait kemarahan ultras dan keramaian hastag #Mottaout itu, ada parameter lain yang perlu diperhatikan.Â
Kita mesti mengakui jika La Vecchia Signora sejatinya melewati musim yang tidak ideal. Sekurang-kurangnya karena tiga hal berikut.Â
Pertama, pemain yang gonta-ganti cedera, khususnya lini belakang. Dimulai dengan Gleison Bremer yang menderita Cruciate Ligament Tear sejak Oktober 2024. Â Bek berkebangsaan Brazil ini bukan saja jangkar, ia adalah sentral.
Gara-gara kualitas Bremer, Juventus berani menjual De Ligt ke Bayern Munich. Dan terbukti ini adalah solusi yang jauh lebih baik. Tapi, Bremer memliki problem dengan cedera. Sesudah badai virus corona, hingga hari ini, dia sudah mengalami 8 kali cedera.Â
Sesudah Bremer menghilang, lini belakang Juventus seperti klub petarung degradasi. Terlalu mudah dibikin kacau balau dan kehilangan kontrol. Tak ada pemimpinnya.
Sedang Gatti dan Kalulu tak selalu padu dan stabil. Nama yang pertama bahkan acapkali membuat kesalahan, seperti subuh barusan ketika di-vermak Benfica.Â
Itulah mengapa, di bursa transfer paruh musim, dari tiga nama yang datang, duanya pemain bertahan. Alberto Costa dan Renato Vega. Â
Kedua, barisan anak-anak muda yang membutuhkan jam terbang lebih banyak.Â
Di satu sisi, Nicol Savona (21), Â Jonas Rouhi (20), Samuel Mbangula (21), Vasilije Adi (18), Francisco Conceio (21), dan Kenan Yldz (19), adalah investasi bagi kebutuhan jangka panjang.Â
Bahkan, dari strategi transfer, manajemen klub di era Cristiano Giuntoli tak lagi meminjam pemain bangkotan karena dalih berpengalaman.Â
Sedang di sisi berbeda, Juventus memiliki jadwal yang padat, tiga lapisan. Badai cedera, kebugaran skuad dan kematangan adalah kombinasi yang tidak mudah ditemukan formula keseimbangannya.Â