Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menimbang-nimbang Sharenting dan Ilusi Kebahagiaan Ortu Kekinian

29 Januari 2025   11:09 Diperbarui: 29 Januari 2025   19:45 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: shutterstock.com

Setiap anak adalah anugerah dan menjadi orangtua adalah pengabdian panjang. Akan tetapi tidak setiap orang dewasa bisa menyediakan dirinya untuk mengabdi yang panjang.

Ada banyak orang dewasa, mungkin saja ada saya di dalamnya, yang belum patut menjadi orangtua. Sementara di saat yang sama, menjadi orang dewasa saja adalah kerumitan yang butuh pertarungan panjang.

Orang-orang dewasa oleh pasar didefinisikan dalam sumber daya produktif, tenaga kerja, penopang mesin pertumbuhan ekonomi. Oleh politik kenegaraan, dirumuskan sebagai pemilih (voters). Oleh kebudayaan, sebagai agen-agen penerus tradisi dan nilai-nilai luhur bangsa. Dan oleh Perguruan Tinggi, didefinisikan sebagai angkatan terdidik yang akan membawa negeri ke gerbang masa depan cerah.

Di sisi ini, tidakkah menjadi orang dewasa sejatinya sedang menjalani ukuran-ukuran yang sudah didefinisikan dari luar, dari sejak masih anak-anak?

Situasi demikian seolah-olah mengingatkan pada kritik aliran Frankfurt di tahun-tahun Fasisme menggerayangi Eropa. 

Masyarakat hari ini hidup dalam ketersediaan pilihan yang sudah ditentukan. Mereka memilih pemimpin politik yang sudah diskenariokan oleh sistem, mereka memilih sekolah yang sudah ditentukan oleh pasar kerja, bahkan mereka memilih selera oleh parameter yang sudah dirancang.

Ironisnya, masyarakat yang seperti ini muncul karena menolak-melawan dikte otoritas di luar dirinya. Semisal yang diproduksi institusi agama atau oleh kelindan kepercayaan terhadap mitos-mitos para Dewa. Masyarakat semacam ini dilahirkan dari perluasan rasionalitas sebagai perlambang dari daulat manusia di dalam spirit pencerahan.

Kurang lebihnya, ini yang disebut sebagai Dilema Usaha Manusia Rasional dalam kritik Max Horkheimer (14 Februari 1895 -7 Juli 1973) yang dibahas oleh Sindhunata. 

Manusia dalam jebakan "Dialektika Pencerahan".

Kini, boro-boro membicarakan kebebasan yang otentik, membebaskan diri dari proyek rasionalisasi yang menghancurkan kemanusiaannya saja sudah buntu di mana-mana.

Manusia menciptakan sistem ekonomi dan pembangunan demi mengelola sumber daya yang terbatas agar bisa menghidupi perut manusia yang tidak terbatas. Tapi, yang terjadi, kemakmuran tidak berlaku untuk semua manusia, ketimpangan masih bertahta, terutama di kawasan South Global, dan bumi yang panas serta perubahan iklim yang mengancam seluruh populasi.

Jadi, di dalam ekosistem yang sarat ketegangan (dan potensi ledakan) di mana-mana, menjadi manusia dewasa sungguh-sungguh adalah pertaruhan, bukan? Kecuali, kita menilai perkara-perkara di atas, hanya berita buruk di televisi, di antara tayangan sinetron.

Lantas, bagaimana meletakan isu "sharenting" dalam gambar yang semacam di atas?

Sosial Media sebagai Labiran Kebosanan. Saya beruntung telah menjadi jenis yang sudah di titik berpisah dengan segala macam bujuk rayu sosial media. Bukan karena menolaknya sejak awal.

Saya dulu bermain Facebook, teman juga sudah ribuan. Facebook membuat saya terhubung, terutama dengan teman-teman dari masa sekolah SMP dan SMA. Facebook seperti buku memori besar dimana saya bisa melihat teman-teman saya berkeluarga, berkarir, dan menua perlahan. Beberapa bahkan sudah tiada.

Facebook saya kini seperti museum digital, ada tapi tidak lagi berbagi kisah. Aplikasinya pun sudah tak terpasang gadget saya.

Kemudian, merambah ke Twitter. Dengan adanya pembatasan-kata kata, di sini terasa dunia bagi mereka yang efektif dan efesien. Saya terus merasa, bermain-main di sini sepertinya akan mengurangi drama. Sembari itu, saya melarang diri sendiri untuk mem-follow akun politisi dan kanal berita tak penting.

Saya lebih suka mengikuti informasi seputar Juventus dan kabar transfer pemain terkini, nyaris tidak lagi membaca berita politik, apalagi gosip artis. Walaupun jika ada kegegeran tertentu, masih suka kepo.

Intinya, bukan karena mengikuti nasihat jurnalis senior Bill Kovach tentang diet informasi, saya sebatas mencoba melakukan pembatasan diri. Sejauh ini cukup berhasil, terutama terhadap drama para pendukung politisi. Puncaknya, terhadap Twitter/X, posisi saya berada dalam relasi on/off.

Ketiga, saya pernah membuat akun di Instagram (IG). Yang terbit di pikiran: mungkin penting memasang foto atau video dari tempat-tempat yang saya datangi. 

Sekadar ingin mengawetkan kenangan akan tempat-tempat yang jauh di sosial media. Lantas, di suatu masa, saya akan melihat itu lagi dari kursi malas, lutut yang gemetar, di hadapan senja yang turun pelan-pelan.

Celakanya, tanpa harus menghabiskan waktu yang lama, saya merasa rencana-rencana di atas adalah pekerjaan sia-sia belaka. Jadi akun IG saya juga mendadak disorientasi. Masih eksis tapi memilih bungkam selama mungkin. Aplikasinya sudah pula uninstall.

Sesudah tiga periode bersosial media ini, saya terus bertanya: sudah berapa tahun dihabiskan untuk bermain-main dengan digitalisme semacam itu? Ketololan-ketololan apa yang pernah saya umbar dengan sengaja dan penuh kegembiraan diri di sana? Wow, ternyata ini adalah perjalanan waktu yang sangat lama. 

Walau tak semuanya buruk, terasa ada kesia-siaan yang cukup panjang di sana. Pendek dikata, saya adalah jenis yang tidak cakap menggunakan sosial media.

Sosial media saya tidak bisa menghasilkan popularitas atau pengaruh, apalagi banjir cuan. Bahkan untuk kangen-kangenan yang gratis dengan kawan-kawan dari masa lalu saja, saya jenis yang gagal! Sosial media ternyata hanya kubangan kebosanan.

Mungkin karena situasi keterhubungan yang semacam ini, isu Sharenting juga terasa mengada-ada belaka buat saya. Mengapa orang melakukan praktik ini di sosial media? Buat mencari apa? Apa tidak cukup dengan memasang foto anak di status WhatsApp saja?

Saya bukan tak pernah memasang foto anak di sosial media. Tapi, seingat saya, sebatas WhatsApp dengan daftar kontak yang sedikit. Di luar itu, yang kebanyakan dipamerkan adalah diri sendiri, entah sedang di Sungai Katingan, Pegunungan Arfak atau di pesisir Raja Ampat--seolah-olah penjelajah Eropa di Abad XVIII.

Ditambah lagi, kalau mengingat bagaimana Bapak dan Ibu mengasuh keluarganya, saya makin bingung dengan relevansi sharenting.

Bapak adalah orang yang paling tidak suka dinding rumahnya dipaku untuk memasang, bahkan, foto keluarga. Tapi tak masalah jika dinding yang bersih dicoret anak-anaknya karena (berpikir bisa) melukis, dll. 

Album foto kami sekeluarga pun tak lebih dari 10 dan hanya album tipis. Foto-fotonya berasal dari masa yang sangat jauh, ketika masih seumuran anak-anak SD. Sisanya tak ada lagi gambar keluarga diabadikan.

Ketika kami semua berkeluarga, di rumah Bapak, hanya ada dua foto di dinding kamar. Foto Bapak dan Ibu saja, dalam hitam putih, bingkai kecil, sebelahan.

Buah tak jatuh dari pohonnya. Di rumah saya sendiri, foto-foto di dinding juga tak ada. Saya bahkan menerapkan aturan Bapak tentang dinding terlarang dipaku hanya untuk bingkai foto. Rumah adik-adik saya juga sama.

Makanya, ketika digitalisme pencitraan menyusupkan diri lewat teknologi sosial media, saya seolah-olah memiliki mekanisme defensif sendiri. Dalam semesta semacam ini, sharenting seketika tampak aneh tanpa harus banyak melakukan justifikasi.

Sekali lagi, bukankah menjadi orang dewasa yang patut atau patut sebagai orang dewasa, dalam ketetapan dunia yang terlanjur distandardisasi maupun dalam ketetapan yang kita anut sebagai penolakan terhadap yang terstandardisasi, adalah semesta rumit, naik turun, dan melelahkan? 

Jadi, secara subyektif, perkara sharenting ini pertama-tama bukanlah dampaknya pada anak, pada mekanisme algoritma, atau pada manipulasi Big Data--tentu saja, dampak-dampak semacam ini selalu penting ditakar. Pertanyaan saya lebih berat kepada drama diri sebagai orangtua yang patut di era yang kesulitan rayuan hasrat seperti sekarang ini.

Sharenting seolah-olah keinginan menunjukan hidup bahagia orangtua kekinian kepada khalayak asing, melalui serentetan kenangan manis yang terabadikan oleh pengarsipan digitalisme. 

Tapi kita juga diberitahu di tengah perayaan sharenting, dalam banyak situasi, kebahagiaan yang macam begini bukan saja sensasional, ia juga sarat kepalsuan atau ilusi, bahkan bisa mencelakakan. 

Orang-orang dewasa memang tak selalu otomatis menjadi orangtua. Seumpama ia berpendidikan dan berkemakmuran sekalipun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun